BAB 61

1133 Words
Aden yang mengetahui dari Nisa bahwa Nina pulang dengan mood berantakan, langsung masuk ke kamar Nina setelah mengetuk pintu kamarnya berulang-ulang. Nina menjawabnya dengan suara malas dari dalam. Namun Aden tidak peduli, dia langsung masuk dan mendapati Nina sedang berbaring di atas tempat tidur sembari melukis di buku gambarnya. Tidak seperti biasanya memang. Nina yang selalu melukis di kanvas yang terletak di sudut kamarnya, kini malah menggunakan buku gambar yang dulu sempat dia beli, namun tidak pernah dia gunakan sama sekali. Nina sengaja membelinya agar bisa melukis di mana pun dia mau tanpa harus membawa kanvas. namun baru kali inilah Nina menggunakannya. Aden duduk di dekatnya yang berbaring dengan posisi telungkup. "Ada apa?" tanya Aden yang sama sekali tidak dijawab Nina. Nina hanya mencoret-coret buku ganbarnya asal. Tidak ada gambar apa pun di sana. Hanya coretan yang tidak jelas terlihat kedua mata Aden. "Kalau ada masalah itu cerita, bukannya malah diem aja kayak gini," ucap Aden sembari berbaring menghadap langit kamar Nina. "Kasihan tuh Kak Nisa, khawatir lihat loe kayak gini. Katanya udah dari siang loe ngurung diri terus di kamar. Makan enggak, ke luar kamar enggak, jangan kayak gini, loe kan tau sendiri Kak Nisa lagi hamil muda. Bahaya buat kandungannya." Aden menoleh ke Nina yang masih saja betah memusatkan pandangan ke buku gambar. "Kan loe tau sendiri, dokter berpesan apa, dia gak boleh banyak pikiran, kandungannya masih lemah karena pernah keguguran." Nina menghela napas panjang, "Gak ada apa-apa, cuma pengen di kamar aja." "Sampai gak mau makan juga?" tanya Aden yang lagi-lagi sama sekali tidak dijawab Nina. Aden menghela napas kasar. Dia tahu sifat adiknya yang tidak akan cerita apa pun masalahnya. Nina selalu saja menanggung semua masalahnya sendiri. Seolah dia mampu mencari solusi akan masalah yang sedang dia alami. "Apa loe diganggu seseorang di sekolah?" tanya Aden yang hanya di jawab Nina dengan gelengan kepala. "Grace?" Nina kembali menggeleng. "Atau Bryan?" Kali ini Nina sama sekali tidak memberi jawaban. Gerakan tangannya pun sempat terhenti mencoret-coret buku gambarnya walau hanya beberapa detik, Nina malah kembali menggerakkan tangan kanannya mencoret asal kertas gambarnya. Dari gelagatnya, Aden sadar bahwa pusat masalahnya terletak di Bryan. Dia tidak tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu hingga membuat Nina galau seharian. Aden malah tidak bertemu Bryan semenjak bel sekolah tanda pelajaran terakhir usai. Bryan langsung menghilang begitu saja, hingga Aden sendiri tidak tahu kapan dia ke luar dari kelas. "Kalau memang loe ngerasa terganggu sama semua sikap Bryan yang ngecoba ngedekatin loe, ya udah, nanti gue bilangi ke dia biar gak ganggu loe lagi." "Ya gak gara-gara itu juga!" ucap Nina cepat seolah tidak setuju dengan rencana Aden untuk meminta Bryan berhenti mengejarnya. Tatapan tajam Nina terjurus ke Aden yang langsung membuat Aden sempat kaget bukan main. "Jadi gara-gara apa?" tanya Aden lagi. Dia mulai bingung dengan masalah yang sedang dihadapi Nina sebenarnya. Dia meyakini, Bryan lah yang menjadi penyebab mood Nina kacau sejak siang. Namun dugaan Aden tentang sikap Bryan yang terus mengusiknya ternyata salah besar. Bukan karena itu Nina sampai seperti ini. "Udah deh, ke luar aja sana. Gue mau sendirian!" usir Nina sembari menolak tubuh Aden. Namun Aden yang tidak ingin ke luar, malah bertahan dengan posisi yang sama. Dia malah tertawa cekikikan karena kembali berhasil membuat Nina kesal padanya. "Cerita dulu, baru gue ke luar!" ucap Aden mulai iseng. "Gak ada apa-apa, dan bukan soal Bryan juga!" bantah Nina yang sebenarnya berbohonh. Sejujurnya dia sangat ingin cerita dengan Aden tentang apa yang dia lihat tadi siang. Nina yakin, Aden pasti tahu siapa perempuan yang dibonceng Bryan tadi siang. Yang Nina tahu, Bryan tidak pernah mau membonceng siapa pun kecuali Nina. Dan semua itu pernah dikatakan oleh Bryan dulu. Namun yang terlihat tadi siang sangat berbeda. Bryan bersama perempuan lain hingga tidak menyadari, ada Nina di dekatnya. "Gue cuma mau ingatin aja, jangan terlalu cuek sama Bryan. Udah sejak loe kelas satu dia ngejar loe terus. Bahkan sebelum loe masuk ke sekolah gue karena kepintaran loe itu yang buat loe lompat kelas, dia udah sering nanyain loe. Tepatnya saat dia main ke rumah dan lihat loe belajar serius banget di teras belakang." Aden duduk sembari menatap Nina yang masih saja fokus dengan buku gambarnya. "Kalau loe cuek terus kayak gini dan sekasar ini sama Bryan, gue jamin dia gak bakalan ngejar loe lagi. Hati ada batas waktu menunggunya, Dek, gak akan bisa tahan lam-lama apa lagi yang ditunggu gak ada feedback yang bagus buat dia." "Maksudnya, dia bakalan cari cewek lain gitu?" tanya Nina sembari melihat ke arah Aden yang perlahan mengangguk. "Berarti dia gak setia dong, katanya cinta, kok gak bertahan buat nunggu." "Lha mau sampai kapan coba?" tanya Aden. "Coba deh loe nungguin gue di halte bis kelamaan, janji jam dua, ternyata sampai jam lima sore gue gak datang juga. Gimana perasaan loe? Kesal gak? Yakin masih mau nunggu?" Nina terdiam mendengar perumpamaan yang diberikan Aden padanya. Apa yang dikatakan Aden memang ada benarnya. Jenuh pasti dirasakan Bryan karena sudah terlalu lama menantinya dan berusaha menarik simpatinya. Berbagi cara sudah dilakukan Bryan, namun tetap saja Bryan harus mendapatkan jawaban palsu bagai angin dari Nina yang tidak pernah memberikan respon anatar ada rasa atau tidak sama sekali. "Gini deh, sebenarnya loe tu suka apa gak sih sama Bryan?" tanya Aden yang mulai serius dalam pembicaraan tentang Bryan. "Gue belum mau pacaran dulu, Bang, gue udah janji sama Kak Nisa, buat belajar dulu sampai tamat. Gue takut pacaran-pacaran malah buat gue gak konsentrasi dalam belajar. Gue gak mau nilai gue anjlok dan akhirnya malah batalin beasiswa gue selama ini." Nina memutuskan untuk duduk menghadap Aden. "Gue tau Bryan orang baik, gue juga tau dia tulus sama gue. Tapi gue takut ngelanggar janji gue sama Kak Nisa. sama kayak elo yang sampai sekarang ngejaga janji loe sama bapak untuk gak bolos dari sekolah dan belajar yang serius, kan? Gue juga posisinya kayak gitu sekarang." Aden terdiam. Dia mengerti apa yang kini dirasakan Nina. Dari kedua matanya, dia jelas ada rasa ketertarikan dengan Bryan. Namun dia masih gengsi untuk mengakuinya. "Jadi sebenarnya loe kenapa dari tadi?" tanya Aden lagi mencoba balik ke topik pembicaraan awal. "Ada masalah apa?" Nina terdiam kembali. Dia tampak bingung lantas menggelengkan kepala. "Ke luar gih, Bang, gue mau tidur. Besok siang jangan suruh Bryan buat antar gue ya, loe juga gak perlu antar gue pulang," ucap Nina. "Gue mau ke satu tempat sendirian. Dan jangan ikuti gue." "Loe mau ke mana?" "Udah sana ke luar!" ucap Nina sembari menolak tubuh Aden. Kali ini tolakknya cukup kuat hingga membuat Aden terjatuh lantas secepatnya berdiri kembali. Menggosokkan pantatnya yang sakit akibat terbentur di lantai. Aden ke luar sambil mengomel sendiri, menutup pintu dari luar dan meninggalkan Nina sendirian yang tampak sedih. Sejujurnya dia sangat ingin bercerita dengan Aden. Namun dia takut, Aden meledekinya. Nina menghela napas, lantas menarik selimutnya dan meyelimuti seluruh tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD