BAB 27

1529 Words
Nisa membuka album foto lama yang sejak dulu selalu dia simpan. Sesekali dia tersenyum saat melihat foto lucu bersama kedua orang tuanya dan Nina serta Aden yang tampak bergaya. Namun sesekali dia terlihat sedih, saat melihat selembar foto sang ibu dan ayah. Keduanya tampak berdiri. Nisa membiarkan kedua matanya tertuju ke Mirna. Wanita yang sejak dulu sangat dia rindukan pelukannya, namun tak bisa dia dapatkan hingga napas terakhirnya. Kedua tangannya yang tidak ada sejak lahirlah yang membuatnya tidak bisa memeluk ketiga anaknya. Dan akhirnya, dia sekarang bisa memeluk ketiga anaknya, walau hanya dalam mimpi. Ada rasa penyesalan di relung hati Nisa yang terdalam. Ingatannya yang tertarik ke belakang, ke kejadian-kejadian saat dirinya memaksa sangat ibu untuk menjadi sempurna, membentak Mirna, bahkan selalu saja menyembunyikan sosok Mirna di depan semua orang. Andai saja waktu bisa kembali terulang, Nisa sangat ingin mengubah segalanya. Termasuk ingin memeluk sang ibu dengan eratnya. Apa lagi sejak dirinya meninggal, Nisalah yang terlalu sering didatangi Mirna dalam mimpi, memeluknya erat dan selalu menemaninya dalam diam hingga Nisa terbangun dari tidur malamnya. Suara pintu kamar terdengar. Nisa dengan cepat menghapus air matanya, namun sayangnya Adit malah tertangkap oleh kedua matanya. Adit yang melihat Nisa baru saja selesai menangis walau bibirnya tersenyum lebar menyambutnya, langsung mendekati Nisa yang sejak tadi duduk di atas tempat tidur, dah mengusap air mata Nisa yang masih tersisa di pipi. "Kamu nangis?" tanya Adit yang sama sekali tidak dijawab Nisa. Dia hanya tertunduk sembari terus berusaha tersenyum. Adit menghela napas panjang, menarik sorot matanya ke album yang tergeletak di atas tempat tidur, tepatnya di depan Nisa, lantas mengerti apa yang membuat Nisa menangis seorang diri di kamar. "Kamu rindu Ibu?" tanya Adit dengan nada suara lembut. Nisa menganggukkan kepala pelan, "Rindu iya, nyesal juga iya. Campur." Nisa berusaha tertawa sekedar mencairkan suasana, namun sayangnya Adit malah sama sekali tidak tertawa mendengar ucapan Nisa. Adit malah mengusap pelan rambut Nisa yang beberapa helai menutupi wajahnya yang ayu dan manis. "Nyesal kenapa? Cerita sama aku," ucap Adit yang spontan membuat Nisa menundukkan kepala. Kembali menikmati album foto tepatnya melepas rindu di foto Mirna yang sangat dia rindukan. Anehnya sudah dua minggu belakangan ini Mirna tak kunjung hadir di dalam mimpinya. Bahkan Nina dan Aden pun tidak. "Kalau ingat dulu, aku tuh jahat banget yaa, Dit, " ucap Nisa memulai cerita. "Dulu tuh aku selalu malu sama kondisi ibu yang tidak memiliki tangan. Aku selalu minta ibu untuk tetap di rumah saat teman-teman datang. Aku selalu minta ibu untuk jadi ibu yang sempurna seperti ibu lainnya. Tanpa aku sadari, semua yang aku lakukan sering buat ibu nangis sendirian saat kami tidur." Nisa mengalihkan pandangannya ke Adit yang begitu serius mendengarkan ceritanya. "Aku jahat banget jadi anak ya, Dit?" tanya Njsa dengan wajah sedih dan kedua mata meneduh. Adit kembali menarik napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan, "Semua sudah berlalu, Nis. Lagi pula kamu sudah minta maaf ke ibu, kan?" Nisa menganggukkan kepala. "dan ibu memaafkan kamu, kan?" Nisa kembali menganggukkan kepala. "Jadi buat apa disesali? Kita gak akan bisa ngerubah masa lalu, kan?" Kali ini Nisa tidak menjawab pertanyaan Adit. Dia hanya tertunduk sedih yang membuat Adit tak tega jika terus membiarkannya semakin larut dalam kesedihan. Adit langsung menariknya, memeluknya erat yang berhasil membuat Nisa nyaman dj dalam pelukannya. "Aku hanya takut anak kita nanti, malah berbuat sama seperti yang aku lakukan ke Ibu," ucap Nisa dalam pelukan Adit. "Rasanya pasti sakit jika sebagai ibu, tidak pernah diakui anak sendiri di depan semua orang." "Insya Allah gak bakalan terjadi. Kita doakan saja ya," ucap Adit yang langsung dijawab Nisa dengan anggukan kepala. Adit semakin memperat pelukannya yang membuat Nisa semakin nyaman berada di dalam pelukan Adit. Nisa mengusap perutnya, mendoakan dalam hati agar apa pun yang dia lakukan pada sang ibu dulu, tidak akan pernah terjadi. *** Dimas kaget saat Doni hadir di ruangannya. Dimas yang baru saja selesai mengobrol dengan suster Alena, suster pribadinya yang selalu membantunya dalam hal apa pun di rumah sakit, langsung meminta wanita itu ke luar dari ruangannya dan mempersilakan Doni untuk duduk di kursi tamunya. Dimas mengambilkan air mineral cup yang tersedia, dan memberikannya ke atas meja tepat di hadapan Doni. Sudah cukup lama dia tidak bertatapan langsung dengan pria keras yang dia panggil papi itu. Semenja kepindahannya ke rumah baru bersam Ameliya dan kedua anaknya, Dimas sudah tidak pernah lagi datang berkunjung ke rumah kedua orang tuanya. Hanya Aurum yang sering datang, sedangkan baik Dimas mau pun Ameliya sama sekali tidak pernah berkunjung. Ameliya memang sering memintanya untuk kembali, sekedar melihat keadaan sang papi yang tidak pernah hadir di rumahnya yang baru. Namun sikap kekras Dimas yang sangat mirip dengan Doni, membuat Ameliya menyerah memintanya hal yang sama. Alhasil hingga detik ini, Ameliya sudah tidak pernah memintanya lagi. “Lagi banyak kerjaan?” tanya Doni basa-basi setelah beberapa menit berlalu dalam diam. “Lumayan,” jawab Dimas yang masih kesal dengan sikap Doni memperlakukan Zyo da Ameliya dulu. “Ada apa ke sini, Pi? Check up esehatan atau sekedar control keadaan rumah sakit?” tanya Dimas sembari meraih minnuman untuknya yang sudah tertancap sedotan, lantas meneguknya beberapa kali, meletakkannya kembali ke atas meja dan menatap Doni. “Gimana kabar anak-anak?” tanya Doni seolah enggan menjawab pertanyaan Dimas sebelumnya. Dimas menghela napas pelan. Cara Doni mengabaikan pertanyaannya, membuatnya yakin kalau saat ini Doni sedang dilanda rasa malu yang luar biasa akibat sikapnya sebelumnya. Dimas sudah hapal betul cara bersikap Doni. Dia tidak akan pernah mau meminta maaf apa lagi membuat posisinya terjebak dengan semua pertanyaan orang lain padanya. Dan siapa pun yang sednag berhadapan dengannya hanya bisa menelan air liur dan menahan emosi saat sikap tidak peduli atau abai itu dia keluarkan. “Papi nanya cucu yang mana? Zyo atau Zenia?” tanya Dimas lagi yang memang sengaja ingin menjebak Doni. “Kenapa harus bertanya seperti itu? Memang ada perbedaannya antara Zyo dan Zenia?” tanya Doni mulai terpancing. “Bukannya Papi yang membedakan mereka berdua?” tanya Dimas tanpa rasa takut yang membuat Doni terdiam. Seolah tersadar dengan kesalahannya, Doni menghela napas pelan, menundukkan kepala melihat minuman cup yang memang sejak tadi dia pegang di tanan kanannya. Ingatan kejadian itu seakan kembali berputar di kepala. Suara kerasnya membentak Zyo dan pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi antara dirinya dengan istri dan anaknya membuatnya terdiam membisu. Dimas yang melihat sikap Doni, langsung merasa bersalah karena sudah secara tidak sengaja, melukai perasaan Doni. “Dimas tau kalau Zyo bukan anak kandung Dimas, bbukan juga cucu kandung Papi, tapi bukannya kita semua sepakat menerimanya karena sejak awal juga bukan kesalahan Ameliya?” tanya Dimas mencoba mengingatkan Doni dengan kejadian beberapa tahun silam. “Ameliya sendiri juga tidak ingin merasakan hal itu, bukan dia yang memintanya. Andai saja dia bisa memilih, Ameliya adalah orang pertama yang menolak kejadian itu terjadi, Pi. Tapi kita gak bisa menolak takdir, semua sudah terjadi tanpa Ameliya sadari dan cegah.” “Tapi semua itu bisa dihindari kalau Adit dan keluarganya tidak membuat masalah dengan wanita itu.” “Alea maksud Papi?” tebak Dimas yang langsung dijawab Doni dengan anggukan. “Bukan Adit yang cari masalah dengan wanita itu, tapi wanita itulah yang mencari masalah dengannya. Papi juga kan sudah tau cerita asal mula Alea itu mengusik hidup ADit da keluarganya, jadi buat apa dipermasalahkan lagi. Semua itu bisa mengganggu ehamilan Ameliya dan tumbuh kembang Zyo dan Zenia. Zyo bisa jadi tida tterima dengan statusnya kalau sampai dia tau, dan dia bisa saja jadi aak dan abang yang tidak baik buat Zenia, padahal selama ini dia berusaha jadi abang yang terbaik buat adiknya. Tapi hanya karena Papi, semua itu bisa berubah. Semua usaha kami sebagai orang tua bisa gagal.” Doni terdiam. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk sekedar melawan Dimas yang begitu emosi melihatnya. Dimas kembali mencoba menenagkan dirinya sendiri agar tidak terus terpancing emosi. “Kalau Papi gak bisa terima Zyo, Dimas gak akan bawa Zenia atau pun anak ketiga kami ke hadapan Papi sampai kapan pun,” ancam Dimas yang membuat Doni menatapnya kaget. “Ini bukan permintaan Ameliya, tapi ini keputusan Dimas yang baru detik ini Dimas buat. Jadi tolong jangan salahkan istri Dimas lagi. Selama ini Cuma Papi yang dia pikirkan, tai sayangnya Papi malah gak pernah memikirkannya sama sekali. “Dimas berdiri dari tempatnya duduk semua. “Maaf, Pi, ada pasien yang harus Dimas periksa sekarnag. Papi kalau masih mau di sini, silakan. Tapi satu jam lagi kemungkinan Ameliya datang bawa anak-anak, karena hari ini dia yang jemput Zyo. Jadi untuk menghindari perdebatan, sebaiknya Papi pulang saja. Dimas gak mau kehamilan Ameliya dan mental Zyo terganggu hanya karena ketidak adilan Papi dan sikap Papi ke Zyo. Maaf, Pi,” ucap Dimas lantas pergi dari ruangannya. Doni menghela napas pelan. Doni beranjak dari tempatnya duduk, sesaat terhenti saat melihat bingkai foto tergantung di dinding ruangan Dimas. Doni memeprhatikan Zyo di sana yag begitu gembira dalam gendongannya. Foot keluarga yang sudah cukup lama dipajang Dimas itu, berhasil membuat Doni sedih bukan main. Tanpa sepengetahuan Doni, Dimas menyaksikan semua itu di kaca jendela tertutup di samping pintu ruangannya. Dia hanya bisa berharap, sang papi akan berubah menjadi sosok lembut seperti dulu terutama untuk Zyo yang begitu terluka mendapati sikap sag Opa berubah drastis padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD