TIGA

1070 Words
Argio Assasi, mantan cassanova masa sekolah, tengah berbunga-bunga hatinya karena penerimaan Tania. Buah perjuangan dan kesabaran selama ini terasa manis. Hanya ciuman ringan di pipi membuat senyuman Argio tak luntur-luntur hingga keesokan harinya. Mobil sport merah diparkirkan Argio di halaman rumah Tania. Bibirnya bersiul. Waktu berangkat tadi, Dea mengucapkan selamat atas naiknya setahap hubungan Argio dengan Tania. Dea mengingatkan agar Argio mulai meluncurkan ajakan ke jenjang yang lebih serius. Mungkinkah Tania akan mengiakan jika selama ini Argio membahas tentang pernikahan, Tania selalu minta ganti topik? Untuk yang satu ini Argio harus bersabar. Tania membutuhkan waktu. Mereka bisa meyakinkan diri pelan-pelan. Kaki panjang berbalut jin hitam itu terayun santai ke teras rumah sederhana yang tampak asri. Pemiliknya mengenakan kaus polo putih pas badan. Argio berdiri sebentar di depan pintu. ”Apa Tania mau gue ajak jalan?” Dulu Argio terlalu mendesak Tania. Selalu datang ketika Tania tidak menginginkannya. Saat ini setelah Tania siap menerimanya, Argio agak takut gadis itu beruah pikiran. Siapa tahu kemarin cuma perasaan melankolis sesaat yang biasa terjadi pada gadis. Biasanya setelah bangun tidur, wanita akan mengubah keputusannya. ”Gio!” panggil suara dari belakangnya. Argio lantas berbalik badan. Tania dengan kaus rumahan yang juga berwarna putih dan bawahan celana kulot cokelat serta bersandal jepit berjalan ke arah Argio. ”Udah dari tadi?” Argio merasakan kepakan kupu-kupu di dadanya. Kalau dulu dia datang tiba-tiba, Tania akan berkata, ”Ngapain kamu ke sini?” Wajah cantik Tania dilengkungi oleh senyuman. Sempurna sekali dengan pipi bersih tanpa make up dan rambut yang hanya diikat asal. Tania versi sederhana terlihat sangat anggun. Argio juga tersenyum membalas gadisnya. ”Baru aja. Pas banget kamu manggil sebelum aku ngetuk.” Argio melihat sesuatu dipegang Tania. ”Bawa apa, My Tan?” ”Oh ini. Aku beli lontong sama gorengan. Kamu mau?” Tania membuka kantung itu untuk memperlihatkan kepada Tania. ”Maunya sih bilang iya. Nanti kamu nggak jadi sarapan. Kamu tahu, makannya buanyak, My Tan.” Argio terkekeh. ”Berdua aja. Tolong peganingin, Gio. Pintunya,” ujar Tania memberikan plastik di tangannya kepada Argio. Tania merogoh anak kunci dari kantung kulotnya. Pintu dibuka lebar. ”Aku boleh masuk?” Argio sangsi. Tania kelihatan ragu. Pipinya bersemburat merah jambu. Tania mengganti-ganti tumpuan kakinya. ”Kalau nggak mau aku di luar aja. Aku pikir tadi kamu bukain pintunya buat aku,” aku Argio malu, terlalu percaya diri bahwa semuanya terbuka untuk dirinya. ”Iya sih,” cicit gadis berambut dicepol tersebut. ”Masuk aja deh nggak apa-apa,” putusnya. Hati Argio sebetulnya senang. Dia cuma merasa agak tidak enak kalau Tania menyambutnya dengan terpaksa. Kenyamanan Tania adalah poin utamanya. ”Masuk aja, benaran tidak masalah, Gio. Hm ... maaf kalau selama ini aku terlalu kaku,” kata Tania, pelan-pelan mendekat, mencoba menyatukan tangan  dengan Argio. Argio sedikit terkejut. Tania ternyata hanya ingin mengambil bungkusan di tangan Argio. ”Eh, Tan!” panggilnya saat Tania beranjak hendak ke belakang. Argio menarik lengan Tania, kembali menyatukan jemari mereka. ”Aku duduk di mana?” tanyanya tak penting. Jatuh cinta kepada Tania membuat syaraf-syaraf pria itu bak remaja baru baligh. Argio buru-buru melepas tangannya. Ia memperingati diri agar jangan terlalu memaksakan peruntungan. Argio boleh saja keras dan ngegas saat mendekati Tania. Setelah hati wanita berhasil dimiliki, Argio harus memperlakukan Tania berdasarkan keinginan Tania. Jika Tania tak suka kedekatan fisik, Argio cukup puas dengan mengobrol saja. ”Mau ikut aku ambil mangkuk? Boleh. Kalau kamu ingin duduk, tuh di bangku sebelahmu,” sindir Tania dengan senyuman asimetris, merasa lucu menyaksikan Argio yang gagap. Mantan cassanova hanya menggaruk tengkuknya. Dia segera duduk dengan rapi di sofa yang tersedia. Tak berselang lama Tania kembali ke depan membawa baki. Di atasnya ada mangkuk seperti yang Tania sebutkan, juga ada gelas, sendok, dan sebotol air mineral. ”Kamu nggak ngopi, ya. Kalau s**u atau teh mau?” tanya Tania setelah meletakkan benda yang dibawanya ke meja. ”Nggak perlu repotlah, My Tan. Nanti aku terbiasa, terus nggak mau pulang.” Tania tersenyum saja. Tania pilih tempat duduk di sebelah Argio, walaupun harus merasakan detakan cepat di jantungnya. Kali ini Tania menikmati. Apa salahnya jatuh cinta kembali? ”Dadanya kenapa?” Argio bertanya cemas. Tania sendiri tak sadar kalau saat ini telapak tangannya meraba bagian tersebut. Kepala Tania menggeleng. Untuk menghindari hal-hal memalukan itu, Tania mulai menyiapkan sarapan mereka. Argio melihat hanya ada satu mangkuk. Ia pikir Tania akhirnya tidak mengizinkan ia sarapan bersama, tetapi Argio sangat kaget saat Tania meletakkan dua sendok di dalamnya. Apakah mereka akan makan dalam mangkuk yang sama? ”Kamu suka pakai sambal goreng, Gio?” tanya Tania, menoleh kepada Argio, sehingga muka mereka hanya berjarak teramat dekat. Argio menemukan semu merah muda di pipi kekasihnya. Tak ingin membikin Tania kurang nyaman, Argio menunduk, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya yang mulai keresahan. Sebungkus cabe goreng di tangannya kini. ”Ini yang mau dituangin ke kuah? Sepertinya gurih.” Argio membuka karetnya. ”Kamu sendiri suka?” tanyanya tanpa melihat Tania. Tania hanya kedengaran bergumam. Argio lantas menuang isi plastik ke atas lontong. ”Gio! Baunya gurih sekali. Ayo, cobain dulu!” Argio tak kalah terkejut melihat tangan Tania yang memegang sendok berisi sepotong lontong dengan sayur dan kuahnya berada di depan bibir Argio. ”Aa,” perintah Tania. ”Kamu nyuapin aku?” tanya Argio ragu. Jelas ini bukan perlakukan yang bisa dia dapatkan dari Tania. Gadis itu justru mengangguk mantap. ”Makan,” ucap Tania. Argio membuka mulutnya. ”Enak?” Tania meletakkan sendok kosong ke mangkuk. Argio mengangguk. ”Lagi? Boleh?” Ternyata Argio mulai ngelunjak diberikan service extra oleh sang kekasih. Dengan senang hati Tania menyuapi Argio sampai lupa ia membeli sarapan untuk dirinya sendiri. Pada sendok kelima Argio mengambil alih dari tangan Tania dan mengarahkan ke depan bibir Tania. ”Nanti kamu kelaparan gara-gara aku,” ucap Argio beralasan. Dia tidak berpikir bahwa makan dengan satu sendok adalah hal yang paling intim yang akan mereka lakukan sejak menjadi sepasang kekasih. Tidak disadarainya bahwa Tania sedang berperang dengan detakan organ di rongga d**a yang menggebu-gebu. Argio bertahan dengan sendok itu hingga Tania membuka mulutnya. Tangan Argio hinggap di puncak kepala Tania. ”Pintar pintar.” Argio menyaksikan senyuman malu-malu Tania. Ingin ia memeluk gadis yang dicintainya itu. Apalah daya dia tak ingin membuat Tania terkejut. Cukup Tania saja yang mengejutkan dengan kemajuan pesat. Jalan mereka masih panjang. Argio bukan seorang pemaksa yang kehabisan limit. Dia akan menunggu pelan-pelan sampai Tania menerima Argio sebadan-badan.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD