Aden berhasil memasukkan bola ke dalam ring basket. Dan lagi-lagi sorak sorai penonton terdengar. Bahkan team cheerleader juga ikut melompat kegiragan karena dukungannya berhasil mencetak bola. Pertandingan kali ini memang hanya pertandingan persahabatan antara sekolah SMA Teladan Putra dan SMA Mahesa tempat Aden bersekolah. Namun meski pun hanya pertandingan persahabatan, setiap team tetap saja mencoba mencari ceah agar bisa medndapatkan point lebih tinggi dari lawan mainnya.
Suara peluit tanda pertandingan berakhir pun terdengar. Dan seperti biasa team Aden memenangkan pertandngan. Aden sendiri langsung duduk di kursi panjang batu di samping lapangan, mencari tempat minuman yang sialnya malah lupa dia bawa.
“Ini,” ucap seseorang yang membuat Aden menghentikan pencarian dan menarik tatapannya ke tangan yang terulur dengan botol mineral yang masih dia genggam. Seorang cewek berdiri d hadapan Aden dengan senyuman tipis. Wajahnya manis, dengan poni depan yang menutupi keningnya. Kaca mata minusnya seakan membuat siapa pun langsung mengenalnya. Cewek pintar dengan kaca mata minus berbentuk petak yang membuat wajahnya penuh. Aden tersenyum, berniat meraih botol mineral dari tangannya, namun hal tak terduga tiba-tiba terjadi. Sebuah bola basket datang menghantam bagian kepala samping perempuan manis itu. Dia merintih kesakitan, kaca matanya spontan terlepas dari kepalanya, dia terjatuh, sebagian rambutnya yang ikal terurai menutupi wajahnya. Hanya botol mineral saja yang masih dia genggam erat di tangan kanannya. Seolah berusaha menjaga minuman yang sengaja dia beli untuk Aden.
Suara beberapa orang terdengar tertawa. Aden mengalihkan pandangan ke arah bola berasal. Ada tiga orang perempuan berpakaian cheerleader yang datang. Salah satu dari tiga itu malah menepuk-nepuk tangannya dengan gaya seolah membersihkan kotoran dari tanganya. Ketiganya tertawa meledek melihat perempuan yang masih mencari-cari di mana kaca matanya berada. Namun sialnya, kaca mata miliknya malah dengan sengaja dipijak perempuan yang berdiri di tengah-tengah dayanng-dayangnya dengan sengaja hingga gagangnya patah.
“Upz, sorry,” ucapnya dengan nada sengaja. “Habisnya, kaca mata dibuang-buang, kan jadi gak kelihatan,” sambungnya lagi lantas menendang kaca mata itu ke arah perempuan yang langsung memungutnya.
“Grace!” bentak Aden sembari berdiri yang spontan saja membuat ketiga perempuan itu kaget bukan main.
“A-aku gak a-apa-apa,” ucap perempuan itu yang langsung berdiri menahan Aden.
Beberapa teman Aden satu team basket langsung berhamburan mendekat. Mencoba mencari tahu ada apa sebenarnya hingga membuat Aden harus menaikkan voume suaranya hingga ke level tertinggi.
“Apaan sih, Den, biasa aja kali,” ucap perempuan barbola mata hitam yang baru saja dipanggil Aden dengan sebutan Grace. “Salah dia juga kok, berdiri kok sembarangan.”
“Dia gak berdiri sembarangan, dia berdiri di pinggir lapangan, di luar garis lapangan basket. Jadi dia gak bakalan ganggu elo main basket atau pun ganggu yang lainya.” Aden berusaa menerangkan kebenaran dari situasi yang terjadi. “Lagian loe kenapa sih, dari awal suka banget ngebully Metta, ada masalah?” tanya Aden yang langsung menarik tatapan sinis Grace ke Metta yang masih saja berdiri di samping Aden. Dia benci pemandangan itu. Baginya, tidak seharusnya Metta yang berdiri di samping Aden, rasanya tidak ada pantas-pantasnya sama sekali.
Sejak awal, Grace memang menyukai Aden. Wajah Aden yang tampan, dengan postur tubuh perfect ala seorang lelaki di film-film, membuat semua perempuan di sekolah tempat Aden menimba ilmu terpikat dengannya. Salah satunya Grace, si anak penyumbang dana terbesar di sekolah yang cukup terkenal di kalangan remaja yang berniat masuk dan memilih SMA tujuan. Sayangnya, gelimang harta malah tidak berhasil membuat Aden menjatuhan pandangannya sejak dua tahun setengah lalu. Dan yang membuat Grace kesal bukan main, Nina, adik Aden yang berhasil melompat kelas hingga masuk ke SMA tempat Aden bersekolah malah membuatnya semakin tidak bisa berkutik. Nina malah menentang keras keinginan Grace untuk mendekati Aden. Bahkan hingga mengintilin Aden ke mana pun Aden pergi.
“Kenapa diam?” tanya Aden yang mulai kesal saat mendapati Grace hanya diam seribu Bahasa.
“Ambil, a-aku mau masuk kelas dulu,” ucap Metta sembari kembali menyodorkan botol air mineral ke Aden.
Aden memperhatikannya, tepatnya di kaca mata yang sudah rusak di tangan kiri Metta. Aden tahu, tanpa kaca mata dia akan kesulitan berjalan. Minus yang dia lami pada matanya, pasti membuatnya kesulitan untuk menangkap apa pun dari jarak jauh. Aden menghela napas, menggenggam pergelangan tangan kiri Metta yang jelas saja membuat Metta dan Grace kaget bukan main, namun sialnya Aden malah tampak biasa saja smebari meraih tasnya di atas tempat duduk beserta handuk kecil yang langsung dia sematkan di belakang lehernya.
“Ma-mau ke mana?” tanya Metta sembari menyapukan pandangannya sungkan ke semua orang yang melihatnya bagai tokoh dalam film yang menjadi pusat perhatian.
“Gue antar loe pulang, loe gak bakalan bisa jalan sendirian dengan kaca mata rusak kayak gitu,” ucap Aden lantas menarik tangan Metta dan berjalan memisahkan Grace dan kedua sahabatnya yang tampak tidak percaya dengan sikap Aden saat itu. Metta sendiri berusaha menenangkan emosi di dadanya.
“Gila, kok bisa jadi gini sih, ini di luar rencana, Grace!” seru salah satunya yang semakin membuat Grace panas bukan main melihatnya.
“Kejar, Grace, gak bisa dibiarin tuh anak. Makin menjadi-jadi,” tambah satunya lagi.
“Diam!” teriak Grace kesal mendengar ocehan kedua sahabatnya.
“Seru!” seruan seseorang yang membuat Grace dan kedua sahabatnya, menarik tatapannya ke arah cowok yang juga tampan berwajah blasteran. Dia tersenyum sinis, lantas melipat kedua tangannya di d**a yang membuat Grace kesal bukan main. Laki-laki itu selalu saja membuat Grace jengkel, sahabat dekat Aden itulah yang juga membuat Nina semakin merasa memiliki kekuatan penuh melawan Grace. Sejak awal masui sekolah, selain Aden, Nina sudah punya pegangan yang selalu membuatnya merasa aman. Bryan yang tidak lain adalah ketua OSIS di sekolah, sudah muai tertarik dengan Nina hingga selalu iseng padanya. Namun Bryan selalu saja menjaga Nina dari siapa pun senior yang ingin mengerjainya atau malah membuatnya susah saat Masa Orientasi Siswa diadakan. Diam-diam, Nina malah selalu dibayang-bayangi Bryan dari kejauhan, dan selain karena tertarik dengan Nina, Aden jugalah yang menjadi alasan Bryan melakukan hall itu pertemanannya dengan Aden yang begitudekat, membuat Bryan melakukan semua itu.
“Suka sih suka, boleh-boleh aja, tapi dijaga dong kewarasannya,” sindir Bryan lagi yang membuat Grace semakin murka.
“Loe gak usah ikut campur!” bentak Grace lantas menghentakkan kaki kanannya dan pergi meninggalkan Bryan di susul kedua sahabatnya. Bryan tertawa melihat keduanya, meraih bola basket yang tadi menjadi objek Grace melukai Metta lantas pergi mendekati sahabat lainnya yang sudah duduk di tempat semua, di bawah ring sembari men-dribble bola.