Bab 7: Gara-gara helm

1011 Words
Kejadian di mana ia dengan patwa saling mengadu menjadi penutup hari yang sempurna. Sepanjang jalan menuju kampus ia tersenyum-senyum sendiri mengingat semua kejadian tadi malam. Dan wajahnya langsung berubah ketika kaca helm di depannya turun dengan keras, dan sudah entah ke berapa kali dirinya membenarkan kaca itu, tapi tetap saja jatuh. Ia terpaksa menggunakan helm karena bapaknya dengan penuh perhatian menunggu ia sampai pergi ke kampus. Bahkan dengan khusus memilihkan helm yang akan dikenakan nya. "Bokap kalau milih helm sengaja banget helm model begini, mana kaca nya kayak harga karet, turun Mulu." Nadia kembali membenarkan helm miliknya, hari ini ia sengaja berangkat pagi dengan niatan bapak nya terburu-buru hendak ke sekolah, yah bapak Nadia merupakan seorang guru PNS yang membawakan mata pelajaran matematika. Mata pelajaran yang paling Nadia benci. Begitu sampai di lampu merah, mata Nadia langsung melirik kiri kanan mencari beberapa orang yang biasanya berdiri di sini dan mengamankan pengendara bengal seperti dirinya. Belum sempat Nadia gas motornya, seorang polisi lalu lintas muncul tepat di sebelahnya. Jelas saja Nadia terkejut bukan main dan oleng ke kanan yang pada akhirnya ia terjerembab jatuh ke aspal dengan sadisnya tepat di depan keramaian. Ia menatap sosok polisi itu dengan penuh kebencian, entah kenapa acap kali mereka bertemu selalu tidak begitu baik, Nadia selalu mengalami kesialan yang berujung hal memalukan, sedangkan polisi yang bernama Sule ini malah sok perhatian dengan membantunya untuk bangkit. "Ah elah... Elu lagi. Lecet dah si Eneng. Lagian di mana-mana ada elu Mulu, heran gue." Sule yang mendengar gerutuan dari gadis di sebelahnya ini hanya menggelengkan kepalanya pelan, dia yang salah malah nyalahin orang, dan lagi kenapa nasib nya selalu bersama dengan gadis ini terus sih? Masa iya sumpah nya beneran terjadi? "Tumben kamu pakai helm?" Tanya Sule yang sebenarnya ingin tertawa melihat helm yang dikenakan Nadia, helm yang kaca nya sudah longgar dan selalu jatuh meski sudah berulang kali di naikkan. Nadia yang menyadari itu tidak berniat memperpanjang urusan, pagi nya terlalu cerah kalau hanya untuk meladeni Sule polisi tidak jelas. Dengan segera Nadia menaiki motornya dan meninggalkan Sule yang tercengang karena ia sama sekali tidak dipedulikan. "Kenapa tuh cewek? Tumben gak nyerang elu?" Tanya teman nya yang juga terheran-heran melihat Nadia yang sepertinya sedang dalam mood yang baik. "Biarin aja, untung gak ngamuk. " Keduanya beralih mengamankan pengendara lainnya. Melupakan tentang tingkah Nadia yang berubah baik entah karena apa. Di samping itu, Nadia sendiri sudah sampai di pelataran parkiran kampusnya, di sana sudah terparkir puluhan kendaraan bermotor dengan berbagai merek, jenis dan warna. Tapi yang buat Nadia takjub adalah ketika dirinya lewat di parkiran khusus mahasiswa fakultas ekonomi, sama sekali tidak ada ia lihat jejeran motor matic , kebanyakan motor besar dan juga mobil. Tidak mengherankan sih, fakultas ekonomi di kampusnya memang terkenal dengan fakultas elit di Sumatera Utara setelah fakultas kedokteran universitas Sumatera Utara. Apalagi kebanyakan dari anak fakultas ekonomi berwajah good looking, kalau kata para biaya di kelasnya, fakultas adalah surga dunia. Begitu dirinya melewati gedung F yang merupakan fakultas Agama Islam, setan di dalam tubuhnya langsung kepanasan bergejolak meminta keluar, pasalnya fakultas paling adem, menenangkan dan terasa sangat tentram adalah fakultas agama Islam yang gedungnya bersebelahan dengan fakultas nya, sebab selalu terdengar lantunan ayat suci Al-Quran. Terlebih mahasiswi di sana kebanyakan menggunakan gamis yang sangat panjang lengkap dengan jilbab yang terjulur menutupi d**a, intinya berbanding terbalik dengan fakultas ekonomi, jika di fakultas ekonomi adalah surga dunia, maka di fakultas agama Islam disebut sebagai surga dunia akhirat. "Kak Nadia!" Nadia melihat seorang gadis yang mengenakan gamis berwarna abu-abu dengan aksen pokadot dan jilbab berwarna abu-abu juga. Nadia mengenal gadis itu saat mengikuti kegiatan organisasi yang sedang memalukan kegiatan sosial. Dan saat itu Nadia yang merasa asing memilih menepi ke seberang jalan. Dan pada saat itulah Nadia berkenalan dengan gadis bernama Kemala Sari, gadis dengan senyuman manis, t**i lala di kirinya, dan juga sifat ramah yang membuat mereka cepat berbaur. "Loh, Mala. Baru mau ke kelas?" Gadis itu mengangguk. "Kakak juga kan?" Nadia mengangguk lalu mengusap hijab gadis manis di depannya, coba saja Kemala belum ada pawang, mungkin sudah ia jodohkan dengan patwa si Paramex mungkin. Sayangnya Kemala sudah memiliki pawang yang jauh di sana. "Belajar yang bener bocil, jangan pacaran Mulu." "Bacot, dari pada jomblo ngenes yang bar-bar?" Nadia mendengus pelan lalu tertawa geli melihat tawa Kemala yang sangat renyah di telinganya. "Yaudah, gue mau masuk kelas dulu, dosen tua ini yang masuk, agak susah urusannya." Kemala mengangguk, lalu keduanya berpisah menuju gedung masing-masing. Sepanjang jalan Nadia diliatin orang-orang yang entah kenapa menatap dirinya dengan geli. "Pada kenapa sih?" Biasanya Nadia tidak peduli dengan tatapan orang-orang, tapi entah kenapa kali ini terasa sangat asing, ia seolah sedang ditertawakan secara terang-terangan. "Nad, sekalinya taat peraturan malah kebangetan yah," celetuk Rahman yang kebetulan berada di kursi di bawah pohon depan fakultas nya. Nadia mengerutkan dahinya heran. Maksudnya apa? Memang ini perdana intinya menaati aturan untuk menggunakan helm. Jadi mungkin kabar itu sudah menyebar jauh seantero kampus, tapi kan dirinya bukan artis ataupun selebgram yang semua info tentang dirinya dapat menyebar luas. "Itu helm gak mau dilepas? Atau memang udah betah banget pakai helm?" Nadia langsung memegang kepalanya dan betapa terkejutnya ia melihat helm masih terpakai tapi di kepalanya yang sama sekali tidak ia sadari. Matanya melotot kaget melihat anak-anak kampus yang sedang nongkrong menertawakan dirinya. "Anjir, ini helm kenapa gak ngomong sih?" "Kalau itu bisa ngomong terkejut elu." Nadia melepas helm tersebut lalu mengusap wajahnya yang memerah lantaran malu, ia jadi mengingat jika dirinya sudah berjalan sangat jauh dari fakultas ekonomi lalu ke fakultas agama Islam dan seketika teringat dengan Kemala Sari yang tadi sempat ia jumpai, kenapa gadis itu tidak memberitahukan dirinya tentang helm ini? Akh atau sengaja, soalnya mimik wajah Kemala sangat tidak meyakinkan tadi. "Kemala banget memang, malu gue jadinya." Rizqi serta Rahman sudah tertawa ngakak, mungkin tadinya mereka berpikir jika Nadia memang berniat untuk memamerkan perubahan nya yang sudah menerima peraturan yang ditetapkan, tapi nyatanya gadis itu malah lupa melepas helm yang bahkan jika tidak diberitahu tadi sampai dosen masuk saja gadis itu masih mengenakan helm. "Serasa mau balapan sama diri gue sendiri rasanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD