BAB 29

1054 Words
Aden tertawa mendengar cerita Nina tentang masa-masa sekolah dasar Metta yang ternyata di luar ekspetasinya. Semula Aden mengira masa-masa sekolah dasar Metta tidak aka nada bedanya seperti masa SMA. Hadir dengan penampilan culun, dan selalu menjadi korban bully-an semua orang. Namun ternyata tidak. Saat di sekolah dasar, selain memang terkenal pintar, Metta juga terkenal aktif dan suka bergaul dengan semua orang. Bahkan tak jarang ada saja tingkahnya bersama teman-temannya yang membuat Aden terpingkal-pngkal mendengarnya. “Loe seriusan manjat pagar sekolah?” tanya Aden yang terlihat tidak percaya denga napa yang dia dengar. “Loe gak percaya sama gue?” tanya Metta sembari menekan batang kaca matanya di anatra mata, akibat hampir melorot karena tertawa. “Gue serius tau, rok gue sampai robek gara-gara manjat pagar. Tuh di rumah masih ada roknya kalau loe mau lihat.” “Sumpah ya, gue gak percaya sama cerita loe kalau ngelihat penampilan loe yang kayak begini, culun, tertutup, introvert banget!” ucap Aden yang masih tertawa walau hanya sisa-sisa tawanya saja. “Jadi sekarang, kenapa tiba-tiba berubah total? Jadi aneh begini.” Kalimat Aden yang mengatakannya aneh spontan membuat Metta berheti tertawa. Senyuman lebar di bibirnya lenyap seketika yang membuat Aden yang menangkap perubahan itu, langsung tidak enak hati karena ucapannya sendiri. “So-sorry, gue gak bermaksud bilang loe aneh, maksud gue tuh ….” “Gak pa-pa kok,” potong Metta sembari mencoba tersenyum walau terkesan terpaksa. “Loe memang benar, gue aneh. Kadang gue dibilang gila karena asyik di kamar aja. Gue dibilang gak punya dunia, bahkan yang lebih parahnya lagi, gue di bilang mayat hidup karena diam saja dan hanya di kamar sepanjang hari.” Aden tampak kaget mendengar ledekan terakhir yang disematkan pada Metta, “Siapa yang bilang begitu?” tanya Aden yang kini mulai geram mendengarnya. Rasanya terlalu tidak pantas hal itu disematkan pada manusia. Apa lagi yang tidak mengenal dekat seorang metta yang ternyata asyik untuk diajak mengobrol. Rasanya Aden ingin bertemu dengan orang itu dan memakinya agar bisa sadar dari mulutnya yang terlalu kotor. “Bapak,” ucap Metta yang spontan membuat Aden melenyapkan seluruh emosinya mendengar jawaban dari Metta. “Bapak gue sendiri yang bilang kayak gitu,’ ucap Metta lagi yang terlihat menundukkan kepala, dia tampak malu dengan rahasianya sendiri yang selama ini seolah dia pendam seorang diri. Jauh dari semua orang. “Bapak kandung?” tanya Aden sekedar memastikan, berharap kalau pria yang disebut bapak oleh Metta, hanya berstatus ayah tirinya saja. Rasanya terlalu jahat jika seorang ayah kandung, mengatai sang anak sejahat itu. Metta menganggukkan kepala yang spontan memupuskan harapan Aden tentang status lelaki itu di hidup Metta, “Dia bapak kandung gue sendiri.” Aden merasakan kehancuran di hatinya yang terdalam mendengar ucapan Metta. Dia bnar-benar kehabisan akal mendengar jawaban Metta. Berita demi berita di tv yang menyiarkan kejahatan seorang ayah kandung pada anaknya yang semula ditanggapi Aden dengan sikap biasa saja, kini membuatnya kaget bukan main. Dia tidak menyangka, hal yang dia anggap mustahil dan hanya mengada-ngada, ternyata benar terjadi. Dan kini korbannya ada di depan matanya sendiri. Metta sendiri langsung menundukkan kepala. Dia tampak malu bukan main menceritakan aib keluarganya sendiri. Selama ini, tidak ada satu pun yang tahu tentang apa yang terjadi dalam keluarganya. Semuanya berubah drastic, dan perubahan itulah yang kni harus dilewati Metta dengan sabar dan kuat. “Sejak kapan?” tanya Aden yang sebenarnya kehabisan kata-kata. “Makian itu sebenarnya sejak SMP, tepatnya kelas dua semenjak bapak ditangkap polisi karena mencuri. Keluarga kami bangkrut. Pabrik milik ibu terbakar yang membuat kami habis-habisan. Dalam kondisi bapak di penjara dan ibu yang hampir gila karena dililit hutang, bapak terus maksa buat dibayarkan jaminan agar bisa bebas. Tapi ibu tidak punya uang, bahkan untuk makan saja kami kurang,” ucap Metta. “Aku sempat berhenti sekolah, tapi gak lama, hanya beberapa bulan dan alhamdulillahnya, aku dapat beasiswa tiba-tiba dari sekolah, dan adikku Bara, biaya sekolahnya dari Om Bobby, adik kandung Ibu.” “Dan bapak akhirnya berapa lama masuk penjara dan akhirnya bebas?” tanya Aden lagi. “Gue gak ingat soal itu, yang pasti Bapak tiba-tiba pulang dan menghancurkan semuanya,” jawab Metta. “Dia memukuli gue dan Bara, Ibu yang berniat menolong, malah dilempar ke dinding yang membuat kepalanya terbentur dan akhirnya pingsan.” “Dan setelah itu …?” tanya Aden lagi yang cukup penasaran dengan semua yang terjadi. Dia tampak ingin tahu semua hal tentang Metta, apa lagi tentang perubaha drastic yang kini terjad padanya. Dari Metta yang ceria, kini berubah jadi Metta yang tertutup bahkan tidak ingin bergaul dengan siapa pun. Apa lagi para siswa cowok di sekolah. Metta terdiam, dia tampak gelisah dan kebingungan menjawab pertanyaan Aden. Berulang kali dia mencengkram tangannya sendiri yang langsung terlihat oleh Aden. Dia bahkan tampak ketakutan yang membuat Aden semakincuriga dengan apa yang terjadi. “Kamu baik-baik aja kan, Met?” tanya Aden yang mulai khawatir dengan kondisi Metta. “Met?” panggil Aden lagi. Metta spontan berdiri hingga sempat pahanya mengenai meja. Aden kaget bukan main, Metta meraih tasnya seolah ingin bergegas pulang saat ini juga. Aden yang tampak kaget dengan sikap Metta, langsung ikut berdiri mencoba menenangkannya. “Gu-gue minta maaf kalau pertanyaan gue nyinggung loe, Met.” “Gue mau pulang,” ucap Metta gugup. “Tapi, Met … loe bisa cerita apa pun sama gue. Gue gak bakalan bilang sama siapa pun. Loe gak perlu khawatir.” “Gue mau pulang!” ucap Metta lagi. “Kalau loe gak mau antarin gue, gue bisa pulang sendiri,” ancam Metta. “Oke-oke, kita pulang. Ayo,” ajak Aden akhirnya menyerah. Aden langsung berjalan di depan Metta yang tidak ingin berjalan lebih dulu di depannya. Aden membawanya ke parkiran, memberikan helm pada metta yang masih tampak sepeti orang ketakutan. Aden menyerah,, dia tidak ingin memaksa Metta untuk menjawab apa pun lagi pertanyaannya. Dia tahu saat ini metta sendang kalut karena kejadian yang pernah dia alami di masa lalunya. Aden langsung menghidupkan mesin motornya, menanti Metta naik ke atas motor, lantas perlahan melajukan mtornya ke luar dari parkiran café. Sepanjang jalan Metta dan Aden hanya terdiam membisu. Tidak ada sepatah kata pun yang ke luar dari mulut Aden mau pun Metta. Ade hanya menyesali pertanyaannya yang terakhir. Sedangkan Metta sendiri tampak berusaha keras menenangkan dirinya dengan menarik napas panjang lantas mengembuskannya doi belakang tubuh Aden yang masih perlahan membawakan motor miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD