Kemarahan patwa tidak hanya sampai di situ saja. Remaja itu bahkan mogok makan dan enggan berinteraksi dengan orang se rumah yang mengakibatkan suasana makan malam terasa sangat mencekam. Nadia yang menjadi tersangka malah terlihat asyik mengunyah sedari tadi tanpa memperdulikan tatapan mata sang adik yang siap menerkamnya.
Kedua orang tua Nadia saling lirik satu sama lain, babe yang kebetulan berada di tengah menatap jengah anak gadisnya yang terlihat santai sama sekali tidak merasa bersalah.
"Ekhem..." Babe berdehem kuat berharap putrinya menyadari situasi dan kondisi, tapi yang namanya Nadia Salsabila orang paling tidak peka sedunia, tentu saja tidak terganggu, malah gadis itu menyodorkan segelas air minum ke arah sang babe.
Ibunya yang melihat itu menahan tawa, terlebih ketika dengusan kesal milik Patwa terdengar dengan jelas. Namun wajah gelinya berubah menjadi serius ketika ia menerima pelototan tajam milik sang suami.
"Nadia." Panggil babe yang sudah tidak tahan melihat kedua anaknya terlibat perang dingin.
Nadia yang merasa terpanggil melirik babe nya dengan penuh tanya. "Kenapa, Be?"
"Kamu gak merasa bersalah gitu?" Tanya babe yang jengah lihat sifat buruk Nadia satu ini, prinsip anak nya itu adalah ia sudah meminta maaf maka masalah akan selesai, tidak peduli orang itu memaafkannya atau tidak, yang jelas ia sudah mengakui kesalahannya.
"Babe udah tahu kan gimana Nadia? Nadia udah ngaku salah, dan Nadia gak akan paksa orang untuk memaafkan Nadia."
"Yah paling tidak tunjukin rasa bersalah dan penyesalan Lo." Sentak Patwa yang sudah menahan emosinya sedari tadi. Mendengar kalimat penuh arogan milik sang kakak tentunya mengundang emosi yang sedari tadi telah ia tahan.
"Nunjukkin? Dengan cara kayak apa? Gue nangis-nangis minta maaf sama lu? Terus lu gak maafin gue, dan buat gue ngejar-ngejar? Gue gak sebodoh itu, Wa. Gue bukan sombong karena gak ngejar maaf dari lu, tapi gua punya otak buat mikir gimana caranya biar helm lu itu balik. Lagian, kalau emang elu mau maafin orang, gak harus nunggu orang itu ngemis-ngemis maaf dari lu, kesannya kek raja." Nadia menatap adiknya tajam. Ia paling tidak suka jika dikatakan manusia arogan, nyatanya ia selalu meminta maaf dengan cepat atas semua kesalahan yang ia lakukan.
Patwa terdiam, begitu juga dengan babe dan ibunya. Ia yang sudah tidak mood makan pada akhirnya memutuskan menyudahi acara makannya dan berjalan menuju kamar miliknya. Kepergian Nadia tentu membuat keadaan ruang makan tambah hening, terlebih ketika mereka menyadari jika untuk pertama kalinya Nadia tidak menghabiskan makanan yang menunya sendiri adalah menu kesukaan gadis itu.
Tak lama terdengar bunyi dalam dari luar, babe yang kebetulan telah selesai makannya membukakan pintu dan mempersilahkan tamu masuk yang ternyata adalah Risqi teman Nadia.
"Loh, Ki. Udah sampe sini aja kau."
"Iya be, sekalian bawakan helm punya Patwa yang ketinggalan di mobil Risqi."
Babe mengangguk lalu mempersilahkan Risqi masuk ke dalam rumah. Patwa yang mendengar tentang helm kesayangannya itu langsung bergegas menuju ruang tengah dan benar saja di sana sudah ada helm miliknya yang terletak di atas meja.
"Nih nah helm lu, lain kali gak usah bentak kakak lu, lagian tadi dia mau ambil ini, cuma gue lagi gak di rumah," ujar Risqi dengan pelan seolah tengah memberitahukan yang sebenarnya kepada Patwa. Ia mengetahui jika remaja yang kini tengah meneliti helm nya itu sempat mengamuk dan membuat Nadia menangis, itupun ia ketahui saat berjumpa dengan Kemala ketika sedang makan siang di warung ibu kost gadis itu.
Patwa mengangguk pelan, lalu menatap ke arah kamar kakaknya dengan sendu. Ia sudah durhaka tadi membentak gadis itu bahkan barusan di meja makan juga melakukan hal yang sama. Patwa tahu kakaknya sekarang tengah kecewa padanya dan bingung ia harus melakukan apa.
"Tuh, makanya semua itu jangan langsung emosi. Kejadian kan begini, elu nya bandel banget." Patwa menatap ibunya yang mengomel karena sikap gegabahnya.
Patwa menunduk menyadari kesalahannya kali ini. Terlebih ketika ingat Nadia yang tadi mengamuk di meja makan. Kakaknya itu sangat susah dibujuk kalau sudah ngambek, bisa berhari-hari bahkan sampai 1 bulan lebih.
Menghela nafas pelan, Patwa pada akhirnya memilih masuk ke dalam kamar milik nya. Berharap esok pagi mood Nadia akan membaik dan ia bisa meminta maaf tanpa harus beradu otot dengan gadis itu.
***
"NADIA!!! BANGUN."
Teriakan itu bak alarm otomatis yang sudah si setel dengan jam yang serupa. Bahkan mungkin tetangga mereka sudah hapal akan hal ini. Nadia sendiri tidak mempedulikan teriakan itu seperti hari-hari biasanya, beruntung kamarnya memiliki pintu yang sudah ia kunci dengan rapat sehingga ibunya tidak bisa menerobos meski sudah menggedor-gedor sedari tadi.
"Punya anak gadis tapi tingkah nya kek jantan. Heran sendiri aku liatnya iya, entah niru siapa dia. " Omel ibu Nadia menuju meja makan yang sudah ada babe dan juga Patwa. Keduanya dengan kompak tidak mempedulikan ucapan wanita itu sebab sudah biasa dan bukan lagi hal yang perlu dijawab.
"Inilah nasibnya kalau nikah sama titisan kebo, anaknya juga ikut kebo." Babe merengut tidak suka, secara tidak langsung istri nya itu mengatakan jika ia adalah kebo.
Patwa sendiri sudah ngakak dan menatap babe dengan seringai geli. Bagusnya melihat babe dibully istri sendiri itu lebih menyenangkan dari pada melihat pria paruh baya yang menjabat sebagai ayahnya itu ngomel tidak jelas.
"Gak ada akhlak banget jadi bini lu, Markonah. Ngatain suami sendiri kebo. Lah elu itu mamak nya kebo." Cibir babe yang langsung menerima pelototan tajam milik istrinya. Seketika babe langsung kicep menutup mulutnya dengan rapat. Well mencari masalah dengan istrinya itu namanya menggali lubang kuburan sendiri.
"Ini anak gadis kamu kuliah gak sih, Be? Stres aku lama-lama banguni nya."
"Biar babe aja yang bangunin." Babe bangkirt dari duduknya berjalan menuju kamar milik anak gadis satu-satunya. Begitu sampai di depan pintu ia segera merogoh kunci duplikat kamar Nadia dan membukanya dengan mudah.
Begitu ia masuk, alangkah terkejutnya ia minat kondisi kamar Nadia yang jauh dari kata rapi. Bantal yang sudah tidak pada posisinya, bahkan sang anak sudah tergelepar di dingin nya lantai, bulan di atas ranjang.
Menggelengkan kepalanya takjub, babe segera membangunkan Nadia dengan pelan nan lembut, ia tidak pernah menaikkan suara miliknya kepada sang putri, meskipun ia tinggal dilingkungan orang dengan suara ngegas.
" Nadia, bangun nak. Udah siang ini, gak masuk sekolah emang?"
Nadia tidak bergeming, babe tidak kehilangan akal. Dengan jahil ia menarik guling kesayangan milik Nadia sampai membuat putrinya itu dengan cepat menarik sang guling sambil menggerutu pelan.
"Nadia gak kuliah, babe. Ini kan hari Jum'at, Nadia gak ada jadwal."
Babe mengatupkan mulutnya, ia seakan baru teringat jika setiap Jum'at anaknya tidak masuk kuliah. Astaga , pantas saja tidak bangun sedari tadi.
Sedangkan di tempat lain, Sule tengah bersiap-siap menuju rumah seseorang. Dengan mengenakan kemeja kotak-kotak ia berangkat menuju sebuah alamat yang tertera di kartu tanda penduduk milik seorang gadis yang beberapa hari ini selalu menjadi lawan berdebatnya.
Hingga 20 menit kemudian, ia sampai di sebuah rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas di penuhi pohon mangga yang sedang berbuah, Sule kembali melihat alamat yang tertera dan memastikan sudah benar atau belum, setelah meyakini alamat itu benar, Sule tanpa ragu mengetuk pintu rumah yang masih tertutup.
Sebenarnya tidak sopan bertamu pagi seperti ini, tapi apa boleh buat, dirinya akan ada tugas siang nanti, jika KTP ini kelamaan di tangannya bisa-bisa hilang.
Menunggu beberapa saat, pintu rumah itu akhirnya terbuka memperlihatkan seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam SMA menatapnya dengan instens seolah menilai dirinya secara tidak langsung.
"Ada apa yah, Bang?" Tanya remaja yang name tag di seragamnya adalah Patwa.
"Emm... Sebelumnya maaf mengganggu, benar ini rumah Nadia Salsabila?" Tanya Sule dengan sopan.
Patwa mengernyitkan dahinya, apa ini pacar kakaknya? Tapi sejak kapan gadis gila itu memiliki kekasih?
"Kenapa nyari kakak saya? Abang pacarnya?" Tanya patwa to the point.
Sule sendiri mengerjapkan matanya pertanda bingung, namun belum sempat Menyangkalnya, remaja yang ia duga merupakan adik dari Nadia si gadis bar-bar itu sudah berteriak dengan heboh layaknya mendapatkan jeckpot undian.
"BABE, CALON MANTU BABE DATANG!"
"BE, CALON MANTU NUNGGUIN ITU."
Sule yang mendengar teriakan itu meringis pelan meratapi nasibnya yang harus mengenal keluarga absurd seperti ini. Dan apa tadi? Mantu? Sabi lah, lagian Nadia termasuk cantik dan unik. Sesuai dengan kriteria nya.