Nisa yang sedang menyapu teras rumah, sesaat menghentikan gerakan tangannya. Menatap Nina yang pulang melewatinya, memberi salam tanpa mencium tangannya seperti biasa. Nina malah langsung membuka sepatunya dan masuk ke dalam rumah begitu saja.
Nisa melihat ke gerbang. Berharap ada Aden mau pun orang lain yang pulang bersamanya, namun ternyata tidak ada. Tidak ada siapa pun yang pulang bersamanya. Nisa meletakkan sapunya, melangkah masuk ke dalam rumah menyusul Nina yang berniat masuk ke dalam kamar. Nisa langsung berseru memanggil Nina yang langsung menghentikan langkahnya, dan berbalik melihat ke Nisa. Berusaha tersenyum, agar Nisa tidak curiga padanya dan bertanya berbagai hal yang membuatnya kesulitan menjawab.
"Ada apa, Dek?" tanya Nisa sembari mengusap kepalanya. "Ada masalah?"
Nina menggelengkan kepala, "Gak ada apa-apa, Kak, cuma lagi capek aja."
"Kamu yakin?" tanya Nisa lagi yang langsung dijawab Nina dengan gelengan kepala. Nisa tersenyum, walau pun hatinya masih merasa janggal dengan jawaban Nina yang baginya hanya berpura-pura.
"Aden mana? Kok gak pulang sama kamu?" tanya Nisa lagi yang hanya dijawab Nina dengan mengangkat kedua bahu.
"Nina masuk dulu ya, Kak, Nina ngantuk." Nina menguap yang membuat Nisa tak ingin lagi menahannya. Nisa hanya menganggukkan kepala, Nina melangkah masuk ke kamar dan menutupnya dari dalam. Nisa menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan.
***
Adit menghela napas panjang. Duduk di kursi kerja di ruangannya sembari memejamkan kedua mata. Kasus pencemaran nama baik hotelnya yang hingga kini belum juga selesai, bahkan semakin menjadi-jadi, membuatnya pusing bukan main. Bukan hanya antar dirinya dan sang pelanggan saja yang kini beradu pembenaran, namun sekarang foto-foto yang diduga hasil editan, kini sudah dimuat di halaman depan tabloid yang nahasnya malah menjadi buah bibir semua pengusaha hotel.
Adit benar-benar tidak menyangka, nama baik hotelnya yang selama ini dia jaga sekuat tenaga, hancur begitu saja karena fitnah. Akibat kejadian itu, kini pelanggan di hotelnya benar berkurang drastis, bahkan di hari sabtu dan minggu.
Adit membuka kedua matanya saat mendengar suara ketukan. Adit berseru meminta sang pengetuk masuk. Ada Miranda di sana, salah satu asistennya yang bertugas di lantai tempat kejadian berlangsung. Miranda mendekat, dan memberikan beberapa map ke meja Adit. Adit membukanya dan hanya menghela napas pelan.
"Ini pendapatan hotel kita bulan ini, Pak. Sesuai gambar yang tertera di dalam, nilai pendapatan kita semakin hari semakin menurun. Dan penurunan itu terjadi di mulai dari tanggal kejadian itu terjadi."
Adit mengerutkan keningnya, "Dari tanggal? Bukannya seharusnya dari berita dimuat di koran?" tanya Adit heran. Logikanya mulai bermain mendengar ucapan Miranda yang rasanya tidak masuk akal.
"Sesuai yang kami perhitungkan, seperti itulah kenyataannya, Pak. Kami juga gak menduga kalau penurunan itu terjadi di saat berita itu belum dimuat di koran." Miranda meminta izin untuk membalikkan hasil laporan ke halaman berikutnya. "Di sini terlihat jelas kalau penurunan mulai terjadi saat di mana tamu kita mulai komplain soal makanan, dan anehnya juga, ada beberapa pengunjung di hari itu yang seharusnya sudah memesan hingga dua malam, malam secara tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pesanan," ucap Miranda lagi. "Kami curiga, kalau semua ini sudah diatur sedemikian rupa agar hal ini terjadi, Pak. Demi menghancurkan nama baik bapak dan hotel ini."
Adit terdiam. Semua ini sudah membuatnya merasa ada yang tidak beres. Ada kejanggalan yang terjadi yang membuat Adit mau tidak mau harus turun tangan. Dia merasa tidak akan tinggal diam lagi.
"Hubungi Pak Beno, kita harus adakan rapat saat ini juga. Kalau Pak Beno bisa hari ini, kita adakan hari ini. Tapi kalau gak bisa hari ini, usahakan besok."
"Baik, Pak," jawab Miranda yang langsung ke luar dari ruangan Adit setelah berpamitan dengan sikap sopan dengannya. Adit meraih gagang telepon, menekan beberapa tombol, lantas menempelkannya ke telinganya. Suara nada masuk terdengar. Menanti seseorang di seberang yang mungkin bisa turut membantunya dalam penyelidikan kali ini walau pun statusnya masih belum dikatakan sebagai detektif.
"Halo, Den, udah pulang sekolah?" tanya Adit yang ternyata langsung menghubungi Aden yang dia harap bisa membantunya kali ini.
***
Ameliya tersenyum lega saat melihat kedua anaknya begitu dekat dengan Metta. Zyo yang biasanya sulit untuk bisa dengan cepat akrab dengan orang baru, kini malah terlihat bermain dengan Metta sembari belajar. Tugas sekolah yang dia bawa sepulang sekolah, dengan sangat mudah dia selesaikan begitu cepat padahal sembari bermain. Ameliya kembali mengganti channel TV, berpura-pura tidak melihat ketiganya bermain dengan duduk di atas karpet.
Ameliya benar-benar bisa santai kali ini. Biasanya sepulang zyo dadi sekolah, Ameliya selalu sibuk membantu Zyo makan dan juga mengerjakan tugas sekolah. Ditambah lagi dengan Zenia yang biasanya selalu mau ingin diperhatikan lebih, saat Ameliya terlalu fokus dengan Zyo. Namun kini semua teratasi. Zenia bisa dia tangani, saat Metta sedang sibuk dengan Zyo.
Ameliya pun sangat menyukai cara Metta bekerja. Semua yang dia lakukan sesuai yang ameliya inginkan. Bahkan Metta sangat disiplin dns juga pengingat. Apa pun yang diberitahu Ameliya, dengan sangat mudahnya diingat dan dikerjakan Metta tanpa ada kesalahan sedikit pun.
"Makan yang banyak, Met, dikit banget makannya," ucap Ameliya saat mendapati nasi di piring Metta sangat sedikit. Metta yang lebih memilih makan setelah semua orang makan, tampak segan saat menyadari Ameliya masuk ke ruang makan. Metta menghentikan gerakan tangannya, dan berdiri dari kursinya.
"Eh, duduk aja, makan aja, gak usah sungkan," perintah Ameliya yang sudah duduk di kursi depan Metta.
"Ada yang bisa Metta bantu, Kak?" tanya Metta kembali duduk, walau belum kembali melahap santapan makan malamnya. Biasanya Metta ditemani Sumi setiap kali makan, namun malam ini tidak. Sumi yang kurang sehat, memutuskan untuk tidur terlebih dahulu setelah membereskan piring kotor di dapur.
"Gak ada, saya cuma ingin ngobrol aja sama kamu. Sekalian nungguin papinya anak-anak," jawab Ameliya sembari menuangkan air ke dalam gelas dari teko kecil di atas meja. "Lanjut aja makanya, jangan sungkan. Kan udah dibilang, anggap aja saya ini kakak kamu, ngapain pakai acara segan segala. Selagi kamu sopan dan gak ngelakuin hal yang buat saya kesal, kamu masih aman kok di rumah ini." Ameliya tertawa yang membuat Metta tertawa kecil. "Oh iya, gimana kabar Ibu kamu, kemarin katanya sakit, apa sudah sehat?"
"Alhamdulillah sudah, Kak," jawab Metta. "Kemarin sudah berobat ditemanin adik."
"Soal kamu sama Aden, gimana?" tanya Ameliya yang jelas saja membuat Metta kaget bukan main hingga tanpa sengaja, sendok yang dia pegang terlepas begitu saja. Ameliya tersentak kaget, sedangkan Metta malah semakin merasa tidak enak akibat suara hantaman sendok di piring makannya.
"Maaf, Kak. Terlepas," ucap Metta.
"Kenapa malah kaget gitu, emangnya pertanyaan saya salah ya?" tanya Ameliya lagi yang tampak senang mendapati sikap gugup Metta.
"Metta sama Aden gak ada hubungan apa-apa, Kak, cuma teman aja."
"Lho, yang bilang kamu ada hubungan sama Aden siapa?" tanya Ameliya yang berhasil menjebak Metta dengan pertanyaan isengnya. "Gini ya, Met, yang harus kamu tau, Aden itu gak pernah sekali pun bawa perempuan ke hadapan kami semua. Ya ... Meski pun dia bawa kamu untuk kerja, tapi untuk pertama kalinya ada yang diboncengnya naik motor kesayangannya itu. Biasanya cuma kami-kami aja. Kalau gak Nina, Kak Nisa, Kak Audy atau saya. Selain itu ya baru kamu."
Metta terdiam. Ucapan Ameliya jelas membuatnya merasa terkesan bukan main. Dia pikir awalnya Aden adalah cowok buaya darat yang suka membuat semua perempuan jatuh cinta. Ternyata dugaannya salah besar.
"Kami semua suka kalau kamu dan Aden dekat, Met," ucap Ameliya tanpa basa-basi. "Dia anak baik."
Metta tersenyum tipis. Ameliya benar, Aden cowok yang baik. Cowok yang selalu menjaga adiknya setiap saat, dan Metta yakin Aden juga akan menjaga cewek yang dia sukai sama seperti yang dia lakukan pada Nina selama ini. Metta sungguh iri dengan cewek yang nantinya akan dijaga Aden. Dan Metta yakin, sosok itu bukanlah dirinya. Metta merasa dirinya tidak pantas untuk Aden yang lebih dari segalanya.