BAB 30

1453 Words
Rasya dan Audy tampak duduk menanti seseorang. Café tempat mereka menanti, tampak sunyi. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan sudah sepantasnya pengunjung belum terlalu ramai menikmati santapan yang tersedia di café yang sudah cukup lama berdiri. Rasya selalu hadir di café yang sama, bahkan semenjak dirinya belum bertemu dengan Audy. Dan beberapa pegawai café pun sejak tadi menyapanya, seolah sudah sangat dekat dengannya yang terkadang, malah membuat Audy tertawa kecil lantas menggodanya. Sejujurnya Audy berusaha menutupi rasa gugupnya bertemu dengan ayah kandungnya sndiri. Sjak tadi Rasya sendiri mengerti bahwa Audy berusaha menutupi rasa gugupnya dengan terus menggodanya. Dan Rasya tidak keberatan soal itu. Dia mengerti bahwa sebenarnya bukan hanya gugup, Audy pun juga merasa enggan bertemu dengan ayahnya sendiri. Lebih tepatnya dia belum siap jika harus bertemu dengan lelaki yang menurutnya sejak kecil begitu tega meninggalkannya dengan Melody. Andai saja lelaki itu bisa membawanya pergi, Audy menjamin hidupnya tidak akan semenderita saat dirinya bersama Melody dan juga Roszi. “Kamu masih gugup?” tanya Rasya saat melihat Audy kembali meneguk orange jus pesanannya yang kini tinggal setengah. Audy mengangguk pelan, lantas memperhaikan pintu café yang berada di belakangnya. Belum ada tanda-tanda pintu terbuka da seseorang masuk ke dalam café. Audy kembali menghela napas kecewa. Sudah hampir setengah jam keduana menanti, dan yang ditunggu-tunggu pun belum juga hadir sesuai janji. “Jangan pernah menngatakan hal yang menyakitkan, Dy. Kita gak tau apa yang sudah dilewatin ayah kamu selama ini. Kita dengar ceritanya dulu dari awal, baru mengambil kesimpulan,” ucap Arasya yang langsung dijawab Audy dengan anggukan kepala. “Yang terpenting jangan pakai emosi, kamu ingat, kan?” tanya Audy lagi. “Ya ya ya, aku ingat. Ini sudah ke sekian kalinya kamu ngingatin aku seperti itu,, Sya. Aku sampai bosan dengarnya.” Rasya tertawa mendengarnya, mengusap kepala Audy gemas. Dia tahu bahwa ini sudah ke sekian kalinya dia mengatakannya pada Audy. Rasya hanya takut Audy melupakannya dan malah mengedepankan emosinya saat berhadapan dengan Bernama Yoko yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Rasya ingin pertemuan pertama kali ini selesai dengan damai, melepaskan kerinduan antar anak dan ayah kandung yang sudah sejak lama dipisahkan secara paksa. Rasya ingin Audy bisa menerima keadaan Yoko apa pun kondisinya. Karena dengan hadirnya Yoko, Rasya merasa dirinya punya harapan merasakan hangatnya sebuah keluarga utuh yang tidak pernah dia temui dalam hidupnya. Suara pintu café terbuka terdengar. Untuk kali pertama sejak duduk di dalam café, Audy tidak berani melihat kea rah pintu. Dia hanya tertunduk merasakan ada degupan aneh di dadanya seolah seseorang yang hadir, sangat dekat dengan jantungnya. Rasya sendiri melihat kea rah pintu. Seorang lelaki tegap dengan pakaian seperti seseorang yang bekerja di kantoran hadir. Dia tampak tampan, dengan laptop kecil di dalam tas laptop di tangan kanannya. Rasya berdiri menyambut saat lelaki itu tersenyum ke arahnya. Audy yang merasakan Rasya berdiri, sesaat melirik ke arahnya, lantas kembali tertunduk. “Om Yoko?” tanya Rasya saat lelaki itu berhenti tepat di dekatnya. Rasya masih kurang yakin dengan tebakannya mengingat gambaran Melody tentang kondisi Yoko yang tidak sehebat lelaki di hadapannya kini. Lelaki itu mengulurkan tangan yang membuat Rasya menyambut uluran tangannya untuk berjabat tangan, “Yoko Harimurti, kamu Rasya?” tanya lelaki Bernama Yoko itu yang berhasil membuat Rasya kaget bukan main sembari menganggukkan kepala pelan. Yoko tersenyum, melepaskan genggamannya lantas mengalihkan pandangan ke Audy yang masih enggan melihatnya. “Audy?” panggil Yoko yang masih saja enggan untuk membuat Audy mengangkat kepalanya. “Apa kamu gak mau lihat Ayah?” Perlahan Audy berdiri, tetap menundukkan kepala dan enggan membalas uluran tangan Yoko yang berniat berjabat tangan dengannya. Audy sempat melihat jam tangan mahal di pergelangan tangan kanan Yoko. Sesaat membuatnya kaget. Mustahil lelaki yang selalu disebutkan Melody miskin itu, bisa membeli jam tangan mahal yang bagi Audy, dirinya saja sayang jika harus membelinya. Audy kembali menundukkan kepala, semakin tertunduk. “Kenapa Ayah pergi dan gak pernah datang ke rumah sejak kecil?” tanya Audy dengan nada suara penekanan di nada suaranya. Rasya menghela napas pelan. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi. Audy malah tampak mengedepankan emosinya dibandingkan harus bebricara baik-baik dengan membiarkan terlebbih dahulu Yoko untuk duduk di kursi yang sudah disediakan di depan Audy. Rasya mengalihkan pandangan ke Yoko yang tampak begitu tenang, meletakkan laptopnya ke atas meja lantas duduk di kursinya tanpa dipersilakan oleh siapa pun. Yoko sesaat menarik pandangannya ke Rasya, meminta Rasya untuk duduk dari anggukan kepalanya yang membuat Rasya mengerti lantas mengajak Audy untuk duduk. Audy menurut dengan kepala yang masih tertunduk, enggan melesatkan tatapan ke lelaki yang sudah duduk di hadapannya. “Apa kamu punya waktu untuk mendengar semuanya dari awal?” tanya Yoko dengan nada yang tetap tenang. “Ayah hanya tidak ingin kamu berpikiran buruk tentang Ayah. Mengira Ayah tidak pernah hadir memintamu ke Mami kamu yang gila hart aitu, namun mampu dengan lihainya berakting seolah menyayangi anak-anaknya.” “Cerita saja, aku punya waktu lebih untuk dengar cerita dari anda,” ucap Audy yang masih kesal. Yoko menarik napas dalam-dalam lantas mengembuskannya perlahan, “Dari mulai dengan cara baik-baik sampai kasar, Ayah sudah melakukannya demi mendapatkan hak asuh kamu. bahkan semua kado yang Ayah berikan setiap kali kamu ulang tahun, selalu dibakar kedua orang tua kamu itu langsng di depan mata ayah setiap tahunnya.” Audy tampak kaget. Lantas mengangkat kepalanya mengarahkan tatapan ke lelaki yang benar-benar di luar dari bayangannya. Tidak ada pakaian kumuh dengan ramut acak-acakan seperti yang disbutkan Melody kemarin. Dia bahkan tampak begitu rapi, elegant dan sangat berkelas. Audy benar-benar bingung, apa yang sebenarnya terjadi. “Ayah pun sudah berusaha melalui jalur pengadilan, tapi lagi-lagi dengan segala cara, Mami dan Papi kamu itu mendapakanmu. Padahal sudah jelas hak asuh berhasl Ayah dapatkan. “ “Tapi Ayah bisa paksa mereka!” “Mereka mengancam ayah dengan melibatkan nyawa kamu, Audy,” balas Yoko yang langsung membuat Audy terdiam. Nyawa? Sebegitu tegakah dua orang itu memperlakukansang Ayah yang ingin mendapatkannya? Itulah yang kini ada di pikiran Audy mendengar cecita dari Yoko. “Dan ancaman itu di dengar langsung sama Oma kamu, andai dia masih hidup, kamu bisa bertanya kebenarannya.” Audy mengerutkan kening, “Ayah tau kalau Oma sudah meninggal?” tanya Audy heran. Yoko mengangguk, mengneluarkan sesuatu dari dompetnya dan memberikannya pada Audy. Selembar kertas kwitansi pembayaran pemakaman Oma Uti yang membuat Audy menangis megetahuinya. “Jadi Ayah orangnya yang membiayai semua pemakaman Oma?” tanya Audy lagi. “Bukan hanya biaya pemakaman, tapi juga biaya hidup dan pengobatan Oma kamu,” jawab Yoko. “Tapi kenapa Ayah tega ngebiarin Oma di panti jompo, bukannya membawa Oma ke rumah dan ngurusin oma?” “Karena Oma kamu sendiri yang memintanya,” ucap Yoko. “Ayah sengaja membawa Oma kamu ke sini dari Singapore untuk bisa dilakukan pengobatan dan tinggal bersama Ayah. Namun Oma menolak untuk tinggal bersama Ayah. Dia merasa bersalah karena dulu tidak bbisa membawakanmu ke pelukan Ayah.” “Karena Oma tidak tau kalau Ayah mencariku?” Yoko menggelengkan kepal, “Karena Oma juga diancam oleh mereka,” jawab Yoko yang jelas saja lagi dan lagi membuat Audy kaget bukan main. “Oma akhirnya memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenal Ayah dan selalu mengusir Ayah setiap kali datang menemui kamu saat kamu diusir dari rumah dan tinggal dengannya. Ayah pikir, akan sangat mudah untuk bisa bertemu dengan kamu saat itu, tapi ternyata tidak. Penjagaan ketat dilakukan Roszi di depan pagar tinggi rumah Oma yang membuat Ayah kesulitan untuk sekedar bertemu dengan kamu.” Audy terdiam, mencoba menenangkan emosinya yang semakin lama semakin mencair. Semua sulit unttuk dia cerna. Entah cerita yang mana yang harus dia percayai. Dia benar-benar bingung bukan main. Audy kembali mengalihkan pandangan ke depan, tepat ke pakaian dan gaya Yoko berpenampilan. Ingatannya kembali tertuju ke ucapan Melody yang memakinya miskin dan tak berguna. “Dari mana Ayah dapatkan baju dan jam mahal itu?” tanya Audy. “Apa harus berpenampilan seperti itu hanya untuk bertemu denganku? Seharusnya Ayah berpakaian sama saja seperti saat Ayah mengunjungi Mami di penjara.” “Inilah yang sebenarnya, Dy,” ucap Yoko. “Penampilan Ayah di depan Mami kamulah yang sebenarnya penipuan. Ayah tidak mau dia tau kalau saat ini, Ayah sudah sukses. Tolong, rahasiakan semua ini dari diam au pun dari suaminya. Bahkan dari anak kandungnya itu.” “Yura?” tebak Audy yang langsung dijawab Yoko dengan anggukan kepala. “Tapi dia sudah berubah, Yah.” “Semua bisa saja terjadi, Audy. Dia masih terlalu labil untuk bis akita percayai,” ucap Yoko lagi dengan nada suara seperti membenci sesuatu. “Berhati-hatilah, Nak,” ucap Yoko yang langsung membuat Audy dan Rasya saling berpandangan lantas kembali mengarahkan tatapannya ke Yoko yang masih menjuruskan tatapan kepada keduanya. Ada penyesalan di dalam diri Rasya karena sudah mengizinkan Yura untuk tinggal bersamanya dan Audy pasca menikah nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD