BAB 37

1146 Words
Nina melangkah bersama Aden dk koridor sekolah. Beberapa orang yang mengenal keduanya, tampak begitu ramah menyapa keduanya. Nina sendiri sebenarnya cukup merasa tenang saat berjalan bersama Aden. Aden yang seorang ketua osis, memang memiliki cukup banyak penggemar dari kalangan cewek, dan teman dari kalangan cowok. Nina sebenarnya merasa bangga bukan main pada sang kakak lelakinya yang satu itu. Biar pun terbilang bandel saat bersamanya, suka jahil dan terkadang menyebalkan, namun Nina sering mendapati Aden diam-diam menjaganya. Dan semua itu terbukti saat keduanya berada di sekolah. Semenjak satu sekolah mengetahui bahwa dirinya adik dari seorang ketua osis, tidak ada satu orang pun yang berani mengusiknya. Bahkan banyak yang sok akrab dengannya setiap kali berpapasan dengannya. Kelas tempat Nina melukis sudah hampir dekat. Dan seperti biasa, Aden selalu memang kepala Nina sebelum Nina masuk ke kelas. Nina awalnya risih, namun lama kelamaan dia mulai terbiasa dengan kebiasaan Aden yang satu itu. Malah terkaang, jika Aden tidak melakukannya, Nina akan merasa ada yang kurang dari harinya. Aden melangkah pergi saat Nina masuk ke kelas melukis. Anehnya, padahal Aden harus ke lapangan basket untuk Latihan hari ini. Namun dia rela mengantar Nina dulu dengan alasan dia ingin ke kantin dua yang terletak di dekat ruang seni rupa. Nina yang tahu bahwa Aden gengsi mengatakan bahwa dia ingin mengantarnya terlebih dulu, hanya diam saja tanpa mengatakan apa pun. Dia tidak ingin Aden malah marah dan akhirnya lagi-lagihal yang ditakutan Nina terjadi, Aden mengubah kebiasaannya sehari-hari. Kelas seni rupa masih kosong, hanya ada Metta di sana yang sudah duduk di depan kanvasnya yang sudah terlukis seorang lelaki yang memeluk seorang anak. Namun ada yang aneh dari gambar yang dibuat Metta. Tampak semua kuku sang pria bertubuh tegak itu runcing, senyumannya menyeringai menyeramkan, dan yang membuat Nina bingung bukan main, sang anak perempuan yang dipeluk sang pria, malah menjukkan ekspresi ketakutan dengan air mata menetes. Metta memang belum menyadari kalau Nina sudah berada di belakangnya. Dengan santainya dia melukis. Namun suara tarikan lendir di hidungnya, membuat Nina kaget bukan main. Dengan cepat nina beralih berdiri di sampingnya yang membuat Metta spontan menjatuhkan kanvasnya agar tidak terlihat Nina. Metta tampak panik, menghapus air matanya dengan cepat da berpura-pura membereskan barang-barang lukisnya. “Kamu kenapa, Kak?” tanya Nina penasaran yang lngsung dijawab Metta dengan gelengan epala. “Dan lukisan itu, lelaki itu siapa?” tanya Nina lagi. “Bukan siapa-siapa,” jawab Metta semabri kembali duduk di kursinya dan membalikkan kanvas yang sudah dia gambar dengan kanvas baru. “Sejak kapan kamu di belakangku?” tanya Metta menyelidiki. Dia tidak ingin Nina terlalu banyak beetanya hingga membuka aib keluarganya sendiri. Sesaat Metta curiga, dia yakin Aden pasti sudah memberitahukan segalanya pada Nina. Bagaimana tidak, mengingat Aden dan Nina adalah abang beradik yang cukup dekat. Bahkan Nina pernah mengatakan bahwa tidak ada rahasia antara dirinya, Aden dan juga sang kakak Nisa. Apalagi Aden yang selalu menjadikan Nina sebagai tempat bercerita setiap waktu. Dan masalahnya kemarin, diyakini Metta sudah diberitahukan Aden pada Nina. Ada penyesalan di hatinya karena sudah memberitahu Aden secuil kisahnya di rumah. Seharusnya dia tidak melakukannya mengingat Adej bukanlah siapa-siapa baginya. Ditambah lagi selama ini, Aden tidak pernah dekat dengannya, apa lagi sampai mencintainya seperti dirinya yang menaruh hati padanya sejak awal pertemuan. Saat Aden menolongnya di Masa Orientasi Siswa. “Baru aja sih,” jawab Nina yang tampak kaget mendapati sikap Metta yang seakan menjaga jarak darinya. “Ja-jadi, kamu lihat lukisanku tadi?” tanya Metta dengan sorot mata menyelidik yang sedikit membuat Nina risih. “Lihat sih, Cuma ….” “Aden ada cerita apa sama kamu?” potong Metta sembari berdiri. Ada kecemasan di wajahnya yang mampu dilihat Nina. Nina sendiri langsung teringat ucapan Aden yang memintanya berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun terutama Metta tentang semua cerita tadi malam, apa lagi cerita mengenai Metta dan keluarganya. Nina yang tidak ingin membuat metta menjauh darinya, langsung menunjukkan ekspresi bingung di depan Metta yang masih menatapnya. “Cerita soal apa?” tanya Metta. “Oh, apa soal kakak dilempar bola basket sama si Grace itu? Udah! Kesel gue dengarnya, Kak. Kalau aja gue ada di situ saat kejadian itu, udah gue lempar balik tuh bola. Seenaknya aja dia ngelempar kakak kayak gitu, dikiranya bola basket itu ringan apa!” Nina berpura-pura marah dengan kejadian yang menimpa Metta kala itu. Sengaja, agar aktingnya semakin meyakini Metta yang masih menatapnya curiga. Walau kini tatapan curiga itu mulai sedikit melunak. “Hanya itu?” tanya Metta lagi. “Emangnya ada yang lain ya?” tanya Nina kembali berpura-pura bingung. “Ada apa lagi? Gossip baru? Apa, Kak?” tanya Nina sembari menarik salah satu kursi kosong di dekatnya berdiri, dan duduk di samping kursi Metta. “Ayo cerita sama gue, Kak, mumpung kelas seni rupa belum mulai!” seru Nina sembari menarik tangan Metta untuk kembali duduk. Metta menurut. Namun kini dia tampak kebingungan dengan jawaban yang harus dia berikan pada Nina yang masih menantinya cerita. Metta seolah terjebak dengan kecurigaannya sendiri. “Apa, Kak, kok malah diam?” tanya Nina lagi, sedikit memaksa Metta. “Eg-enggak ada, ya … maksud aku juga itu,” jawab Metta bingung. “Agh bohong niih, pasti ada yang lain. Sama gue aja pakai acara rahasia-rahasiaan,” ucap Nina lagi yang sedikit merasa lega menyadari Metta tidak lagi mendesaknya seputar pertanyaan sebelumnya. “Ya gak ada, itu doang sih,” jawab Metta menghindari tatapan Nina sembari mendorong kaca mata baru berwarna putih dibagian batangnya. Nina yang tidak ingin terus menjebak Metta, berpura-pura mengalihkan pembicaraan saat melihat kaca mata baru Metta. Dia ingat cerita Aden tentang kaca mata yang sengaja dbelikan Aden buatnya. Nina tersenum tipis saat Metta tidak melihatnya, lantas kembali berpura-pura bingung. “Kakak kaca mata baru?” tanya Nina. “Jadi ini yang dibelikan Bang Aden kemarin, ciyeee,” ledek Nina sembari menyenggong tubuh Metta. “Jangan-jangan ini maksud kakak tentang ‘cerita lain’ tadi.” Metta llanngsung mengangguk cepat, seakan mengambil kesempatan dari ucapan Nina barusan tentang kaca mata barunya. Senyuman yang dia kembangkan seolah membenarkan ucapan Nina tentang kaca mata baru yang kini dia pakai. “Iya, ini maksud aku,” ucap Metta cepat. “ternyata Aden cerita juga sama kamu ya. Padahal dia sudah janji gak mau cerita sama siapa pun soal ini. Apa lagi sama kamu.” “Em, mana munngkin. Dia kan tukang gossip, ya semua pasti dia ceritain.” Nina mengembalikan kembali kursi ke tempat semula, memilih duduk di kursi dekat dengan Metta yang sejak awal menjadi tempat duduk kesukaannya saat semua orang yang mengikuti kelas, mulai berdatangan. Seorang guru wanita hadir dan berdiri di hadapan semua siswa siswi yang ikut dalam ekstrakulikulernya. Metta sendiri sesaat melirik Nina yang tidak membalas tatapannya. Metta menghela napas lega, menyadari Nina yang tidak mengetahui cerita yang dia bagikan pada Aden. Sementara itu, Nina yang sebenarnya menyadari tatapan Metta masih tertuju padanya, langsung berpura-pura tidak melihat agar tidak menimbulkan kecurigaan lagi di hati Metta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD