Rachel membuka lembaran berikutnya, tampak beberapa foto di dalamnya yang membuat Rachel tersenyum, lantas menunjukkannya ke Alea yang sejak tadi duduk di sampingnya di atas tempat tidur.
“Loe ingat ini, Kak?” tanya Rachel ke Alea yang tampak menarik bola matanya untuk tertuju ke album. Alea menatanya tanpa ekspresi, sedangkan Rachel terus tersenyum melihat dua orang anak berusia tujuh tahun yang saling bersepedaan di taman. Kedua anak itu terlihat sadar akanm kamera, salah satunya terseyum, sedangkan yang lainnya terlihat tanpa ekspresi.
“Loe ingat?” tanya Rachel yag membuat Alea mengarahkan pandangan ke arahnya. “Ini kita saat main sepeda bareng. Loe selalu aja gak pernah mau senyum kalau di foto pas lagi bermain. Loe paling benci kalau lagi berman diganggu. Da gue, malah kebalikan dari loe, gue suka di foto. Loe ingat?” tanya Rachel lagi yang sama sekali tidak dijawab Alea. Alea bahkan kembali menjuruskan tatapannya lurus ke depan, seolah-olah memperlihatkan kalau dirinya enggan membahas masa lalu. Rachel sesaat terdiam, memudarkan senyumannya lantas menghela napas pelan.
Ini sudah kali ke sekianya Alea tampak cuek. Tidak ada respon sama sekali darinya. Alea hanya terdiam, tidak menunjukkan perkembangan apa pun. Padahal meurut kata dokter, dengan terapi seperti ini, Alea bisa merespon. Entah itu respon marah, atau malah senang. Namun respon-respon itu tidak ada sama sekali darinya.
“Apa loe gak mau sembuh?” tanya Rachel yang tampak benar-benar kecewa dengannya. Dia menyerah. Seolah sudah tidak ada lagi harapan darinya untuk tetap membantu Alea sembuh.
Semula Rachel begitu yakin dirinya bisa membantu Alea untum sembuh dari kegilaannya. Rachel sudah memiliki rencana untuk membalaskan dendamnya dengan bantuan Alea dan Jordi selepas lelaki itu ke luar dari jeruji besi. Namun sayangnya, Alea malah tetap saja enggan merespon yang membuat Rachel hanya punya satu harapan, hanya dengan Jordi seorang untuk bisa membalaskan semua dendamnya pada keluarga Adit.
“Loe gak mau balas dendam sama orang-orang yang sudah membuat loe seperti ini?” tanya Rachel lagi dengan nada sedikit di bumbui emosi. “Mereka bahagia di luar sama.sedamgkan loe … loe malah terkurung di ruangan seperti ini dengan kondisi miris?” Rachel langsung berdiri dan sedikit menjauh. “Lihat kondisi loe sekarang, loe tau? Mereka tertawa ngelihat loe gak bisa apa-apa!” bentah Rachel yang tetap saja hanya membuat Alea terdiam dan bahkan sama sekali tidak mennoleh padanya. Alea hanya menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan dan belakang perlahan, seperti sedang bermain. Alea menarik napas panjang latas kembali mendekati Aea, menarik wajahnya agar bisa terarah padanya.
“Apa loe gak mau ngebalas kematian Raymond?” tanya Alea yang spontan saja berhasil enarik ekspresi kaget dan marah dari Alea.
“Raymond?” tanya Alea yang hanya dijawab Rachel dengan anggukan kepala dan tersenyum pennuh kejahatan di bibirnya. “RAYMOND!!!” jerit Alea tiba-tiba.
Rachel yang kaget, spontan mundur. Beruntungnya saat itu kedua tangan dan kaki Alea diikat di tempat tidur. Hal itu berhasil membuat Rachel lega bukan main. Alea yang sering ngamuk-ngamuk sendiri setiap malam, membuat team medis berinisiatif melakukan hal itu padaya. Team medis tidak ingin Alea sampai melukai dirinya sendiri. Dan pengikatan itu pun atas persetujuan Rachel sendiri sebagai keluarga.
Suara teriakan Alea membuat beberapa orang suster dari iuar datang. Rachel ang diminta mundur, langsung mennurutinya. Dengan santainya, Rachel melipat kedua tangannya di d**a dan tersenyum puas melihat Alea berhasil membebri respon walau harus menyebutkan nama Raymond.
Seorang suster tampak mengeluarkan suntikan dari saku bajunya. Rachel yang melihat hal itu, langsung berteriak mencegahnya yang membuat suster itu kaget bukan main. Rachel langsung merampas suntikan itu dan membuangnya ke lantai.
“Ada apa, Mbak?” tanya suster itu yang langsung menarik tatapan Rachel kembali tertuju padanya.
“Mau sampai kapan kalian terus menyuntik kakak gue dengan obat-obatan penenenag? Hah?!” bentak Rachel geram bukan main.
“Tapi Cuma itu yang bisa buat Mbak Alea tenang, kami tidak sanggup menenangkannya. Kasihan dia jika terus berteriak seoerti ini, Mbak.”
“Biar 8ue yang menenangkanya, kalian semua ke luar sekarang juga!” bentak Alea yang langsung dituruti dua orang suster itu. Pintu kembali ditutup.
Rachel menata Alea yang masih merinta-rinta denan posisi duduk di atas tempat tidur. Dia berteriak sesekali. Tanpa rasa takut, Rachel mendekat, duduk di hadapannya lanntas mengusap rambut sang kakak penuh kasih sayang.
“Jangan teriak-teriak, Kak, ada mami,” bisik Rachel yang spontan saja membuat Alea terdiam seketika. Ekspresi takut hadir di wajahnya. Alea malah dengan cepat langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Ada Mami?” tanya Alea setengah berbisik.
Rachel menganggukkan kepala, “Yah … Mami bisa-bisa memasung kakak lagi, kakak mau?” tanya Rachel dengan nada suara yang masih sama, setengah berbisik.
Alea menggelengkan kepala cepat. Rachel tersenyum lantas kembali meminta Alea untuk tenang. Perlahan, Rachel membantu Alea untuk berbaring, menyelimutinya yang dengan ccepat langsung dtarik Alea selimut itu untuk menutupi seluruh tubuhnya. Rachel tersenyum lantas ikut berbaring menatap langit-langit kamar. Senyumannya semakin mengembang tanpa Alea sadari.
***
Adit mempercepat langkahnya. Masuk ke dalam lift bersama Aden yang sengaja dia bawa untuk membantunya menyelidiki kasus dan juga kukasa hukum kepercayaannya. Hari ini, Adit ada janji temu dengan pria pemilik media cetak itu yang entah siapa namanya. Namun sayangnya, saat Adit berada di jalan menuju hotel, dia medapatkan telepon dari sekertarisnya bahwa janji itu dibatalkan dan hanya ada lelaki yang berkedok pelanggan yang menginap kemarinlah yang sedang menantinya di ruangan rapat.
Adit kesal bukan main. Seharusnya dia bisa melihat wajah dari pemilik Media berita itu yang dicurigai Aden sebagai dalang dari kasus ini. Adit ingin tahu, wajah dari pria itu yang kedengarannya tidak asing untuknya. Sayangnya, Adit belum menemukan jawaban dari kecurigaannya tentang latar belakang pemilik media berita itu. Asisten pribadinya yang selalu sigap mencari tahu apa pun, malah sedang cuti sejak tiga hari lalu, dan saat ini sedang berlibur ke Amerika bersama keluarganya. Rasanya mustahil Adit menghubunginya untuk kembali bekerja mencari tahu apa yang ingin dia ketahui. Rasanya tidak etis jika di masa liburannya yang jarang dia ambil, Adit kembali menyulitkannya dengan urusan pekerjaan.
Pintu lift terbuka. Adit melangkah dengan cepat ke luar dafi lkift diikuti Aden dan kuasa hukumnya. Semua karyawan hotel yang berselisihan langkah dengannya, langsung berdiri menyapa. Namun seperti bukan Adit yang biasa selalu ramah pada semua orang, Adit hanya meelwatinya tanpa merespon sedikit pun. Bahkan melirik saja pu tidak. Hanya Aden yang membalas sapaan itu dengan senyuman. Aden merasa tidak enak melihat Adit sama sekali tidak membalas teguran semua pegawai yang menegurnya.
Dia di san. Adit yang baru saja membuka pintu ruang rapat, akhirnya langsung bisa melihat dua orang pria yang kini duduk santai di kursi masing-masing. Dan salah satunya adalah lelaki yang sudah berhasil membuat kegaduhan di hotelnya kemarin. Adit langsung duduk sembari tersenyum tipis sekedar memberikan sapaan. Sedangkan Aden dan kuasa hukum Adit duduk di hadapan keduanya yang hanya terhalang meja panjang.
“Maaf sudah menunggu lama,” ucap Adit sekedar basa-basi.
“Gak masalah,” jawab lelaki Bernama Indra itu.
“Jadi, kenapa bos anda tidak datang? Apa ada masalah, atau tidak mau bertemu dengan saya?” tanya Adit santai, tidak seperti sebelumnya yang tampak tegang menghadapi situasi.
Indra tampak terjebak dengan pertanyaan Adit, lebih tepatnya saat Adit menyebutkan kalau lelaki itu adalah bosnya. Baik Adit mau pun Aden dan kuasa hukumnya, langsung melihat gelagat aneh Indra yang seperti berusaha menutupi sesuatu.
“Dia bukan bos saya, siapa bilang dia bos saya,” ucap Indra berusaha santai naun malah terkesan dibuat-buat.
“Ouw,” jawab Adit. “Bisa ya, orang lain memanggil pria paling sibuk yang pastinya punya segudang jadwal kerjaan untuk bisa datang ke pertemuan sepele seperti ini. Kamu bayar berapa beliau?”
“Apa maksud anda bilang hal ini sepele?” tanya Indra tampak tidak terima. “Ada kecoa di makanan saya dan salah satu pesanan saya malah salah, minta tidak pedas nasi gorengnya malah dikasih yang luar biasa pedasnya, apa itu hal sepele?” tanya Indra santai. “Nasi goreng pedas seperti itu bisa buat istri saya masuk rumah sakit karena asam lambungnya kambuh. Apa anda mau tanggung jawab?!”
Aden tersenyum tipis. Ada ekspresi aneh walau hanya sekilas dia temukan di wajah Indra. Dia tampak sedikit gugup, seolah takut salah ucap. Dan senyuman Aden itu berhasil ditangkap ADit, walau langsung dibawa diam. Adit sengaja membiarkan Aden memperhatikan situasi agar bisa mencari celah kesalahan Indra.
“Dan kenapa istri anda tidak hadir di sini?” tanya Adit tetap dengan gaya santainya.
“Dia tidak bisa hadir karena ada kerjaan di rumah,” jawab Indra. “Lagian, cukup saya dan kuasa hukum saya saja, buat apa istri saya datang juga.”
“Di rumah?” tanya Adit lantas tertawa menyeleneh. Adit langsung meminta Aden untuk menyalakan proyektor lantas gambar-gambar bukti tertayang di layar putih di depan Adit.
“Anda masih ingat nasi goreng itu?” tanya Adit yang langsung dilihat Indra ke layar. “Anda bilang nasi goreng itu pedas. Tapi gambar itu membuktikan, bahwa nasi goreng yang kami sediakan sudah dimakan setengah. Saya pikir tadi anda akan menjawab bahwa istri anda sedang di rumah sakit, saya malah berniat datang berkunjung, tapi ternyata tidak sama sekali.” Adit menyandarkan tubuhnya di kursi saat melihat Indra dan kuasa hukumnya tampak gugup. “Jadi siapa yang makan kalau bukan istri anda sendiri, mengingat hasil penyelidikan kami dan ucapan dari anda kemarin, bahwa anda tidak pemakan nasi sama sekali sejak sepuluh tahun lalu. Jadi kalau bukan istri anda, siapa lagi yang memakannya?”
Indra terdiam sesaat, mencoba mencari alasan lain agar lebih meyakinkan untuk diterima Adit. Adit yang melihat hal itu, langsung meminta Aden untuk berpindah ke foto berikutya. Aden mengangguk, lantas tampilan pun berubah ke gambar mie goreng pesanan Indra.
“Dan gambar ini, bisa anda lihat?” tanya Adit yang kembali membuat Indra mengalihkan pandangannnya ke layar. “Kecoa yang anda maksud berada di atas mie yang belum diaduk atau tersentuh. Begitu jelas terlihat, tapi kenapa pegawai saya yang mengantarkannya tidak melihatnya? Apa sebelumnya kecoa itu bersembunyi di bawah mie?”
“Ya mungkin saja!” jawab Indra.
“Tapi sayangnya kecoa itu sudah tidak bernyawa saat ditemukan,” ucap Adit.
Indra semakin tersudut. Adit tersenyum puas.
“Silakan anda masukkan semuanya ke dalam majalah adipama, saya terima. Tapi tunggu saya du pengadilan. Kita akan jumpa di sana dengan semua bukti lainnya yang tidak ingin saya tunjukkan sekarang,” ucap Adit lantas berdiri. “Maaf satu lagi, sampaikan ke bos anda, kapan pun dia ingin bertemu dengan saya, saya siap meluangkan waktu untuknya di mana pun dan kapan pun.”
Adit melangkah pergi meninggalkan Aden dan kuasa hukum di dalam; Aden tersenyum sinis, mengeluarkan flash disc lantas melangkah menyusul ADit diikui kuasa hukum ADit. Indra da kuasa hukumnya tampak geram melihatnya kalah telak di pertemuan hari ini.