BAB 18

2085 Words
               Rachel menatap nanar ke sosok Alea yang kini duduk di sudut ruangan sembari menangis. Kabar terbaru yang dia dapatkan pagi-pagi buta, bahwa Alea mengamuk memanggil nama Nisa dan juga Raymond, membuat pihak rumah sakit jiwa langsung menghubungi Rachel dan memintanya datang. Rachel akhirnya hadir sesuai janji. Perlahan melangkah masuk dan meminta suster untuk menutup pintu kembali dan meninggalkannya berdua dengan Alea yang dikabarkan, belum juga pulih dari emosi. Sesaat suster cantik berpakaian serba putih dengan celana panjang itu tampak ragu, berdiri di belakang Rachel dengan tatapan cemas jika nantinya Rachel malah diserang seperti suster sebelumnya yang kini, dirawat di salah satu kamar inap karena serangan Alea. Tangannya berdarah akibat gigitan yang dilakukan Alea, dan dia sempat pingsan saat Alea menghantamkan kepalanya ke dinding kamar.                Rachel yang masih merasa kehadiran suster itu, langsung berbalik dan menatap bingung ke suster Bernama Nena itu. Dia melipat kedua tangannya di atas perut, lantas menghela napas pelan yang membuat Nena menundukkan kepala.                “Maaf, Mbak, pesan dari Dokter Sisil, kami gak boleh meninggalkan siapa pun yang datang berkunjung ke kamar Mbak Alea sendirian,” ucapnya tanpa ditanya terlebih dulu. “Kondisinya belum stabil, kami takut dia kembali menyerang orang seperti sebelumnya.”                “Gue adiknya, dia gak bakalan nyerang gue,” ucap Rachel yakin yang langsung menarik tatapan Nena ke arahnya. “Lagian, selama ini hanya gue kan yang bisa nenangin dia, jadi kalian gak perlu khawatir. Segila-gilanya kakak gue, gue bisa lebih gila untuk ngehadapinnya. Ke luar saja,” perintah Rachel yang langsung dijawab anggukan oleh Nena. Perlahan dia melangkah ke luar, meninggalkan Rachel yang menghela napas saat melihat pintu sudah tertutup.                Rachel berbalik, menatap Alea yang masih saja menyembunyikan wajahnya di anatara kedua lutut yang dia tekuk. Sesekali, Alea mengintipnya, namun kembali menyembunyikan wajah dengan perasaan takut bukan main. Rachel melangkah mendekatinya, lantas duduk di lantai di dekat Alea yang semakin menarik diri untuk menjaga jarak dengan adiknya itu.                “Kenapa malah nyerang orang, Kak?” tanya Rachel yang sama sekali tidak dijawab Alea. Dia malah semakin erat memeluk kedua kakinya.                Rachel tahu, percuma saja mengajaknya mengobrol dan berharap akan dibalas dengan jawaban yang dia inginkan. Alea masih saja belum pulih dari kegilaannya. Entah karena kehilanga Raymond, atau kebenciannya terhadap wanita yang sudah merebut cinta pertamanya, atau malah karena obsesi yang tak tersampaikan untuk bisa mendapatkan dan bersama Adit, yang membuatnya menjadi kehilangan akal sehat seperti saat ini. Rachel sendiri sebenarnya bingung bukan main harus melakukan apa untuk sekedar menyembuhkanya. Menurut pengakua beberapa suster dan dokter yang menanganinya, Alea seakan menolak untuk sembuh dari sakit jiwanya. Dia selalu menolak untuk diajarkan hal baik, bahkan dia selalu menyerang semua orang yang hadir ke kamarnya untuk membawanya terapi. Hal itulah yang membuat semua pihak team medis kesulitan untuk menanganinya.                “Kalau kakak terus menerus kayak begini, kakak bakalan gak bisa ke luar selamanya dari kamar ini,” ucap Rachel lagi. “Kakak mau di sini terus? Gak sumpek apa? Gak mau jalan-jalan di mall, belanja ke sana ke mari beli semua barang yang kakak mau, tidur di kamar ber-AC, spa, salon, gak mau?”                Alea menarik tatapannya ke Rachel. Tampak ada harapan dan kerinduan di kedua matanya seolah dia mengerti apa yang sejak tadi diucapkan Rachel. Semua kesukaannya yang dulu selalu dia lakukan setiap waktu senggang. Rachel yakin, terapi terbaik adalah mengingatkannya dengan semua hal-hal menyenangkan yang dulu pernah dia lakukan untuk menyenangkan dirinya sendiri.                “Salon?” tanya Alea yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Rachel. “Rambut-rambut, gunting-gunting, basah?” tanya Alea yang kembali dijawab Rachel dengan anggukan, namun kali ini anggukan kepalanya semakin cepat dengan rasa haru yang teramat sangat.                “Kakak mau salon lagi, kan? Bareng Rachel,” ujar Rachel lagi. “Nanti Rachel deh yang bayarin kakak. Kita rapikan rambut kakak, terus kita cuci sampai bersih, terus kalau pelru, Rachel bakalan ngedandanin kakak biar cantik.”                “Dandan?” tanya Alea tampak bingung.                “Iya, dandan. Pakai lipstick, bedak, blush on, eyeliner, masih banyak lagi. Nanti Rachel juga bakalan belikan kakak baju yang bagus, gak pakai baju ini terus!”                Alea memperhatikan pakaiannya. Rachel benar, bajunya mulai tak layak pakai. Lusuh dan terkesan seperti orang yang berpenyakitan. Alea kembali menatap Rachel, lantas perlahan mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pipinya. Ada bendungan air di kedua matanya yang membuat Rachel paham, bahwa kini sang kakak mulai mengingat siapa dirinya sebenarnya. Alea kembali mengangkat tangan satunya, menyentuh pipi satunya Rachel sembari meneteskan air mata yang membuat Rachel sedih bukan main melihatnya.                “Dede kecil,” ucap Alea yang langsung membuat Rachel kaget bukan main. Dia tidak menyangka, Alea akan mengingat panggilan kecilnya yang selalu dia pakai setiap kali memanggil Rachel. Rachel spontan mengangguk cepat, yang membuat air mata Alea semakin bertambah.                “Dede kecil dari mana aja?” tanya Alea lagi.                Rachel menarik lendir dari hidungnya yang hampir saja ke luar. Sejujurnya dia benar-benar tidak kuat dengan situasi seperti ini. Rasanya, sudah sangat lama dia tidak mendapatkan dan merasakan sentuhan sang kakak yang sejak dulu selalu suka mengusap pipinya denga cara yang sama. Semenjak kepergian Alea secara diam-diam, Rachel seolah kehilangannya selamanya. Rachel sempat tidak tahu di mana dia berada atau kondisinya seperti apa. Usianya yang masih terbilang anak-anak, membuat Rachel tidak mengerti harus melakukan apa untuk membawa sang kakak kembali ke rumah dan ke dalam pelukannya. Rachel hanya bisa menangis dan menangis. Tangisannya bukannya malah meluluhlantakkan hati sang ibu, malah membuat wanita tak punya hati yang tega menjual anaknya sendiri itu semakin bertambah dua kali lipat membencinya.                “Dede kecil ke mana aja?” tanya Alea lagi yang membuat Rachel mengangkat kepalanya dan mengarahkan wajahnya ke Alea. Alea tampak kaget saat mendapati air mata sudah membanjiri pipi Rachel. Alea menghapusnya sembari menggelengkan kepala berulang kali.                    “Ja-jangan menangis, ja-jangan menangis, nanti mami marah. Mami pukul-pukul kamu nanti. Jangan nangis,” ucap Alea tampak ketakutan. Dia celingak celinguk seolah memastikan tidak ada wanita yang dia maksudkan di dekatnya. Rachel benar-benar bisa melihat dari ekspresi wajah dan kedua matanya, bahwa Alea benar—benar takut jika harus bertemu dengan wanita yang sebenarnya ibu kandungnya sendiri itu. Rachel paham sekarang. Kebencian dan sikap melawannya dulu, ternyata hanya sekedar menutup ketakutannya akan wanita yang selalu saja memukulin anak-anaknya dengan tali pinggang bahkan rotan. Setiap kali kedua anaknya tidak mau menurut padanya.                  “Dia tidak ada di sini, Kak, dia sudah mati!” jawab Rachel penuh kebencian yang membuat Alea mengarahkan kembali tatapannya ke arahnya.                “Mati?” tanya Alea yang langsung dijawab anggukan oleh Rachel. “Tidak bernapas? Dia bunuh diri? Dia mati?”                Rachel langsung memeluk Alea yang secara tiba-tiba, tertawa terbahak-bahak. Dia tampak puas saat mendengar kabar yang seolah sangat dia harapkan itu. Rachel terus mempererat pelukannya dan menatap lurus ke dinding belakang tubuh Alea sembari menangis sedih. Sedangkan Alea terus saja tertawa terbahak-bahak penuh kepuasan. ***                Nisa mengunjungi makam sang ibu. Bersama Adit, dia hadir di sana saat matahari belum terlalu meninggi di atas langit. Adit begitu setia memayunginya. Payung berwarna kuning yang tidak terlalu terang, melindungi tubuh Nisa yang saat itu berjongkok di samping pusara sang ibu. Dia tampak merindukannya. Sesaat mencabuti rerumputan yang tumbuh, lantas membuangnya ke sisi kiri makam yang terdapat timbunan rumput lainnya, seolah menjad tempat kumpulan rumput yang baru saja dibersihkan penjaga makam. Dan tidak terlalu jauh dari tempat keduanya berada, terlihat dua orang lelaki memakai topi yang sibuk menyapu pinggiran makam, agar pemakaman tetap terjaga kebersihannya.                Adit yang sejak tadi berdiri, akhirnya menyerah dan memilih berjongkok di samping Nisa. Dengan tangan kanan masih memegang gagang payung, Adit ikut khusyuk dalam doa. Membacakan beberapa ayat di dalam hatinya, yang sesekali terlihat di bibirnya yang komat-kamit.                Nisa sendiri kini sudah meraba tanah yang di bawahnya menjadi tempat terakhir untuks ang ibu. Baru kali ini dia pergi berdua dengan Adit. Biasanya ada Nina dan Aden yang selalu ikut setiap kali Nisa ingin berziarah. Namun keduanya yang lebih memilih menemani Ameliya di rumah hari ini, membuat Nisa menolak memberitahu keduanya. Dia tidak ingin Ameliya seidh hanya karena kedua adiknya itu, pergi dari rumah walau dengan alasan berziarah. Bagi Nisa, Aden dan Nina bisa kapan saja hadir mengunjungi sang ibu. Bahkan menurut cerita penjaga makam, Aden dan Nina selalu saja menyempatkan diri setiap hari jumat sepulang sekolah untuk berkunjung bersama. Nisa sempat dibuat haru dengan ucapan penjaga makam itu tentang kedua adiknya yang terlihat tidak akur, namun selalu saling menjaga dan mendukung satu sama lain.                “Hai, Bu, kami datang,” sapa Nisa setelah selesai berdoa. “Tapi kali ini gak ada Nina dan Aden, maaf ya, Bu, bukan mereka gak mau datang ngunjungi Ibu, tapi saat ini mereka lagi nemanin Ameliya di rumah barunya. Bantu-bantu,” cerita Nisa seolah ada sang Ibu di hadapannya. Batu nisan bertuliskan nama Ratna itu, dia usap perlahan penuh kasih sayang smebari tersenyum tulus.                “Sebentar lagi hari kematian Bapak, kami akan ke makam Bapak nanti, apa Ibu gak mau datang saat kami menabur bunga di sana?” tanya Nisa lagi yang langsung membuat Adit mengusap kepalanya. Suara bergetar Nisa seolah menjadi pertanda, kalau saat ini kesedihan hadir dalam dirinya. Nisa selalu saja menutupi kesedihan dan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya dari semua orang. Namun adit sadar, bahwa Nisa tidak akan bisa menutupi semuanya saat berkunjung ke makam sang ibu dan ayah. Suaranya akan terdegar bebreda, dan hal itu hanya Adit yang bisa mengetahuinya.                “Lihat, Bu, anak Ibu lagi-lagi cengeng!” ledek Adit yang langsung membuat Nisa tertawa kecil mendengarnya. “Bisa-bisa calon anak kami nanti bakalan cengeng kayak ibunya.”                “Apaan sih,” gerutu Nisa dengan warna merah merona di kedua pipinya. “Eh iya, kami juga belum ngasih tau Ibu ya, Nisa sudah hamil,” serunya dengan senyuman lebar. “Ibu bakalan jadi nenek, dan Bapak bakalan jadi kakek! Ameliya juga sudah mau melahirkan, dan Audy … sebentar lagi bakalan menikah. Agh, kalau aja Ibu dan Bapak masih ada, pasti bakalan lebih seru.”                “Mereka pasti datang kok!” terdengar suara seseorang yang berhasil mengagetkan Nisa dan Adit. Adit langsung berdiri dan berbalik, begitu juga dengan Nisa yang kaget bukan main saat melihat seorang pria berpakaian jubah putih dengan peci yang juga putih di kepala, serta seorang wanita berpakaian syar’i yang berdiri di sampingnya. Keduanya tersenyum lebar. Nisa yang kaget mendapati kedua orang yang begitu dia kenal hadir, langsung melangkah mendekati sang wanita dan memeluknya erat. Sedangkan Adit langsung mencium punggung tangan sang pria sedangkan Nisa yang sudah melepaskan pelukan, mundur beberapa langkah dan menyatukan kedua tangannya. Dia tidak menyalam sang pria karena tahu, bahwa ada air wudhu di tubuh sang pria. Begitu juga dengan Adit pada wanita di hadapan Nisa.                “Buya dan Umi apa kabar?” tanya Nisa yang masih saja mengembangkan senyuman di bibirnya.                “Alhamdulillah, kami berdua baik. Kandungan kamu gimana, Nis?” tanya Ustadz Zakaria.                “Alhamdulillah baik, Buya,” jawab Nisa sembari memegang perutnya. “Buya dan Umi ke sini mau ziarah ke makam siapa?”                “Ibu kamu,” jawab Zakaria sembari menarik tatapannya ke sang istri. “Umi kamu ini ingin berkunjung ke sini, tadi malam dia bermimpi tentang ibu kamu, makanya dia mutusin ngajak buya untuk datang ke sini.”                Nisa langsung menarik tatapannya ke wanita bernama Ima yang terlihat tersenyum tulus, “Umi mimpiin Ibu?” Ima menganggukkan kepala. “Ibu bilang apa ke Umi?” Nisa tampak antusias. Sudah lama sekali dia tidak berbicara dengan sang ibu. Bahkan sudah lama sekali kedua orang tuanya tidak datang ke dalam mimpinya. Nisa benar-benar merindukannya. Sayangnya, berulang kali dia meminta untuk bisa bertemu keduanya walau hanya di dalam mimpi, permintaanya itu malah sama sekali tidak terkabul. Ada rasa iri di hati Nisa mendengar wanita yang sudah dia anggap seperti pengganti ibunya sendiri semenjak Ratna pergi meninggalkannya selamanya itu, malah bisa bertemu dengan Ratna di dalam mimpinya.                “Ibu kamu tidak ada bilang apa-apa, dia hanya datang sambil membawa foto kamu. sepertinya dia minta umi untuk selalu menjaga kamu, karena foto kamu yang dia bawa, sambil menggendong seorang bayi. Tapi sayangnya, umi tidak diperlihatkan wajah bayi yang masih tertutup kain itu.”                Nisa menggenggam tangan kanan Adit, tersenyum dengan kedua mata berembun. Dia tampak terharu mendengar cerita Ima yang begitu membuatnya senang bukan main. Ratna seakan terus menjaganya walau melalui orang lain.                “Buya dan Umi setelah ini mau ke mana?” tanya Adit setelah beberapa saat.                “Tidak ada, kenapa, Dit?”                “Setelah ini kita makan siang bareng ya, sudah lama kita gak ngobrol-ngobrol bersama, mau kan, Buya … Umi?” tanya Adit lagi yang langsung dijawab Zakaria dengan anggukan kepala setelah mendapatkan izin dari sang istri yang ikut mengangguk pelan, Ketika kedua mata Zakaria terarah padanya.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD