BAB 21

1345 Words
Doni melirik ke Aurum yang baru saja duduk di kursi berbeda di meja makan. Sarapan kali ini, benar-benar belum berubah dari beberapa hari lalu. Aurum masih saja dingin padanya. Seakan tidak ada kesempatan kedua bagi Doni untuk sekedar menebus semua dosa-dosanya terdahulu.                Semenjak kepindahan Dimas dan Ameliya ke rumah baru, Aurum belum sekali pun mengajaknya berbicara. Hanya jawaban-jawaban singkat yang dia lakukan setiap kali pertanyaan tentang letak barang di mana, atau saat Doni berpamitan pergi. Aurum malah jarang mencium tangannya setiap kali Doni melangkah ke luar dari rumah. Dia memilih menyibukkan diri dengan bunga-bunga hiasnya yang berhasil membuat Doni semakin merasa bersalah.                Aurum menyantap sarapan nasi goreng buatan pembantunya. Pagi ini sudah pagi ketiga Aurum tidak menyiapkan sarapan untuknya. Biasanya, Aurum sama sekali tidak melewati makan pagi untuk sekedar menyiapkan makanan untuk disantap sang suami. Walau pun siang dan malam bukan dirinya yang menyiapkan, namun Aurum sama sekali tidak melewatkan jadwal yang satu itu. Bukan karena dirinya tidak pintar masak, namun Aurum memang jarang di rumah dan lebih sering ke butik. Seperti hari ini, dia tampak sudah siap untuk pergi. Pakaiannya rapi dengan dandanan sederhana namun terkesan menarik. Doni sendiri malah berniat menghabiskan waktu di rumah seharian. Dia malas ke rumah sakit, bahkan dirinya benar-benar malas ke mana-mana.                “Mau pergi?” tanya Doni sekedar membuka pembicaraan. Dia benci kesunyian yang terjadi antara dirinya dan sang istri. Dulu, masih ada kedua cucunya yang selalu menghiasi kegiatan makan bersama di ruang makan. Namun kini, serasa tak ada lagi kebahagiaan di rumah yang kini hanya ditempati dirinya dan juga Aurum.                “Em,” jawab Aurum sembari melumat makanannya.                “Ke mana?” tanya Doni padahal dirinya sudah tahu ke mana Aurum akan pergi. Tadi malam saat Aurum menghubungi salah satu karywannya, dia sudah membuat janji untuk bertemu dengan salah satu pelanggan yang akan mencoba gaun pengantin hasil dari rancangannya hari ini. Namun rasanya, Doni ingin Aurum lebih banyak mengeluarkan kata-kata dari pada hanya diam seperti saat ini.                “Butik,” jawab Aurum lagi-lagi singkat bukan main. Dia seakan malas berbicara. Bahkan saat menjawab pun, Aurum sama sekali tidak mengarahkan sorot matanya ke arahnya. Aurum terus terpusat ke piringnya sendiri, seolah tidak peduli ada Doni atau pun tidak di hadapannya.                “Sampai jam berapa?” tanya Doni lagi yang baru saja selesai menyantap nasi gorengnya. “Apa sampai malam lagi?”                “Mungkin,” jawab Aurum.                Doni yang berniat bertanya lagi, terhenti saat suara handphone milik Aurum terdengar. Aurum langsung menjawabnya yang ternyata dari Zyo. Aurum begitu gembira, bahkan sangat berbeda dari sikapnya sebelumnya. Dia berbicara dengan cucu pertamanya itu dengan suara lucunya yang membuat Doni iri bahkan sempat merindukan sosok anak laki-laki yang sebenarnya dulu, selalu membuat hidup Doni lebih berwarna.                “Iya, Sayang, nanti kalau oma sempat datang ke sana, oma datang ya, Zyo mau di bawain apa?” tanya Aurum lantas memasukkan suapan terakhir nasi goreng ke dalam mulutnya, meraih segelas susudengan tangan kanannya, lantas meneguknya sembari terus mendengarkan Zyo berbicara.                “Ya ampun, baiknya cucu oma. Ditawarin mainan malah mintanya buat adiknya terus,” ucap Aurum sembari melirik ke Doni seolah ingin menegaskan bahwa dirinya sudah salah menganggap Zyo tidak peduli dengan adiknya sendiri. Doni yang mendapati tatapan dari Aurum, langsung mengetri, lantas menundukkan kepala.                Aurum meraih tas tangannya yang sedari tadi dia letakkan di kursi sebelahnya, melangkah pergi meninggalkan Doni tanpa berpamitan, sembari terus berbicara dengan Zyo di telepon. Doni lagi-lagi hanya bisa terdiam mendapati sikap Aurum yang begitu menyakitkan untuknya. ***                Diam-diam, Doni hadir di depan rumah baru Ameliya. Doni yang sudah mengetahui di mana alamatnya, langsung meminta sang supir untuk membawanya ke rumah Ameliya. Tanpa turun, Doni membuka jendela mobilnya yang kini terparkir di seberang rumah. Terlihat Ameliya sedang duduk di ayunan besi yang tersedia di halaman kecil di depan rumahnya. Sedangkan Zyo dan Zenia tampak bermain bersama Dimas yang hari itu sesuai jadwal, masuk siang.                Mereka tampak bahagia, itulah yang kini tertangkap di kedua mata Doni. Kebahagiaan yang semula menghiasi rumahnya, kini berpindah tempat. Rasanya dia ingin meminta anak, menantu dan kedua cucunya untuk kembali tinggal bersamanya. Namun sayangnya, dia benar-benar gengsi jika harus memohon pada Dimas untuk bisa kembali.                “Aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, sampai papi sendiri yang memintaku kembali!” Ucapan Dimas kembali terngiang di telinga Doni saat Dimas hadir di kamarnya untuk berpamitan. Doni yang masih kesal bukan main, malah semakin memancingnya dengan amarah hingga pertengkaran itu kembali terjadi. Doni benar-benar gelap mata, bahkan hingga memberikan tamparan keras di pipi sang anak yang saat itu hanya hadir sendiri di kamarnya tanpa Ameliya. Akibatnya, Aurum menangis histeris, sedangkan Dimas hanya terdiam tanpa bisa berkata apa pun lagi.                “Apa karena Ameliya kamu berubah seperti ini sama orang tuamu sendiri?!” bentak Doni kala itu.                Dimas mengangkat wajahnya dan menatap Doni tanpa rasa takut, namun tidak menunjukkan wajah menantang. Dia tidak ingin terus memancing emosi Doni. Dia tahu, semakin diberitahu, Doni bukan akan sadar tapi akan semakin menjadi-jadi dalam kemarahannya.                “Bukan Ameliya yang membuat Dimas berubah seperti ini, tapi karena keegoisan papi yang membuat semuanya terjadi,” ucap Dimas saat itu. “Entah apa yang membuat Papi bisa berubah seperti ini. Menganggap Zyo yang sejak dulu sudah kita putuskan untuk menerimanya seeprti anak dan cucu sendiri di rumah ini, malah sekarang seperti orang asing di mata Papi. Dimas hanya bisa berharap, suatu saat nanti Papi akan sadar, kalau Zyo tidak seperti yang Papi pikirkan selama ini. Dia tidak akan menyakiti adik-adiknya. Malah dialah yang nantinya akan menjaga Papi, bukan hanya adik-adiknya saja.”                “Pak, itu mobil Ibu!” seru sang supir yang membuat Doni tersentak kaget dari kenangan masa lalu. Doni langsung menutup jendelanya saat menyadari mobil Aurum mendekat dari jauh, meminta sang supir untuk pergi secepatnya, agar tidak ketahuan. Sang supir menurut dan langsung melajukan mobilnya pergi dari depan rumah Ameliya yang terdapat pagar berduri di depannya. Ameliya yang menyadari suara laju mobil itu, langsung menarik tatapannya ke depan. Sekedar memastikan mobil siapa yang tiba-tiba menekan pedal gas sekuat tenaga dan pergi dari hadpan rumahnya. Namun belum sempat dia mencari tahu, mobil aurum masuk ke depan gerbang. Dimas yang menyadari hal itu, langsung berlari membukakan pagar dan membiarkan Aurum memasuki mobilnya saat Zyo dan Zenia menyingkir mendekati Ameliya yang sudah berdiri.                “Mami!” seru Ameliya yang langsung dihampiri Aurum dan memeluknya erat.                “Oma!!” seru Zyo dan Zenia bersamaan. Aurum langsung beralih mmeluk ke kedua cucunya secara bersamaan. Lantas kembali menatap Ameliya setelah membiarkan Dimas mencium punguung tangannya.                “Bukannya itu tadi mobi papi?” tanya Aurum yang ternyata sempat melihat mobil sang suami sempat terparkir di depan rumah Dimas.                Dimas yang tidak tahu apa yang terjadi, langsung melihat ke arah kedua pasang mat aitu tertuju, lantas kembali menatap Aurum yang masih mengarahkan tatapan bingung ke arah jalan lajunya mobil tadi pergi.                “Papi?” tanya Dimas yang hanya dijawab Aurum dengan anggukan kepala pelan. “Mana mungkin Papi ke sini, Mi. Mami ini ada-ada aja deh. Mami kan tau sendiri gimana sikap Papi, kalau udah marah ya marah, gak bakalan bisa diubah kalau belum sadar dengan sendirinya,” ucap Dimas dengan emosi yang masih tersisa.                Ameliya yang masih melihat emosi hadir di dalam diri Dimas, langsung mengusap lengannya hingga Dimas mengarahkan tatapannya ke Ameliya. Ameliya mencoba menyadarkan Dimas untuk tidak marah di hadapan anak-anak. Anak-anak yang tidak tahu menahu tentang pertengkaran yang terjadi, membuat Ameliya tidak berniat memberitahu keduanya. Dia tidak mau ekdua anaknya terutama Zyo terus merasa sedih kalau sampai tahu sang opa tidak pernah menyayanginya seperti dulu lagi. Dimas menghela napas, lantas membuat Aurum menatapnya.                “Papi kalian pasti berubah. Yang mami lihat tadi, Papi mulai ngerasa bersalah. Saat Zyo menghubungi Mami, dia malah tertunduk kayak rindu sama cucu-cucunya,” ujar Aurum setelah memastikan Zyo dan Zenia kembali bermain.                Ameliya terdiam. Jauh dalam hatinya dia masih berharap Doni akan berubah seperti yang dia inginkan. Seperti dulu saat kehangatan masih begitu lekat dalam dirinya. Walau sebenarnya dia menyukai tinggal di rumah sendiri tanpa bayang-bayang mertua, namun dia pun tak kuasa menoak keinginannya untuk kembali berkumpul seperti dulu. Dia sangat merindukannya, dan hal itu sering membuatnya menangis seorang diri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD