BAB 26

1556 Words
Metta membuka helm yang dia enakan saat Aden menghentikan motor besarnya di depan toko kaca mata. Metta memperhatikan toko kaca mata di depannya, lantas menatap heran ke arah Aden saat Aden sudah turun dari motor dan berdiri mrmbuka helmnya, lantas menyantolkan helm yang dia kenakan, ke salah satu kaca spion. Sedangkan helm milik Metta hanya dia letakkan di atas tempat duduknya saja. “Kenapa ke sini?” tanya Metta sembari mendorong batang kaca matanya yang hampir merosot dari batang hidungnya. “Beli kaca mata baru,” jawab Aden. “Untuk?” tanya Metta lagi. Dengan wajah polosnya, Metta menatap Aden yang menatapnya gemas, walau berusaha sekuat tenaga dia sembunyikan agar tidak merasa malu di depan cewek yang selalu menjadi objek bully-an semua orang di sekolah. “Udah jangan banyak tanya, ayo!” ajak Aden sembari menarik tangan Metta masuk ke dalam. Metta yang kaget, sponta melangkah mengikutinya dengan tatapan tertuju ke pegangan Aden yang begitu kuat di pergelangan tangannya. Aden membuka pintu optic lantas meminta metta duduk di salah satu kursi yang di depannya sudah ada penjaga toko yang tersenyum menyambut keduanya. Terutama Aden, karena Metta sempat mendengar sang perempuan cantik dengan rambut sebahu melengkung ke dalam itu menyebutkan nama Aden setelah mengucapkan selamat datang padanya. “Mbak, ini pecah, bisa kasih yang baru?” tanya Aden sembari memberikan kacamata Metta yang pecah dari tangan Metta tanpa izin. “Kalau bisa, periksa ulang aja matanya. Siapa tau nambah atau malah berkurang.” “Baik, Mas Aden,” ucapnya. “Bisa ikut saya sebentar, Mbak,” ajaknya yang hanya bisa diikuti Metta tanpa banyak tanya. Aden sendiri langsung duduk di salah satu sofa yang tersedia di sudut ruangan. Aden memperhatikan Metta yang mulai di tes jarak jauh kedua matanya dalam melihat. Dengan terbata-bata seolah menebak, Metta menyebutkan huruf yang ukurannya cukup kecil. Sianya malah salah dan berhasil membuat Aden lucu saat melihatnya, walau denga cepat ditahan Aden tawanya yang berniat ingin ke luar. Metta ternyata merasa, dan sesaat melirik Aden sembari memanyunkan bibir, lantas kembali fokus ke huruf yang ditunjuk penjaga too dengan kayu yang dia pegang. Aden sampai detik ini tidak habis pikir dengan semua orang yang terlalu jahat pada Metta. Jika dilihat dari sosoknya, dia terlihat seperti siswi yang lain, berm=wajah manis jika kaca matanya dbuka, memiliki kepintaran yang bagi Aden, di atas rata-rata dan semua itu berhasil dibuktikannya dengan rangking satu umum yang selalu dia dapatkan di setiap akhir semester. Keramahannya walau sedikit pemalu, dan hatinya yang baik, dan itu terlihat oleh Aden saat melihatnya membantu semua orang, bahkan orang yang jahat dengannya sekali pun. Metta seolah menjadi siswi yang tidak terlihat di kelas, namun akan terlihat saat ada yang membullynya. Selama ini, Aden memang tidak terlalu peduli dengan semua hal itu. Aden selalu saja cuek dengan semua bully-an yang dilakukan semua orang terhadap Metta. Namun kejadian tadi yang langsung terlihat di depan matanya, membuat Aden tidak mungkin diam saja. Bola basket yang cukup keras menghantamnya, dan dengan tanpa perasaan Grace memijak kaca mata Metta hingga rusak dengan sengaja. Dan semua itu bagi Aden tidak akan bisa dibiarkan, selagi terjadi di depan matanya. Metta bukan perempuan jelek seperti yang diucapkan semua orang. Dia terlihat cantik saat kaca mata tebalnya dengan ukuran cukup esar itu dibuka. Rambutnya yang selalu dikepang dua, membuatnya seperti gadis desa. Dan penampilannya yang sedikit lebih culun dari siswi lainnya di sekolah. Aden masih ingat jelas ucapan Nina yang ingin mengubah Metta jadi perempuan kota yang cantik dengan pakaian dan dandanan yang manis. Namun sayangnya belum terjadi karena Metta menolaknya. Aden selama ini merasa akan sangat membosankan saat dekat dengan Metta. Namun anehnya Nina begitu akrab dengannya, seakan keduanya di kelas yang sama, padahal Metta seumuran dengan Aden. Walau Nina masih tetap memanggilnya kakak, Nina seolah tanpa beban berdekatan dengannya, seolah menganggapnya seperti Nisa mau pun Ameliya di rumah, seoah taka da Batasan antara junior dan senior. Entah dari mana kenyamanan itu hadir di antara keduanya, namun tetap saja sampai detik ini, Aden masih merasa akan sangat bosan jika harus duduk dan dekat dengan Metta yang hanya tahu menundukkan kepala. Cewek aneh bersepeda yang selalu dipakainya sebagai kendaraan ke sekolah, walau butut, namun dia tampak sangat menyayanginya. Terbukti selama di perjalanan menuju optic, Metta selalu saja teringat sepedanya dan bahkan meminta Aden untuk mengantarkannya kembali ke sekolah. Sayangnya Aden tidak menuruti semua permintaannya dan malah semakin melajukan motornya membelah jalanan. “Gimana, Mas? Mas?” Terdengar suara seseorang yang berhasil membuat Ade tersentak dari lamunannya tentang Metta. Sialnya keduanya sudah duduk di sofa di dekatnya. Walau di sfa berbeda, namun rasa malu tetap saja hadir di dalam diri Aden akibat ketakutan melamun di tempat dan waktu yang salah. “Ya, sorry, tadi lagi mikirin tugas sekolah,” jawab Aden ngeles. “Gimana tadi?” Aden mengalihkan pandangannya sesaat ke Metta yang duduk di sofa dekatnya. Sedangkan penjaga toko itu duduk di sofa di depannya. “Minusnya menurun, dan kaca matanya sebenarnya sudah harus diganti karena bukan hanya kacanya saja yang pecah tapi batang kaca matanya juga sudah patah. Tapi Mbaknya malah bilang mau dilem atau selotip saja batangnya, dan meminta kacanya saja yang diganti.” Aden memperhatikan Metta yang juga mengarahkan tatapannya ke Aden. [erlahan, Metta menundukkan kepala, mengeluarkan dompetnya. Dan mengeluarkan beberapa lembar uang dua ratus ribu ke arah penjaga toko. “Uang saya hanya tinggal segini untuk bulan ini, Mbak, hanya cukup untuk ganti kkacanya. Lagi pula hanya kaca sebelah kanan saja yang rusak, saya masih bisa bayar jika hanya sau kaca saja. Kalau untuk keduanya, uang saya akan habis.” Metta mengarahkan tatapannya ke sang penjaga too dengan ekspresi memelas. “Saya tidak aka nada uang lagi kalau harus bayar kedua kaca, apa lagi harus menngganti kaca matanya.” Aden tak tega melihatnya seperti itu. Dia tidak menyangka, kondisi Metta semiris itu selama ini. Ingatan Aden tertarik jauh ke belakang, ke masa kecilnya yang sama sekali tidak punya apa pun, bahkan untuk membeli makan saja terkadang tidak cukup dan harus berbagi sebungkus nasi dengan NIsa, ibu dan sang bapak. Sementara Nina masih terlalu kecil untuk bisa berbagi dengannya. “Tapi, Mbak, minusnya mbak sudah berkurang jauh, mata mbak bisa sakit nanti, dan akan berbahaya untuk mbaknya.” Metta menggelengkan kepala, “Tidak apa-apa, selama ini saya masih bisa pakai dengan ukuran segitu kok,” ucap Metta sembari tersenyum lebar. “lagi pula, kaca mata baru tidak terlalu penting buat saya, yang terpenting saya punya uang sampai akhir bulan ini untuk makan sama ibu.” Penjaga toko itu langsung menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan. Ada rasa tidak tega yang juga hadir dalam hatinya. Namun dia tidka bisa berbuat apa-apa, dia hanya karyawan, bukan pemilik toko yang bisa seenaknya memberi harga murah untuk pelanggannya. “Biar saya yang bayar, Mbak,” ucap Aden yang langsung menarik kedua pasang mamta itu tertuju padanya. “Buatkan saja kaca mata baru, sesuaikan dengan bentuk wajahnya, saya tidak mau sebesar ini kaca matanya, tidak cocok dengan wajahnya. Dan kalau bisa selesai sekarang, gimana?” Wanita itu tersenyum lantas menganggukkan kepala, “Akan seegra saya siaplan, tunggu sebentar ya, Mas.” Dia berlalu pergi meninggalkan Metta yang kini menatap Aden dengan ekspresi kaget sekaligus menolak keinginan Aden yang ingin membayarkan kaca mata baru untuknya. Aden sendiri dengan santai mengambil handphonenya dari saku celana sekolah, membuka kuncinya dengan finger print tanganya sendiri, lantas memberikannya ke Metta yang berniat berbicara. “Ingat nomor telepon siapa pun di rumahmu? Telepon sekarang, kita mungkin akan lama pulang.” “Maksudnya?” tanya Metta binggung. Pikiran kotor secepat kilat melesat ke kepalanya dan langsung menatap Aden takut. “Jadi maksud kamu bayarin aku, mau minta yang enggak-enggak?” tanya Metta sembari memeluk dirinya sendiri dengan ekspresi wajah ketakutan. “Jangan macam-macam ya!” Aden langsung menyelentik jari tanganya ke kening Metta yang membuat Metta merintih kesakitan, “Kalau mikir jangan yang aneh-aneh. Kita mau nunggu kaca mat aloe. Setelah itu makan, temanin gue makan dulu sebagai balas budi udah gue bayari. Setelah itu, kita jemput seepda loe. Paham sekarang?” tanya Aden kesal bukan main. Metta mengangguk, menurunkan kedua tangannya lantas mengarahkan tatapannya kea rah lain karena malu sudah berpikiran buruk ke Aden. Aden kembali meeminta Metta untuk menghubungi orang di rumahnya, Metta mengambilnya dan sesaat terdiam memikirkan siapa yang harus dia telepon. Metta mengambil buku kecil dari dalam tasnya, lantas mencari nomor telepon di dalam dan lanngsung menghubungi seseorang. Aden meliriknya. “Metta minta tolong kabarin ke Ibu kalau Metta agak lama pulang hari ini ya, Bu, Metta ada kerja kelompok sama teman-teman. Tolong ya, Bu, terima kasih.” Metta mengakhiri pembicaraannya dan memberikan kembali handphone ke Aden yang tampak bingung mengetahui Metta malah menelepon orang lain, bukan orang tuanya sendiir. “Ibu tidak punya handphone, hanya bapak yang punya,” ucap Metta sebelum ditanya Aden. “Kenapa gak ngehubungi bapak saja?” tanya Aden semakin curiga. Metta menggelengkan kepala, “Bapak sibuk,” jawab Metta sembari mengallihkan tatapannya kea rah lain seolah enggan beradu pandangan dengan Aden. Aden terdiam mendapati sikap Metta yang tak biasa. Berniat bertanya kembali, namun mendapati Metta tak kunjung mengembalikan pandangan kepadanya, membuat Ade urung melakukannya. Aden meraih minuman cup di atas meja, menancapkan sedotan ke dalam, lantas memberikannya ke Metta yang langsung diterima Metta. Aden hanya mencoba menebak kalau sang bapak sibbuk bekerja. Namun yang membuat Aden bingung bukan main, kenapa Metta malah takut kehabisan uang jika sang bapak bekerja begitu kerasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD