Bab 8 : Helm Patwa Hilang

1181 Words
Nadia terdampar diantara lautan mahasiswa yang sedang lapar. Ia yang memiliki tubuh mungil dan harus saling berdesakan dengan para zombie kelaparan itu. Hingga tak lama matanya menatap keberadaan Kemala yang mengenakan gamis maroon tengah berjalan menuju meja tepat di hadapannya, dengan tidak tau malunya Nadia berteriak begitu keras sampai membuat atensi seluruh mahasiswa yang tadinya ribut mengarah ke arahnya. "MALA!" Kemala yang merasa dipanggil menutup matanya pelan mengurangi rasa malu. Ia sebenarnya sedikit heran dengan kepribadian Nadia yang sama sekali tidak ada kalem-kelemnya sama sekali. "Itu muncung gak bisa dikondisikan?" Tanya Kemala yang sudah duduk tepat di depan Nadia yang tengah cengegesan. "Yah mangap, gue emang gini modelannya. Kagak bisa kek temen-temen elu yang kalem cem ibu haji." "Ya itu mah udah bawakan dari orok, lah elu? Dari orok udah diajak nonton tong setan jadi wajar kalau gedenya titisan Medusa," celetuk Kemala yang tidak mempedulikan wajah keruh milik Nadia. Keduanya terlibat obrolan seru dengan sesekali saling melempar candaan yang sebenarnya jika tidak sefrekuensi dengan keduanya maka merasa jika itu semua garing. "Jadi gimana? Katanya ada dosen ganteng di kelas lu?" Kemala mengangguk sembari mengaduk es kristal yang berada di gelasnya. Gadis itu tampak khusyuk memainkan bongkahan es yang memiliki lubang di tengahnya itu. Nadia yang melihat itu pun tidak merasa keheranan, sebab Kemala memang gitu anaknya. Sedikit kurang waras. "Masih ada jam lagi gak?" Kemala menggeleng. Dirinya memang tidak ada lagi jam kuliah, hari ini hanya dua mata kuliah yang berakhir lebih cepat karena dosen di PTfakultas nya sedang sibuk meruqyah anak asrama yang sedang kesurupan masal tadi. "Pulang ke rumah gue mau? Emak bapak lagi gak di rumah, gue sendirian." Ajak Nadia dan langsung diangguki Kemala dengan semangat. Jika ke rumah Nadia, ia akan kenyang karena ibu gadis itu akan memberikannya banyak makanan untuk dibawa ke kost. Keduanya membayar pesanan ke kasir kantin lalu berjalan menuju parkiran motor yang tepat berada di sebelah asrama kampus. Dapat keduanya dengar suara teriakan yang saling bersahut-sahutan satu sama lain, Nadia sendiri mengedikkan bahunya pelan lalu mengusap lengannya yang tiba-tiba merasa merinding. Terlebih ketika salah seorang yang kesurupan melirik ke arahnya. "Anjir, kok serem banget dah nih kampus. Bisa-bisanya ada kesurupan begini." "Awal mula nya karna ada asrama yang dijumpai Kunti tengah malam di kamar mandi lantai dua." Jelas Kemala membuat Nadia segera memutar kendaraan nya menjauhi gedung asrama. "Serius lu, La?" "Serius, jadi di asrama kan kamar mandinya itu kayak kamar mandi di bioskop gitu. Jadi dia ada pintunya cuma setengah. Pas dia bukan pintu ternyata udah ada si Kunti kayak lagi gendong anak dan ngelirik dia tajam. Teriak lah tuh Jan dua belas malam sampai buat heboh kampus." "Yah lagian ke kamar mandi jam segitu, yah dijumpai kan?" Kemala mengangguk, untuk dirinya yang memang penakut, jam 9 malam saja sudah ia anggap sebagai jam dilarang menuju kamar mandi. Bukan apa-apa, dirinya juga sering ditemui sosok halus. hanya saja dalam wujud yang berbeda. "Pagi nya langsung kesurupan dan di ruqyah, eh malah Nyamber ke yang lain." "Serem anjir, ini kampus angker juga." Nadia mengegas motornya menjauhi area kampus. Mulai saat ini ia akan langsung pulang ke rumah jika sudah selesai perkuliahan, biasanya ia akan mojok dahulu di kantin sampai waktu magrib baru pulang ke rumah. Sesampainya Nadia di persimpangan lampu merah, ia melirik sinis seorang polisi yang sedang duduk di depan pos polisi. Sayangnya aksinya itu tertanggal basah oleh polisi tersebut, segera ia memalingkan wajahnya menatap jalanan dan berharap lampu merah segera berakhir. Ia semakin resah begitu ekor matanya dapat melirik pemuda yang bernama Sule itu tengah berjalan menghampirinya. Ia menanti detik-detik pergantian warna lampu hingga bertepatan dengan Sule tiba dan juga Lampur berubah menjadi hijau, ia langsung tancap gas tanpa melihat Sule lagi, bodo amat dengan polisi yang selalu mengganggu nya berkendara itu. Andai saja simpang ini bukan jalan satu-satunya untuk ke rumah, sudah pasti ia akan melewati jalan lain. Kemala yang berada di boncengan tentunya merasa sangat terkejut ketika dengan tiba-tiba motor milik Nadia melaju dengan cepat, bahkan dirinya belum sempat mengagumi sosok polisi yang menghampiri mereka, Nadia sudah tancap gas seolah sengaja melakukan itu. "Woy, kak. Gue belum mau mati, Njir. Bawa motor kek mau bawa mati." Protes Kemala yang merasa deg-degan melihat cara Nadia membawa motor. Nadia tidak menghiraukan protesan milik gadis diboncengannya, yang pasti ia harus mencari cara untuk menghindar dari polisi rese itu. Dirinya sudah kepalang malu karena kepergok memperhatikan Sule dari jauh. Lagian kenapa itu polisi harus melirik dirinya sih. Membagongkan memang. Demi menyelamatkan jiwa raganya, ia harus segera bisa mencari cara agar terhindar dari simpang kampung merah paling horor se-Indonesia. Di tengah kemelut pikiran dan hatinya, ia sampai terlupa dengan helm milik Paramex yang ia pinjam, begitu sampai rumah remaja itu sudah menagih helm kesayangannya bahkan Nadia belum turun dari atas motorny. "Helm gue mana?" Tanya Patwa menatap kakaknya dengan heran, pasalnya tidak ada helm yang tadi pagi dikenakan gadis itu. Malah sang kakak membawa gadis aneh yang selalu mencari masalah dengannya jika berada di rumah ini. Nadia mengecek kepalanya, lalu melirik motornya yang sudah terparkir rapi. Dirinya tampak mengingat sesuatu, hingga ia ingat jika helm itu berada di dalam mobil milik Risqi. Setelah insiden memalukan tadi, memang helm itu ia simpan kepada Risqi dan diletakan di dalam mobil, mampus dirinya, ia harus bersiap menerima kemarahan patwa yang luar jasa Nika menyangkut benda kesayangannya. Apalagi itu helm, habislah dirinya. "Emm... Helm nya sama risqi dek, tadi disimpan di dalam mobilnya." Ringis Nadia pelan, lalu menatap Patwa yang jika dibuat dalam bentuk kartun sudah mengeluarkan asap banyak dari telinga dan hidungnya. Mata remaja itu menatap sang kakak dengan tajam dan penuh aura permusuhan. "TAU GAK ITU HELM MAHAL, ANTIK. KAN UDAH GUE BILANG TADI JANGAN BAWAK HELM ITU, LU ITU CEROBOH. KALAU UDAH KAYAK GINI GIMANA?" Teriak Patwa marah yang bahkan mengundang Perhatian para tetangganya. Nadia sendiri sudah menutup matanya dengan erat sembari menenangkan detak jantungnya yang sudah tidak normal. Adiknya sangat jarang marah, akan tetapi sekalinya marah maka ia akan habis atau bahkan parahnya ia akan menangis seperti saat ini. Ia sudah terisak pilu mendengar bentakan sang adik yang sangat jarang ia terima. Salah nya juga sih, kenapa memaksa untuk mengenakan helm yang jelas-jelas untuk koleksi adiknya bukan untuk digunakan. Menyadari jika sang kakak sudah menangis akibat bentakan nya, Patwa mengusap rambutnya pelan lalu meninggalkan Nadia beserta Kemala di depan pintu. Nadia sendiri pada akhirnya hanya bisa menunduk sembari masuk ke dalam rumah dengan bantuan Kemala sebagai penopang nya. "Gila, patwa marah melebihi algojo yang mau motong kepala orang." Batin Kemala menatap Nadia dengan malang. gadis itu tampak syok dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. "Mal, gue sedih banget." Kemala tersenyum manis berusaha menenangkan. "Iya kak, tau kakak sedih karena bang Patwa marah." "Siapa bilang?" tanya Nadia menatap Kemala dengan alis terangkat. Kemala sendiri sudah bingung menatap Nadia dengan penuh tanya. "HAHAHA... Lo pikir gue beneran nangis karena bentakan si curut itu?" tanya Nadia dengan tawa nya. Kemala sendiri hanya mengangguk, ia yakin jika Nadia menangis karena hal ini. "Kagak! gue nangis karena pusing mikirin ganti biaya helm patwa yang udah gue banting dan rusak tadi." "APA!" "Mampus, pake acara denger si iblis."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD