Nisa langsung berhadapan dengan Ibu Mirna, ibu Metta yang hadir bersama Metta ke rumahnya. Sikap sopan Ibu Mirna sangat membuat Nisa nyaman bukan main. Tutur kata yang lembut, membuat Nisa teringat pada Mbok Sumi yang sekarang tinggal bersama Ameliya.
Dan yang membuat Nisa terharu, saat melihat adik laki-laki nya Metta yang tampak berusia tujuh tahun, namun belum bisa sekolahoaren keterbatasan biaya. Adit yang ikut duduk di samping Nisa, mengerti dari tatapan sang istri kalau dia ingin sekali membawa Bobby, untuk bersekolah dan membiayai sekolahnya. Adit pun berpikir demikian. Ada rasa tidak tega melihat masa depan anak sekecil Bobby harus hancur karena tidoa sekolah. Adit pun paham, saat seusia Bobby pun, aden juga tidak bisa bersekolah karena hal yang sama.
"Ibu siap kalau harus tinggal di sini?" tanya Adit yang merasa sudah terlalu lama mewawancarai Mirna. Metta tampak mengalihksnn pandangannya ke sang Ibu yang tanpa ada keraguan, langsung menganggukksn kepala.
"Saya siap, Mas, saya sangat butuh pekerjaan ini, ditambah lagi jika saya di sini saya bisa lebih dekat dengan Metta, walau pun kami beda rumah."
"Kenapa gak di roker aja, Bang, Mbok Sumi balik ke sini dan Mbok Mirna ke sana," usul Aden.
"Saat ini Kak Ameliya lagi butuh Mbok Sumi nanti setelah lahiran, baru kalau mereka setuju, kita roker." Adit tampak biiaksana mengambil keputusan yang lwngsung disetujui Nisa. Lagi pula, Ameliya sudah mau melahirkan rasanya akan susah jika dia harus beradaptasi dengan orang baru sementara saat ini dia harus fokus untuk proses kelahiran sang anak. Ameliya juga harus bersama orang-orang yang dia percaysi salah satunya Sumi.
"Tidak apa-apa, Nak Aden, di sini saja juga sudah lebih dari cukup. Intinya saya di sini bekerja, bukan mau fokus ngerawat anak saya."
Nisa tersenyum mendengar jawaban dari Mirna. Dia benar-benar tepat untuk bisa bekerja bersamanya. Nisa tampak senang bisa bertemu dengan Mirna yang dia harap bisa membantunya untuk banyak hal.
"Cuma di sini cukup banyak peraturan yang harus dilaksanakan, Mbok. Salah satunya tidak membagikan apa pun ke orang luar tentang kondisi dan situasi di rumah. Dan satu lagu, tidak memberikan izin siapa pun masuk ke rumah," tambah Adit tegas. "Di depan rumah bakalan terus ada bodyguard yang menjaga dua puluh empat jam rumah ini, sekaligus dua orang satpam. Jadi siapa pun yang datang, memang harus atas izin mereka. Tapi siapa tau mereka silap, Mbok yang harus menjaga kondisi rumah. Apa mbok siap?"
Mirna menganggukan kepala, "Metta dan Mas Aden sudah memberitahu saya, Mas, saya sudah tau hal itu," jawab Mirna. "Apa lagi dari orang bernama Alea, Jordi dan Ibu Melody, benar kan, Mas?"
"Iya, benar," jawab Adit. "Harus waspada. Sekali saja lalai, saya gak segan untuk memecat Mbok dari sini."
"Baik, Mas."
Nisa sebenarnya agak tidak suka dengan ancaman yang disebutkan Adit barusan. Namun dia sadar, Adit hanya sekedar menggertak agar Mirna tidak lengah dalam menjaga dirinya dan rumah ini.
"Soal belanja, Mbok bisa belanja dengan ditemani supir Nisa dan Bodyguard, jadi jangan coba-coba pergi sendirian apa pun kondisinya. Jika mereka tidak ada yang bisa menemani, tidak perlu belanja, pesan online saja di rumah makan hotel saya, Nisa tau itu."
"Baik, Mas," jawab Mirna lagi.
"Sudahlah, Mbok Mirna pasti capek udah jauh-jauh ke sini, kamu malah terus menerus ngasih petuah kayak gitu," ucap Nisa. "Hari ini Mbok dan Bobby istirahat saja dulu. Soal makan malam, tadi Adit udah bawa makanan dari luar, jadi entar malam tinggal dihidang aja ya."
"Baik, Mbak."
"Den, bisa antar Mbok Mirna dan Bobby ke kamarnya?" Pinta Nisa.
"Bisa, Kak," jawab Aden lantas berdiri. "Ayo, mbok, saya tunjukkan kamar Mbok."
Mirna, Bobby dan Metta langsung meminta izin untuk pamit ke kamar. Nisa menganggukkan kepala. Ketiganya langsung melangkah mengikuti Aden yang sudah terlebih dulu berjalan menuju kamar belakang.
Nisa menatap Adit yang terlihat asyik dengan handphonenya, "Kamu ini, suka kali sok tegas smaa orang baru. Gak perlu gitu juga, Sayang. Kasihan Mbok Mirna kamu gituin."
"Cuma gertakan, gak beneran. Biar Mbok Mirna tau kalau kerja di sini bukan kerjaan main-main, nyawa taruhannya."
Nisa tertawa mendengarnya, "Apaan sih, lagian kan Alea masih di rumah sakit jiwa, mana bisa dia ke sini buat ngobrak-ngabrik rumah kita Sayang."
Adit menatap Nisa serius, "Rachel, itu yang sebenarnya aku takutkan. Dia bisa saja balas dendam akibat tidak Terima dengan kondisi kakaknya. Dia pasti saat ini menyalahkan kita karena sudah membuat hidup Alea hancur."
Nisa sesaat terdiam. Dia ingat nama itu. Nama yang pernah didengar Adit sewaktu dirinya datang ke rumah sakit jiwa. Apa yang dikatakan Adit memang ada benarnya. Semua bisa saja terjadi. Bahkan perbuatan Alea, bisa saja dilanjutkan Rachel dengan sangat mudahnya. Adit mwngusap perut Nisa yang membuat sbag istri tersadar dari lamunannya.
"Aku hanya berjaga-jaga, agar kamu dan calon anak kita baik-baik saja. Aku gak mau sampai kalian berdua terluka hanya karena ulah orang lain."
"Kami akan baik-baik saja asalkan kamu jaga diri di mana pun kamu berada," ucap Nisa yang mulai merasa situasi mulai berubah sedih. "Jangan selingkuh awas lho!" canda Nisa.
Adit tertawa, "Satu aja belum puas mau nambah lagi, ogah!" jawab Adit. "Ngomong-ngomong, Nina ke mana, kok gak kelihatan? Bukannya dia gak sekolah hari ini?"
Nisa menganggukkan kepala.
"Dia di tempat yang aman, Bang," jawab Aden yang sudah kembali bersama Metta dari belakang.
"Emangnya dia di mana?" tanya Nisa penasaran. "Soalnya tadi pergi gak ada bilang. Gak pakai supir juga, kayaknya pesannya taksi online."
Aden tersenyum penuh arti, "Tenang aja, Kak, entar dia diantar sama supir pribadinya kok."
Nisa dan Adit saling berpandangan bingung mendengar jawaban Aden. Metta pun demikian. Namun saat melihat senyuman Aden, Metta baru sadar siapa yang dimaksud Aden barusan. Metta lega walau dia sendiri masih ragu apakah tebakannya tepat sasaran atau tidak.
"Aden izin dulu ya, mau antar Metta ke rumah Kak Ameliya."
"Gak usah, Den, gue pergi sendiri aja," bisik Metta yang langsung membuat Nisa tersenyum mendengarnya.
"Jauh tau, beda blok," ucap Aden.
"Aden benar, Met, jauh kalau jalan. Mending diantar Aden," ucap Nisa. "Lagian di sini juga udah ada Bang Adit, kakak gak sendirian." Nisa memperlebar senyumannya. "Lagian pun, Aden gak akan tega biarin cewek sendirian jalan. Mana tega dia."
"Apaan sih, Kak," ucap Aden malu. "Udah yuk, kasihan Kak Ameliya kalau kamu kelamaan datang. Pasti repot."
Metta menganggukkan kepala. Dengan sopannya, Metta mencium tangan Nisa dan Adit secara bergantian, lantas melangkah pergi bersama Aden menuju pintu depan.
"Aden suka sama Metta?" tanya Adit penasaran.
"Gak tau sih, kata Nina dia mulai tertarik. Cuma kamu tau sendiri Aden gimana, mana mau dia curhat atau pun ngasih tau siapa yang dia sukai. Cuma kalau lihat dari gelagatnya yang ngajak Metta naik motornya, kayaknya sih dia suka. Sejarahnya, Aden mana mau bonceng cewek lain selain Nina atau pun aku."
Adit menganggukkan kepala, "Anaknya baik, sopan."
"Iya, lagian masih pada remaja, jadi biarin ajalah. Yang penting diingatin biar gak keblablasan."
Adit mengangguk lantas kembali memainkan handphonenya. Sedangkan Nisa meraih gelas t
Teh hangat yang sempat dia buat lalu menyeruput nya pelan.