BAB 31

1407 Words
“Seriusan abang ngajak Metta makan siang terus ngobrol lama berdua?!” tanya Nina saat Aden datang ke kamarnya dan duduk di atas tempat tidur sembari bermain handphone. Nina yang semula duduk di kursi belajarnya, langsung berpindah ke tempat tidur dan duduk di sampingnya. Kamar bernuansa pink itu, memang dikhususkan untuk Nina. Sengaja dibuat Nisa dan Adit hanya untuk Nina yang selalu menyukai warna pink sejak kecil. Aden menganggukkan kepala, “Dan ternyata, anaknya asyik juga. Pantasan kamu bisa akrab banget sama tuh anak.” Nina memukul pelan lengan Aden, “Tuhlah, apa Nina bilang, anaknya baik, kan?” tanya Nina yang membuat Aden malu karena selama ini enggan dekat dengan Metta, dan bahkan sering mengatainya sebagai anak yang kudet dan kurang asyik jika diajak berteman. “Tapi soal Ayahnya, kamu tau kisahnya?” tanya Aden yang kembali menarik ekspresi bingung di wajah Nina. “Emangnya Ayahnya kenapa?” tanya Nina yang tampak seperti seseorang yang tidak tahu apa pun. “Emangnya dia cerita apa aja sama kamu, Bang?” Sesaat Aden ragu untuk cerita. Da sudah berjanji di depan Metta untuk menjaga rahasianya dari siapa pun. Namun tanpa Nina, Aden juga tidak bisa bertindak sendirian untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Metta. Terlebih lagi jika harus melindunginya. Walau pun Aden sendiri sadar, bahwa dia tidak punya kewajiban penting untuk melindungi Metta yang memang bukan siapa-siapanya. “Lha malah diam, cerita dulu ada apa??” tanya Nina lagi sembbari menarik tangan Aden beberapa kali. “Sabarlah, tapi janji jangan heboh yaa. Di depan Metta pun jangan sampai dia tau kalau abang cerita sama kamu, janji?” tanya Aden sembari mengangkat jari kelingkngnya ke arah Nina. Nina langsung mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Aden sama seperti dulu, tidak pernah berubah saat berjanji dengan Aden. “Iya janji!” ucap Nina lantas melepaskan kaitan jari kelingkingnya. “Cepat cerita.” Aden mengubah posisi duduknya dengan bersila dan menghadap Nina, “Dia belum banyak cerita sih, cuma dia bilang Bapaknya itu pernah masuk penjara karena mencuri. Terus semenjak ke luar dari penjara, bapaknya berubah total jadi kasar. Tapi ada satu cerita yang malah dia gantung, gak mau dia teruskan.” “Cerita yang mana?” tanya Nina. “Ngomong jangan sepotong-sepotong napa!” “Ya sabarlah, kamunya main potong aja, belumjuga siap ngomong!” balas Aden kesal bukan main yang membuat Nina menutup rapat mulutnya. “Dia bilang pas bapaknya ke luar dari penjara, kan langsung pulang tuh, nah … di situ bapaknya marah besar karena gak dikasih jaminan sama ibunya buat ke luar dari penjara. Bapaknya langsug nolak ibunya ke dindng sampai pingsan, terus bapaknya ngeliat Metta sama adiknya. Nah … di situ Metta langsung berhenti cerita. Dia kayak orang ketakutan, terus malah minta langsung pulang. Sepanjang jalan dia diam aja. Malahan sampai sekolah buat jemput sepeda, dia gak adangomong apa-apa dan langsung lari gitu aja ninggalin abang ke parkiran sekolah.” Aden menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar. “Abang curiga, ada yang terjadi di situ sampai buat Metta tertutup kayak gini. Dia seperti nutup diri dari semua orang. Abang sering lihat dia pas lagi jalan terus mau melewati cowok, dia pasti ngehindar. Kan aneh jadinya,” ucap Aden lagi yang membuat Nina mengerutkan kening. “Iya sih, Nina juga sering lihat Kak Metta ngehindarin kerumunan cowok gitu,” ucap Nina sembari mengingat-ngingat gelagat Metta saat berada di kerumunan bersamanya. “Kak Metta bajkan hanya nunduk aja, kayak ketakutan gitu.” “Itu dia yang buat abang penasaran, tapi saat abang tanya kenapa, Metta malah gak mau ngejawab,” ucap Aden lagi. “Kamu bis acari tau gak?” Nina mengerutkan kening, “Cari tau gimana, sementara abang gak ngasih Nina buat cerita ke Kak Metta kalau abang udah ngasih tau semuanya yang dia ceritakan ke Nina.” Aden menghela napas panjang, lantas menolak pelan kening Nina dengan jari telunjuknya, “Ya … jangan sampai dia taulah, di pikir atuh, apa gitu. Entah kamu main ke rumahnya dengann alasan mau belajar atau apa, terus lihat situasi di rumahnya gimana. Bukannya malah nanya langsung.” Aden melipat kedua tangannya di d**a. “Ngakku juara umum, lompat kelas karena pintar, tapi mikir kayak begini aja gak bisa. Jadi curiga, kamu lulus ujian karena nyontek apa gimana sih!” Nina langsung memukul kepala Aden dengan bantal love di pangkuannya, “Sembarangan, jangan asal bicara ya, belum pernah kenal bakar hidup-hidup?” Aden tertawa. Dia paling senang jika melihat Nina kesal padanya. Sehari saja tidak bertengkar atau sekedae membuat Nina kesal padanya, rasanya ada yang kurang dalam harinya. Dan hal itulah yang sering membuat Nina terus menerus mengadu pada Nisa. Nisa sendiri hanya memarahi Aden seadanya karena sejak kecil, lebih tepatnya sejak kedua oarng tuanya meninggal dunia, Nisa memang sudah berjanji untuk tidak memarahi kedua adiknya apa oun masalahnya =. Karena hal itulah, Aden merasa bebas menjahilin Nina setiap saat. “Kalau tidur di sana, di kasih Kak NIsa gak ya?” tanya Nina tiba-tiba yang mmbuat Aden terdaim. Dia tdaik pernah sekali pun mengizinkan kedua adiknya untuk menginap di rumah yang tidak ada hubungan darah atau saudara sekali pun. Aden mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu tentang hal itu yang membuat Nina menghela napas panjang. “Tapi lebih bagus gak usah aja deh, takutnya bahaya,” ucap Aden lagi yang tampak takut jika terjadi sesuatu pada adiknya. “Bahaya apaan coba?” tanya Nina heran. “Ya … kita gak tau sebenarnya bapaknya dia ngelakuin apa sama dia, dia mantan napi, takutnya malah nekat ngelakuin sesuatu untuk dapatin apa yang dia mau. Kan jadi bahaya buat kamu, Dek. Kamu bukan siapa-siapanya, jadi bisa saja dia gak ada segannya sama kamu,” ucap Ade yang masih terllihat cemas. Nina tersenyum jahil, “Ciye … yang takut adiknya kenapa-kenapa,” ledek Nina sembari mencubit pelan perut Aden. “Sesayang itu sama akoh?” “Agh, lebay!” ucap Aden lantas pergi meninggalkan Nina di kamarnya yang masih saja berteriak meledeki Aden yang tersipu malu dengan sikapnya sendiri. Aden langsung masuk ke kamarnya lantas mengambil handphonenya dai saku celana, saat suara deringan handphone terdengar. Ada nama Bryan di layar handphonenya yang langsung membuat Aden duduk di atas temat tidur dan menjawab telepon itu. “Nape?” tanya Aden sembari berbaring, mengarahkan sorot matanya ke langit-langit kamar yang terang karena lampunya menyala. Aden menekan tombol loudspeaker dan meletakkan handphonenya ke samping kepalanya. “Pain loe?” tanya Bryan dari seberang. “Gak ada, lagi santai,” jawab Aden. “Tumben nelepon, ada apa?” “Cuma mau nanya soal kondisi so kutu buku,” ucap Bryan. “Metta?” tanya Aden sekedar meyakinkan dirinya bahwa orang yang dimaksud Bryan adalah Metta. “Siapa lagi,” balas Bryan. “Gimana tadi, loe culik ke mana tuh anak? Kok dia balik-balik ke sekolah sambil nangis.’ Aden spontan bangkit dari posisi berbaring, duduk lantas meraih handphonenya. Ekspresinya tampak kaget mendengar apa yang diucapkan Bryan barusan padanya. Sebelumnya, Metta baik-baik saja saat bersamanya. Tidak ada tangisan, bahkan wajah sedih bukan tidak ada. Metta hanya tampak ketakutan saat bersamanya. “Nangis?” tanya Aden. “Seriusan?” “Iya,” jawab Bryan terdengar yakin. “Gue lihat sendiri air matanya netes pas ngambil sepeda. Gue sempat negur dia, dia noleh ke gue, makanya gue tau tuh ada air mata di pipinya.” Bryan duduk di atas kursi di depan laptopnya. “Loe apain sampai anak orang nangis?” “Lha, mana ada gue apa-apain!” bantah Aden. “Mungkin ada masalah kali makanya nangis. Jangan gossip loe, lama-lama kayak genk Grace loe.” Bryan tertawa mendengar ucapan Aden, “Santai broh. Soalnya gue bngung tuhanak kenapa kok bisa tiba-tiba nangis gitu. Soalnya setau gue kan loe yang bawa dia pergi. Kirain loe olak dia pas dia nembak loe.” Bryan kembali ngakak yang membuat Aden memanyunkan bibirnya kesal. “Eh, tugas besok udah sih belom?” tanya Bryan sembari mengambil bukunya di lai meja laptop dengan tangan kananya, sedangkan tangan kirinya masih memegang handphoneyang ditempelkan di telinga kirinya. “Udah, emang kayak loe!” ledek Aden. “Eleh, palingan juga yang ngerjain Nina, bukan loe!” balas Bryan. “Jangan ngiri dong!” “Kampret,” maki Bryan. “Ya udahlah, gue mau ngerjain tugas dulu.” “Oke!” Aden mengakhiri panggilan Bryan, menatap lurus ke depan memikirkan ucapan Bryan tentang Metta yang menanggis tadi siang. Aden benar-benar bingung apa yang sebenarnya terjadi pada Metta hingga membuatnya menangis di depan umum. Aden menarik napas panjag, lantas mengembuskannya perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD