Keping - 2 - Berusaha Menolak

1353 Words
 Arya berjalan cepat memasuki rumah orang tuanya. Setelah tadi ia menemui gadis yang dijodohkan oleh ibunya, ia langsung bergegas pulang untuk menemui ibunya. Saat ini, ia benar-benar tak habis pikir dengan ibunya. Bisa-bisanya ia menjodohkan dirinya dengan seorang gadis yang ca-cat? Bahkan melihat pun ia tak bisa. "Ma!" teriaknya dengan kencang. Bahkan suaranya pun menggema di seluruh penjuru rumah mewah itu. "Mama!" teriaknya lagi. "Ada apa sih, Ya? Kenapa teriak-teriak gitu? Kayak orang gak punya adab!" ucap sang papa sambil berjalan menuruni anak tangga. "Mama mana, Pa?" tanya Arya cepat. "Kamu kenapa sih? Coba duduk dulu ... tenangin diri dulu ... jangan langsung teriak-teriak begitu, dikira ini di hutan?!" "Arya mau ketemu sama Mama sekarang? Dimana dia?" Arya tak ingin buang-buang waktu lagi. Saat ini, ia hanya ingin mendengar penjelasan dari ibunya. Kenapa ia menjodohkan dirinya dengan gadis buta itu? "Haduh, berisik ih malam-malam teriak gitu!" Seorang wanita setengah baya berjalan dengan pelan seraya mengikat tali jubah piyama yang ia kenakan. Rambutnya pun sudah digulung kecil-kecil menggunakan roll rambut. Wajahnya mengilat cerah karena tadi habis menggunakan rangkaian skincare miliknya, ya memang ia ingin segera tidur, namun suara putra sulungnya yang berteriak kencang membuatnya kembali membuka mata. "Mama mau tidur! Kenapa malah teriak-teriak gitu sih?" Arya berjalan cepat mendekati ibunya. Saat ibunya sudah sampai di tangga terakhir di lantai bawah, Arya pun menatap ibunya dengan tajam. "Maksud Mama apa?!" Ayudia mengerutkan keningnya mendengar ucapan sang putra. "Maksud gimana? Maksud apaan?" tanyanya bingung. "Mama pasti tahu kan sebelumnya ... tentang gadis itu. Kenapa Mama menjodohkan Arya dengannya? Apa tidak ada gadis lain di luar sana? Kenapa harus dia, Ma?!" ucap Arya tak terima. “Kamu sudah melihat Chenin? Bagaimana? Dia cantik sekali kan?” ucap Ayudia senang.  Arya memutar bola matanya malas. Memang tak bisa dielak kalau gadis itu sangat cantik. Namun, tetap saja Arya tak bisa karena gadis itu buta. “Arya gak bisa melanjutkan perjodohan ini, Ma,” ucapnya dengan tegas. “Batalkan saja, bilang kepada keluarganya.” “Kenapa?” ucap Ayudia kaget. “Hanya karena Chenin buta?” tanya Ayudia seraya menatap putra sulungnya itu dengan tatapan serius. Kedua tangannya menyentuh kedua lengan putranya, lalu memutarkan tubuhnya hingga mereka saling bertatapan. “Karena Chenin buta, kan? Kamu gak mau melanjutkan perjodohan ini?”  Arya menarik napasnya dengan kuat. “Iya,” ucapnya. Wanita berusia 55 tahun itu tersenyum masam. Ia mengurut keningnya seraya berkacak pinggang. “Setiap manusia punya kekurangannya masing-masing, Nak ... tak ada di dunia ini manusia yang sempurna.” “Arya tahu itu, Ma! Tapi apa Mama ingin Arya menikah dengannya? Melihat saja tidak bisa! Bagaimana dia merawat dan melayaniku nanti setelah menikah?” ucap Arya kesal. Plak! Suara tamparan keras begitu nyaring di telinga. Wajah pria itu terlempar ke samping setelah mendapatkan tamparan dari ibunya. “Mama gak percaya ... kamu bisa mengatakan hal itu?! Siapa yang mengajarimu?! Dari kecil Mama dan Papa selalu mendidik kamu tentang menghargai seseorang, kemana semua ilmu yang kami berikan? Bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu, Ya ...” Ayudia menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. “Ma ...” Datanglah seorang gadis berusia 24 tahun dengan wajah ngantuknya. “Kenapa ini? Kenapa malam-malam ribut?” tanyanya seraya mengucek kedua matanya. “Arya tetap tak ingin menikah dengannya!” ucap Arya kekeuh. “Kenapa sih, Ma?” ucap gadis itu bingung. “Siapa yang mau menikah?” tanyanya lagi. “Masmu, Mor, Mama menjodohkan dia dengan Chenin, dan dia malah menghina-hina Chenin, dia gak mau menikah dengan Chenin karena katanya Chenin tidak akan bisa merawat dan melayani dia setelah menikah nanti,” ucap Ayudia dengan suara seraknya. Wanita itu menatap anak ketiganya yang kini tengah mengerutkan keningnya bingung. “Sebentar ... itu bagus dong, Mas! Kamu akan menikah sama Chenin, kan dari kecil loh kamu udah bilang kalau udah gede mau nikah sama Chenin,” ucap Amora—adik dari Arya—dengan senyumannya.  Arya menghela napasnya pelan. Ia memijat pelipisnya dengan cukup penekanan karena ia benar-benar pusing sekarang. Ia tak habis pikir ... adiknya pun ikut mendukung ibu mereka. Apa mereka bersekongkol untuk menjodohkannya dengan gadis buta itu? “Kapan? Mas nggak ingat apapun, Mor! Kalaupun iya Mas pernah berkata seperti itu ... dan kamu bilang itu saat kecil kan, mungkin itu hanya perkataan seorang anak saja ... kenapa kalian malah menganggapnya serius?” ujar Arya. “Karena Chenin mencintaimu, Mas!” ucap Amora. “Dia sahabatku, dia gadis yang baik, dia juga mandiri, memang dia memiliki kekurangan, namun itu semua tak pernah menyulitkannya ... kalau itu yang Mas takutkan!” Arya memutar bola matanya malas. “Shenina mencintai, Mas? Tapi Mas tidak mencintai dia, Mor.” “Aduh ...” ucap Ayudia seraya memegang da-danya yang terasa sesak. Amora langsung menghampiri ibunya dan membawanya duduk di sofa.  “Sesak lagi?” tanya Anton—Papa Arya—seraya menggeser tubuhnya mendekati sang istri. “Harusnya kamu jangan berbicara menggunakan emosi sama Mama kamu, Ya! Apa kamu lupa kalau jantungnya bisa saja kambuh?! Kamu mau Mamamu kenapa-kenapa?” ucap Anton kepada putranya. “Ma ...” Arya kini berjalan mendekati Ayudia. Ia berjongkok di hadapan wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangannya terulur ingin menyentuh paha ibunya, namun ibunya malah mengelak dan menggeser tempat duduknya agar jauh darinya. Arya menghela napasnya dalam. “Ma ... maafin Arya ... Arya kebawa emosi sampai lupa keadaan Mama,” ucapnya dengan nada yang sangat menyesal. “Mama kecewa sama kamu ... Mama juga gak habis pikir ... kenapa kamu dengan mudahnya menghina Sheninna dan berbicara yang tidak-tidak tentangnya? Padahal, kalian sudah lama tak berjumpa ... seperti kamu yang paling tahu tentang gadis itu saja!” ucap Ayudia dengan jutek. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia sedang marah dan tak ingin melihat wajah putra kesayangannya itu. Arya menundukkan kepalanya dalam. “Arya hanya tak bisa membayangkan ketika kami menikah nanti, Ma ... gadis itu buta—” “Iya! Udah! Mama tahu Chenin buta! Gak usah kamu perjelas lagi sampai bilang ‘gadis itu buta’ ‘gadis itu buta’ dia punya nama, Ya ... namanya Chenin.” Ayudia tak terima saat putranya terus saja memanggil Sheninna dengan sebutan gadis buta. “Mas ... percaya sama aku ... Sheninna nggak seperti yang Mas pikirkan ... aku lebih mengenal dia dari Mas ... tentang masalah cinta ... bukankah cinta akan tumbuh karena kebersamaan? Mungkin saja kamu akan mencintai Chenin nanti,” ujar Amora.  “Benar apa yang dikatakan oleh Mora, adikmu saja bisa berpikir sedewasa ini, Ya! Kalah kamu! Umur aja yang udah tua tapi pemikiran masih anak-anak,” ucap Ayudia dengan sinis. “Kamu mau perjodohan ini dibatalkan?” Ayudia menatap putranya dengan serius. Arya pun kini menatap ibunya. Ia menelaah mata hitam milik ibunya dengan teliti. Kenapa ibunya berkata seperti itu? Bukankah ia terus memaksa dirinya untuk menikah dengan gadis itu? Dengan pelan, Arya menganggukkan kepalanya. “Iya,” jawabnya. “Oke. Kalau itu yang kamu mau. Tetapi, kamu bisa melihat mayat Mama besok, dan jangan menganggap saya sebagai Mamamu lagi!” ucap Ayudia seraya menghapus air matanya yang jatuh. “Ma!” Arya terkejut mendengarnya. Sampai segitunya? Kenapa? Ada apa? Memangnya apa yang spesial dari gadis buta itu sampai ibunya benar-benar ingin dirinya menikah dengannya? Kepala Arya rasanya ingin pecah memikirkan itu semua. Jika hanya karena gadis itu anak dari sahabat ibunya ... bukankah ia bisa menikahkan dirinya dengan anak gadis sahabatnya yang lain? Yang lebih sempurna dari Sheninna? Tapi kenapa ibunya tetap kekeuh ingin menikahkan dirinya dengan Sheninna? “Mama ... jangan ngomong gitu ah!” Amora memeluk tubuh ibunya. “Mas! Kok malah bengong si!”  Arya meneguk salivanya. “Okey! Atur semuanya, Mas akan menikah dengan gadis itu.” Pria itu mendekati ibuhya. Memegang tangan wanita yang sudah melahirkannya itu. “Arya akan menuruti semua permintaan Mama, tapi jangan pernah Mama berbicara hal seperti itu lagi.” Arya menatap ibunya dengan rasa kecewa dan sedih yang bercokol di hatinya. Ia pun mengelap air mata yang membekas di pipi ibunya. Tangan Ayudia terangkat menyentuh wajah putranya yang kasar karena dipenuhi sedikit jambang. Senyuman lembut terbit di bibirnya. “Percayalah, Mas ... Chenin gadis yang baik. Dia gadis yang tepat untukmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD