EMPAT

1979 Words
LOVE CERITA INI, GUYS. NANTIKAN KISAH BERONDONG DAN WANITA SATU MALAMNYA. HI NO LOVE TANIA ***   “Gue nggak bisa ikut acara lo lo pada,” ucap seorang lelaki dengan kemeja biru muda yang ditutup sweater hitam. “Balik lagi lo, No? Kayak anak mami lo, tiap minggu ngambil jatah jajan di rumah,” celetuk seorang lelaki dengan kaus putih yang menampakkan otot-otot kekarnya. Cowok itu adalah Jason Clay. “Ngapain kali ini? Mami lu kangen lagi?” tanya Mario lelaki dengan kemeja yang menutupi kaos v-neck merahnya. Tawa Jason seperti air yang keluar dari keran air, menyembur dengan kencangnya mendengar pertanyaan Mario. “Lo nikmatin aja acaranya tanpa gue,” ucap lelaki itu dan berlalu meninggalkan kedua sahabatnya. “Hino!” Hino tidak perlu menengok ke belakang untuk mengetahui siapa yang meneriakkan namanya sambil berlari-lari. Dan benar saja, dua detik setelah itu sebuah tangan putih kecil sudah mendarat di pundaknya. “Hobi banget ya lo gelantungan di badan gue. Kayak anak monyet nyasar tau!” ledek Hino dengan s***s. “Ye ... Itu mah kangguru! Salah siapa tumbuh nggak ngajak-ngajak. Aku udah daftar di Institut Tinggi Badan, eh, kamu main tinggal aja. Nono lo mau pulang lagi?” tanya gadis berbadan kecil dan rambut cepol itu kepada Hino. “Iya. Mau nitip apa lo?” tanya Hino. “Hehehe. Ketahuan deh! Gue mau nitip gue sendiri boleh nggak? Gue juga pengen pulang ....” rengek gadis itu. “Nope. Yang lain. Gue cuman sehari doang. Kalau lo ikut, yang ada bisa seminggu gue di sana. Gue harus masuk minggu depan,” tolak Hino. “Ciiiih. Tega bener ya lu sama tetangga. Gaya bener pake bilang mau masuk segala! Selama ini mana pernah kamu ikut kelas!” cibir gadis itu. “Tetangga dari langit!” sergah Hino tidak terima. Kapan  panti pindah ke kompleks perumahan maminya? “Yaaa ... Kan rumah mertua om ganteng aku di depan rumah kamu!” ujar gadis berbadan kecil itu mengembangkan senyuman bangga. Om ganteng yang dimaksud oleh Nagita adalah Aldyano. Pria yang Nagita lihat sering datang ke panti dulu. Rumah mertua Aldy berarti rumah orang tuanya Lafila. Hino dan Lafila yang sebenarnya bertetangga. “Ya udah kalau kamu nggak mau ngajak akuuuh. Aku cuma mau nitipin ini ke rumah kakakku!” Gadis itu menyerahkan sebuah kotak yang dibungkus kertas hitam mengilap. Tidak ada alamat dan nama pengirim. Hino memicingkan matanya ketika melihat benda kotak tersebut. “Lo nggak ngirim bom kan?” tanya Hino curiga. “Iya benar itu bom. Aku mau membunuh kamu dengan bom ini.” “Dianter kemana ini bom?” tanya Hino tidak peduli. “Ini alamatnya.” Gadis itu menyerahkan secarik kertas ke tangan Hino. “Nggak ke Panti Melayu?” tanya Hino bingung karena biasanya gadis itu menitipkan sesuatu ke panti itu. “Nggak. Sekarang kakak tinggal di rumah kontrakannya biar deket sama tempat  kerja,” jelas gadis itu. “Imbalannya buat gue apa?” tanya Hino. “Nggak ikhlasan banget sih nih orang. Maunya kamu apa?” tanya gadis itu. “Mau gue lo selesain urusan gue sama Livia!” “What? Lagi? Kamu mutusin pacar tegaan bener? Lagian semua orang tahu kalau kamu itu bukan siapa-siapa aku. Mana percaya sih si Livia sama trik lama kita?” tanya gadis itu menolak. Biasanya Nagita akan menyemprot pacar-pacar Hino dengan mengakui dirinya adalah kekasih Hino. Nagita kalau sudah marah, enggak ada yang bisa melawan mulutnya. Nagita juga spesialisasi jambak. Hino akan mengiakan pernyataan Nagita dan hubungan singkatnya dengan para gadis pun selesai. “Itu urusan lo. Terserah pakai cara apa. Pokoknya sepulangnya gue dari Palembang, Livia udah ex,” tandas Hino. “Iiih ... Gue sumpahin lo kena kutukan kawin muda biar nggak bisa lagi mainin hati cewek!” geram gadis itu. “Lo kalau ngomong kok nggak pakai ini sih? Seenak jidat aja?” tanya Hino kesal sambil menunjuk kepalanya dengan telunjuk. Siapa yang tidak marah disumpahi kawin muda? “Makanya, No, cepetan jatuh cinta biar gue nggak ada kerjaan sampingan kayak gini lagi. Kamu belom kenal sama Nagita Rayanna yang kutukannya manjur tujuh sumur? Hati-hati sama sumpahku ini,” gertak gadis itu. ***   “Halo, Nagi?” “Kak Tania lagi ngapain?” Suara Nagita terdengar dari gawai. “Kakak baru pulang ke kontrakan. Mau mandi. Ada apa, Gi?” tanya Tania sambil mendudukkan pantatnya di sofa ruang tamu. “Nagi nitipin bolu buat Kak Tania. Besok sore mungkin dianter sama temen aku ke kontrakan Kak Tania,” ucap Nagita riang. “Kamu buat varian bolu yang baru lagi?” tanya Tania. Tangannya lincah melepas sepatu. Ponsel ia jepit antara pundak dan telinga. “Iya, Kak. Kak Tania harus nyobain. Aku juga titip sebotol sirop oleh-oleh temen aku yang dari London. Aku udah nyobain yang rasa jeruk. Rasanya mantaap banget!” “Oke oke, aku tunggu ya,” ucap Tania kemudian mematikan teleponnya. Tania segera masuk ke kamar dan meletakkan tas kerjanya di meja rias. Gadis itu membuka kemeja merah maroon-nya, sehingga menyisakan kaus bertali spagethi putih. Tania mengikat tinggi rambutnya kemudian berjalan ke kamar mandi. Hari ini pekerjaan di kantor sangat banyak membuat tubuh Tania serasa diimpit sekarung beras. Tania mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Tania ingin berlama-lama di kamar mandi untuk menghilangkan rasa penatnya. Setelah tubuhnya lumayan rileks, Tania menyudahi mandi dengan menyabun seluruh badan dengan sabun beraroma lemon serta shampoo beraroma sama. “Nikmatnya hidup,” ucap Tania setelah keluar dari kamar mandi. Tania segera mengenakan baju tidur kesayangannya, daster bergambar doraemon. Tania membaringkan badannya dan tepat pada hitungan kedua puluh tubuh molek itu hanyut ke alam mimpi. “Gio.” Baru kali ini dalam tidurnya Tania memimpikan sosok Argio. Argio seorang kekasih yang Tania percayakan hatinya untuk pria itu. Argio yang telah lama menantikan Tania. ***   “Pagi, Mi.” “Pagi, anak Mami,” balas Dewi menyambut kedatangan putra keduanya di rumah besar mereka. “Papi mana, Mi?” tanya Hino. “Papi masih di luar. Tadi pamitnya mau main golf sama Pak Joko,” jawab Dewi. “Kamu mau sarapan apa, No?” “Roti aja. Hino lagi males makan yang berat, ingin langsung ridur lagi,” jawab Hino mengambil duduk di samping Dewi. “Kamu ikut ke rumah Tante Lina ya No habis sarapan,” kata Dewi. “Ngapain, Mi? Hino capek,” keluh Hino. “Bentaran aja. Jarang-jarang kan kamu ada di rumah dan Lafila juga ada di rumah sejak menikah. Mami mau ngucapin selamat atas kehamilan Lafila,” ucap Dewi dengan mata berbinar. “Iya. Nanti Hino temenin,” ucap Hino yang tak tahan jika binar itu hilang dari mata ibunya. “Ah, Mami kapan ya bisa dapat cucu?” tanya Dewi menerawang. “Makanya Mami jangan terlalu usil sama Hino aja! Urusin tuh Bang Gio! Aldy aja yang temen satu sekolahnya Bang Gio udah lima tahun nikahnya!” “Kamu kayak nggak tahu aja, abangmu selama ini sedang berjuang mendapatkan cintanya. Dea bilang sih tinggal nunggu waktu aja buat melangkah ke tahap selanjutnya.” “Nah itu, artinya Mami mau dapet cucu tuh!” “Iya iya. Pokoknya kamu cepetan selesaikan kuliahnya, terus menikah! Jangan main-main aja. Alendra Company menunggu kamu!” Hino mendengkus sebal. Kepulangan Hino ke Palembang setiap bulan selain karena sang mami yang rindu kepada Hino juga karena ia harus belajar mengurusi Alendra Company yang akan segera beralih kepadanya setelah tamat. Hino jadi teringat dengan kisah yang menginspirasi Mami untuk segera meminta Hino menggantikan Papi di perusahaan. Aldy dan Lafila, kedua orang itu juga menggantikan posisi ayah-ayah mereka setelah menyelesaikan pendidikan. Setelah mereka menikah, kedua perusahaan dipimpin oleh Aldyano. Mami sangat menyukai sepasang suami istri itu sehingga kali ini Hino terpaksa mengikuti kemauan Mami ke rumah Azzam, papa Lafila. “Ayo cepat dikit jalannya No, kamu kok jalan kayak siput gitu toh? Kamu kan laki, Mami aja jalannya lebih cepat!” “Mi, rumah Om Azzam itu hanya di seberang rumah kita. Cuma ada jalan yang membatasi. Jadi buat apa coba Mami harus jalan cepat-cepat? Lagian mereka nggak akan ke mana kok sepagi ini!” sela Hino. “Aduh, Mami udah nggak sabar mau ketemu si cantik Lafila sama suami super gantengnya, Aldy. Pokoknya Mami mau kamu segera cari pasangan yang cantik kayak Lafila, titik!” Cukup. Mami nggak akan ada habisnya memuji kedua pasangan itu. Selain pintar, anak penurut, ganteng dan cantik, masih banyak lagi pujian di otak Mami untuk Lafila dan Aldy. Hino sendiri sebagai anak kandung jarang mendapatkan pujian seperti itu. “Nah, nggak kerasa udah sampai aja,” ucap Dewi begitu mereka menginjakkan kaki di teras rumah keluarga Azzam. Hino mengembuskan napas jengah. Mami benar-benar berlebihan. Padahal jarak dari rumah mereka ke rumah ini hanya dua puluh langkah kaki Hino. Tetapi Mami sudah seperti orang yang habis melakukan pendakian ke puncak gunung. “Assalamualaikum, Lina,” ucap Dewi begitu pintu terbuka dan mereka berhadapan dengan seorang ibu paruh baya yang masih cantik di usianya. Lina merupakan ibu dengan tiga orang anak dan tiga cucu, saat ini akan bertambah menjadi empat cucu. “Waalaikumsalam, Wi. Ayo masuk. Wah ada anak bujangnya juga nih. Ayo masuk, No,” ucap Lina dengan ramah. “Silakan duduk,” lanjut Lina mempersilakan Hino dan Dewi begitu tiba di ruang tamu. Dewi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Rumah besar ini kelihatan sepi. Lina yang melihat tingkah tetangganya merasa heran. “Nyari siapa, Wi?” tanya Lina. “Fila mana, Lin? Bukannya kemarin ada di rumah ini?” tanya Dewi. “Oh iya. Kemarin sih di rumah, tetapi harus pulang lagi tadi malam soalnya ada masalah kantor yang harus dikerjakan Aldy,” jawab Lina. “Padahal kami mau mengucapkan selamat kepada Lafila atas kehamilannya,” kata Dewi agak murung. “Iya. Nanti kalau mereka datang lagi, aku suruh ke rumahmu,” hibur Lina setelah melihat raut wajah Dewi. “Iya, Mi. Kalau Mami mau, Hino anterin deh ke rumah Bang Aldy,” tawar Hino. “Maaf ya, Tante. Mami emang cinta banget sama anak dan menantu Tante sampai Hino aja diabaikan,” keluh Hino. Hino dan Dewi pamit undur diri dari kediaman Azzam. “Mami kok bikin Hino cemburu gitu? Hino ngambek dan nggak mau pulang lagi, ya?” ancam Hino. “Jangan bilang gitu dong, anak Mami yang paling ganteng! Kalau kamu nggak mau pulang, terus Mami kangen-kangenan sama siapa?” tanya Dewi merasa sedikit takut dengan ancaman. Hino terkadang memang melaksanakan ancamannya. Tidak pernah main-main dengan ucapannya, persis seperti sang Papi, Ben Alendra. “Hino mau tidur dulu, Mi.” Hino naik ke kamarnya dan melongokkan kepala ke bawah melihat sebuah sepeda motor matic lewat di depan rumahnya. *** “Mana katanya temen kamu mau datang?” tanya Tania lewat telepon kepada Nagita, cewek dengan tingkat kebawelan setinggi tiang listrik. “Uuuh, Kak, kebo itu masih tidur waktu aku teleponin tadi. Aku sebel banget nih, Kak, rasanya aku mau cekek leher dia!” geram Nagita. “Terus gimana nasib bolu kamu, Gi? Masih bisa dimakan nggak tuh nanti?” tanya Tania. “Aman, Kak. Bisa dong. Aku open lama-lama, tapi nggak hangus lho. Aku kan udah tahu di tangan siapa bolu itu.” “Hahaha. Ya udah, Kak Tania mau siap-siap dulu. Aku juga baru bangun tidur.” Tania tertawa kencang mendengar omelan Nagita. Gadis itu walaupun sudah dewasa di umurnya sekarang, tingkahnya masih sama dengan remaja empat belas tahun. Tania jadi merindukan sosok ceria Nagita. Nagita adalah adik yang tinggal di panti yang sama dengan Tania. Mereka merupakan anak yang tidak memiliki orang tua dan harus dibesarkan di panti asuhan. Sejak Tania tinggal di Singapura untuk kuliah, Tania sudah jarang bertemu dengan Nagita. Karena sepulangnya dari Singapura dua tahun yang lalu, Tania harus tinggal di kontrakan agar tidak merepotkan Bunda di panti. Baru saja matanya terpejam, ketukan di pintu menyebabkan kelopak Tani kembali terkembang. Siapa yang bertamu yang malam-malam? Tania berjalan ke depan dan mengangguk sambil bicara sendiri. ”Mungkin temannya Nagita.” *** BISMILLAH, 1 JUNI 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD