Adit membaringkan tubuhnya di sofa, perlahan memejamkan kedua matanya. Ada rasa lelah di wajahnya yang membuat Nisa yang baru saja datang ke ruang tv sembari membawa segelas air mineral untuk Adit, terdiam terpaku. Rasanya ada seirbu pertanyaan di kepala Nisa untuk Adit. Namun ditepisnya secepat mungkin semua pertanyaan itu, lantas menaik napas panjang dan mengembuskanya perlahan. Nisa menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, lantas melangkah mendekati Adit dan dduk di pinggir sofa tempat Adit berbaring. Adit yang merasa ada yang hadir di dekatnya, langsung membuka kedua matanya, lantas duduk saat menyadari ada Nisa di dekatnya.
“Baru pulang?” tanya Nisa basa-basi sembari memberikan air yang dia bawa ke Adit. Adit langsung meminumnya beberapa teguk, lantas memberikannya lagi ke Nisa. Nisa mengambilnya da meletakkannya ke atas meja. Nisa kembali mengarahkan pandangan ke Adit sembari tersenyum.
“Maaf, aku telat pulang. Aku juga lupa ngabarin kamu,” ucap Adit dengan nada suara berat, seolah menunjukkan bahwa tubuhnya benar-benar lelah saat ini.
“Gak apa-apa, aku tau kamu sibuk,” jawab Nisa dengan nada suara tetap tenang. “Kamu mau mandi sekarang? Biar aku siapkan air hangat.”
Adit menggelengkan kepala, “Entar lagi aja, aku masih mau di sini dulu.” Adit tersenyum tipis. “Adek-adek mana? Kok gak kelihatan?”
“Ada tuh pada di kamar semua, lagi pada belajar,” jawab Nisa. “Besok kan sekolah.” Nisa tersenyum tipis. “Soal akad nikah Audy hari jumat ini, apa jadi?” tanya Nisa cukup hati-hati. Takut jika pertanyaaannya bukan di waktu yang tepat.
“Insya Allah jadi,” ucap Adit singkatlantas menatap Nisa lekat. “Ksmu gak berniat nanya akua da masalah apa?”
Nisa tersenyum tipis. Sejujurnya sudah sejak tadi dia ingin bertanya, namun rasanya tidak tega jika harus menambah beban Adit yang tampak kalut dengan semua pertanyaannya seoutar kondisinya yang pulang dengan keadaan tidak seperti biasanya. Biasanya Nisa selalu mendapatkan senyuman lebar darinya, terkadang malah langsung mencarinya dan memeluknya erat, bermanja meminta makan bersama atau malah meminta Nisa untuk duduk bersamanya mendengar semua cerita darinya tentang kegiatannya seharian di hotel. Namun kali ini benar0benar berbeda. Satu kebiasaan yang tidak pernah terjadi pada diri Adit yang dia kenal sangat tidak pernah mengeluh dalam kondisi apa pun.
“Kalau kamu tanya kenapa aku tidak bertanya kamu kenapa, aku akan jawab, kalau saat ini aku tidak ingin membebani kamu dengan semua pertanyaanku. Aku yakin, kamu akan menceritakan segalanya saat kamu siap untuk cerita.” Nisa mengusap pipi kanan Adit lembut dan penuh kasih sayang. “Tapi kalau kamu mau cerita sekarang, aku siap dengarkan.”
Adit langsung meraih tangan Nisa, menggenggamnya erat lantas sesaat mendaratkan kecupan di punggung tangan Nisa. Nisa terus tersenyum, berharap senyumannya bisa menenangkan Adit dari segala kegelisahan yang dia rasakan akibat masalah yang masih belum dia ceritakan.
“Ada pelanggan complain,” ucap Adit memulai ceritanya. “Katanya, makanan yang dia pesan ke kamar, tidak sesuai dan malah ada kecoa di dalam mie yang dia pesan untuk sarapan.”
“Kecoa? Kok bisa?” tanya Nisa kaget bukan. Dia tidak pernah mendengar kejadian seperti ini terjadi di hotel milik Adit. Adit bukan baru setahun dua tahun menjalani bisnis perhotelannya. Sudah sejak lama Adit melakoninya, dan semua staff yang dia pekerjakan bukan orang-orang sembarangan. Sudah bertahun-tahun pula staff-nya baik dibagian perhotelannya, mau pun di restoran sudah bekerja dengannya. Dan beberapa chef di sana malah sudah mendapatkan sertipikat dari ilmu memasak yang mereka pelajarin.
Adit menghela napas pelan. Ada kebingungan di wajahnya yang membuat nisa tak tega melihatnya. Dia tahu, sebagai pemlik hotel dia pasti malu bukan main dengan kejadian ini. Namun di sisi lain, ingin marah pun dia tidak akan mungkin melakukannya mengingat semua orang yang bekerja di sana, adalah orang-orang terpercayanya. Sudah seperti keluarga sendiri, itulah yang serng dikatakan Adit pada siapa pun jika ada pertayaan tentang hubunganya dengan semua staffnya.
“Dan yang buat semakin kacau, pelanggan itu adalah seorang wartawan dari salah satu media cetak sekaligus online,” lanjut Adit yang semakin membuat NIsa mengerti apa yang menjadi beban di pikiran Adit saat ini. “Dia mengancam akan memasukkan berita itu ke media beritanya. Bahkan dia sudah mengambil gambar-gambar makanan itu sebelum dia melaporkanya pada aku atau staff di hotel.”
Nisa mengerutkan keningnya. Ada yang aneh baginya saat mendengar semua cerita Adit tentang sikap aneh si pelanggan. Serasa ada keganjilan di dalamnya yang masih belum bisa diakini Nisa kebenarannya.
“Kok kayak sengaja, Bang!” seru seseorang yang langsung membuat Nisa dan ADit meoleh ke tangga. Tampak Aden melangkah menuruni tangga perlahan sembari menjuruskan tatapan ke keduanya yang masih duduk do sofa. saat kedua kakinya sudah memijak lantai dasar, Aden langsung melanngkah medekati salah satu sofa di depan sofa panjang yang masih di duduki Nisa dan Adit, lantas kembali menatap Adit yang menatapnya bingung.
“Sengaja gimana, Den?” tanya Adit sembari menuruni kakinya yang semula dia luruska di sofa. “Ada permainan gitu maksud kamu.”
“Tepat sekali,” ucap Aden. “Kalau Aden yang jadi pelanggan, Aden gak bakalan sempat mengambil gambar, pasti langsung menghubungi staff hotel atau malah meja informasi, bukan malah numpulkan bukti seperti itu.” Aden menyandarkan tubuhnya di kepala sofa. “Lagi pula itu sarapan pagi, pasti mau cepat agar bisa ngelakuin semua pekerjaan atau kegiatan lainnya. Dan pasti pun dia sudah lapar, jadi gak bakalan sempat mengambil gambar. Perut lapar, wakttu mepet bakalan jadi alasan untuk bisa langsung emosi bukan, Bang?” kupas Aden. “Tapi ini cumsa pandangan Aden aja ya, gak selalu benar juga. Harus dicari tahu juga kebenarannya.”
“Aku pun ngerasa ada yang aneh sama apa yang dia lakukan, Dit,” ucap Nisa yang lagsung membuat Adit semakin berpikir keras tentang masalah di hotelnya tadi pagi.
“Dan satu lagi yang Aden penasaran,” lanjut Aden. “Kalau boleh tau, media berita apa dia, Bag? Dia ada nyebutkan gak?”
“Ada,” jawab Adit cepat. “Adipama News,” jawab Adit cepat yang membuat Aden memetic jari tangan kanannya.
“Nah, kan, bener dugaan Aden,” ucapnya sembari tersenyum simpul. “Itu media bukannya ada di kota ini? Kenapa harus nginap di hotel segala?” tanya Aden. “Wartawan itu pasti orang dalam, pasti ada yang nyuruh dia buat ngejatuhi nama baik abang dan hotel abang, makanya dia sengaja disuruh menginap di sana da buat masalah kayak gini sama bosnya.” Aden menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar. “Atau jangan-jangan agar bisa dapat bbiaya gratis dalam hal apa pun? Tapi kalau soal biaya gratis, rasanya kurang tepat sih, mengingat hotel abang biar pun bintang lima, tapi tetap harga menginap semalam sama makanannya juga gak mahal-maha banget. Masih terjangkau. Malah untuk anak SMA seperti Aden dan Nina juga masih bisa nginap di sana pakai uang jajan sendiri, biar pun hanya bisa dapat kamar standar doang, bukan yang lainnya. Tapi kamar standar juga cukup mewah.”
“Dan kamarnya termasuk yang standar atau mahal, Dit?” tanya Nisa tampak penasaran.
“Standar,” jawab Adit.
“Dan mie yang dia pesan mie biasa atau mie spagethy?” tanya Aden.
“Mie goreng biasa, sama nasi goreng,” jawab Adit lagi.
“Nah kan, aneh,” jawab Aden yang langsung membuat Adit mengerutkan kening.
“Adipama ... kayak gak asing tapi siapa ya?” tanya Adit sembari menatap lurus ke lantai yang membuat Nisa dan Aden terdiam membiarkan Adit berpikir tentang satu nama yang keduanya pun tidak tahu sama sekali siapa gerangan.