Keping - 1 - Gadis Itu Buta

2059 Words
 Seorang pria berpakaian parlente berjalan cepat dengan gagahnya memasuki sebuah apartment mewah di kawasan Jakarta Selatan. Sepatu pentofel berwarna hitam nan mengilap yang dipakainya beradu dengan lantai membuat suatu suara yang khas. Ia menaiki lift. Menekan tombol 9, tempat yang ia tuju. Matanya menatap dengan tajam. Tangannya mengepal erat dengan gigi yang bergemelutuk. "Sialan!" ucapnya dengan kencang seraya memukul tembok lift yang berlapiskan marmer. "Perempuan breng-sek!" Ting! Lift berhenti, lalu pintu lift terbuka dan langsung menampakkan bagian dalam apartment yang disekat oleh pintu transparan di setiap sisinya dilapisi cat berwarna emas. Ia menekan pinnya, lalu akhirnya pintu itu terbuka. Luxury Apartment yang berukuran 472m persegi berada di kawasan pusat bisnis menjadi tempat tinggalnya sekarang. Terdiri dari 3 kamar tidur ditambah toilet setiap kamar, ruang makan, dapur, pantry, dan juga ruang santai dimana langsung berhadapan dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang indah. Ia berjalan menuju jendela besar yang tak tertutup dengan gorden yang menampilkan keindahan malam kota metropolitan itu. Otaknya memutar kejadian sore tadi. Ia memutuskan pacarnya. Diandra Gunawan, seorang model terkenal sekaligus pemain sinetron. Lalu ia tertawa pelan mengingat betapa bodohnya ia dibohongi hampir 5 bulan oleh pacarnya itu. Diam-diam ternyata Diandra selingkuh dengan lawan mainnya di sinetron, mereka terlibat cinta lokasi, mungkin. Ponselnya berdering dari saku celananya. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya dari dalam sana. Ia berdecak pelan melihat nama yang tertera di sana. Artarian Atmaja namanya. Sahabat sekaligus rivalnya dari dulu. Mereka saling mengenal ketika berada di bangku kuliah dan pertemanan antara mereka sudah hampir terjalin selama 17 tahun. Dengan malas, ia mengangkat teleponnya dan mendekatkannya ke telinganya. "Halo ..." "Wush ... wush ... wush ... berita heboh kali ini dibuat oleh Arya Bima Dewantara yang memutuskan pacarnya, Diandra Gunawan." Ya, ia bernama Arya Bima Dewantara. Berusia 34 tahun yang sebenarnya 5 bulan lagi akan menginjak pertengahan 30-an. Seorang pengusaha muda dibidang properti dan juga makanan. Arya memang sedari lahir sudah terlahir dari keluarga yang memiliki privilege sehingga tak sulit untuk mencapai kesuksesannya seperti sekarang. Memiliki koneksi luar dimana-mana membuatnya mudah mengembangkan usahanya hingga merajalela. "Berisik! Gak penting ngomongin beginian." "Kok lu jadi sensitif begini, bro ... santai aja cewek masih ngantre di luaran sana buat dapetin lu, tapi yang kayak Diandra sih jarang." "Ngomongin itu lagi, gue matiin teleponnya sekarang!" Arya sangat tak berselera untuk membahas perihal perempuan dan mantan saat ini. Ia pun langsung mematikan teleponnya dan melemparnya ke sofa. Ia memijat pelipisnya dengan pelan. Lalu terdengar suara orang melangkah mendekatinya. Arya menoleh dan mendapati pelayan yang sudah ia pekerjakan selama setahun belakangan ini. "Minumnya, Pak ..." ucapnya seraya memberikan segelas air berwarna hitam yang berada di atas nampan yang ia bawa. "Thanks," jawab Arya sambil mengambil gelas itu dari atas nampan. "Oh iya, hari ini jangan terlalu banyak membuat menu masakan, Mbak Sri ... dan juga tolong buatkan saya ayam lada hitam." "Baik, Pak kalau begitu saya permisi dulu mau membuat makanannya." "Iya, silahkan." Sehari-hari Arya tinggal di apartmen bersama pelayannya itu. Namanya Mbak Sri, wanita berusia 40 tahun berasal dari Gresik. Dia terpaksa merantau ke Jakarta karena kebutuhan ekonomi yang mendesak di kampungnya. Suaminya sakit-sakitan dan dia sendiri yang menghidupi keluarganya dari hasil keringatnya mencari nafkah di Jakarta. Mbak Sri mempunyai dua anak yang tinggal bersama suaminya di Gresik. Mbak Sri akan pulang ke kampungnya ketika ada acara besar seperti lebaran dan cuti yang mendesak. Arya mempekerjakan Mbak Sri penuh waktu dan memberikan salah satu kamar di apartemennya untuk ditinggali oleh wanita itu. Lagi pula, ia sangat jarang berada di apartemennya ketika pagi hari. Apartemen itu hanya ia gunakan untuk tidur saat pulang kerja, ketika weekend, dirinya akan pulang ke rumah orang tuanya dan menginap di sana. Ia memilih apartemen itu karena lokasinya yang dekat dengan kantornya, jadi Arya tak perlu membuang-buang waktunya. Lalu, ia melihat ponselnya kembali menyala dan bergetar di atas sofa. Dengan malas, Arya pun duduk di sofa seraya menaikkan salah satu kakinya ke atas pahanya. Ia mengambil ponselnya itu dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata itu Mamanya. Dengan cepat, Arya mengangkatnya. "Halo, Ma ..." "Iya, halo sayang." Arya tersenyum kecil. "Kenapa Mama telepon Mas?” "Nah, gitu dong. Ya, kamu gak ke rumah? Besok sabtu loh, gak pulang?" "Gak dulu, Ma. Arya lagi malas." "Abis putus dari pacarmu itu? Kan sudah Mama bilang, dia kayak bukan perempuan baik-baik, Nak ..." Arya memutar bola matanya malas. Dari dulu, sejak ibunya tau bahwa ia menjalin hubungan dengan seorang model, ibunya langsung tak menyetujuinya. Bahkan, pernah sekali Arya mempertemukan ibunya dengan Diandra, diluar dugaannya ternyata ibunya langsung bersikap jutek dan tak bersahabat ketika Diandra mengajaknya berbicara. Dari tatapan matanya pun saat itu Arya dapat menyimpulkan bahwa Diandra bukanlah tipe ideal untuk ibunya. "Udahlah, Ma ... jangan bahas itu sekarang." "Sini, Nak ... pulang. Ada yang mau Mama bicarakan, bisa?" Arya mengerutkan keningnya. Tak biasanya ibunya menelepon hanya untuk menyuruhnya pulang. Sepertinya ada yang penting. "Is everything oke? Tumben Mama bilang begitu." "Semuanya baik. Kamu ke sini aja dulu, cepat ya ... Mama tunggu. Awas ya jangan lama-lama." Baru saja Arya ingin menjawab, teleponnya sudah dimatikan. Dengan cepat, ia berdiri, lalu berjalan menuju dapur. "Mbak Sri, nanti dimakan sama Mbak aja ya, saya harus pulang ke rumah dulu, saya titip apartmen ya, Mbak ... oh iya, seperti biasa sprei kasur saya tolong diganti dua hari sekali. Jangan lupa, Mbak ..." "Baik, Pak ..." ucap Mbak Sri. Ia hanya bisa melihat majikannya itu yang tergesa berjalan keluar apartmen. Sepertinya semua orang kaya selalu sibuk, pikirnya. ••••• "Mama ingin kamu menikah dengan anak sahabat Mama." Baru saja Arya datang dan mendudukkan bo-kongnya di atas sofa, dirinya sudah dikagetkan dengan ucapan sang ibu. Untung saja, Arya tak memiliki riwayat penyakit jantung, jika iya ... mungkin dirinya sudah tewas saat ini. "Wait ... what?! Ma, Mama gak salah bicara kan? Astaga ..." Arya menyenderkan tubuhnya di sofa, lalu tangannya memijat tengkuknya sendiri.  Dia sangat lelah karena pekerjaannya dan masalah percintannya. Kini, ibunya menambah masalahnya lagi. Ah, rasanya ia melepaskan kepala dari tubuhnya, ia merasa sangat pusing sekarang. “Nggak! Dia gadis yang baik. Cantik juga, pasti kamu suka, Nak ...” Arya berdecak pelan. “Ma ... aku lagi gak mau bahas perempuan saat ini.” Ayudia Dewantara menatap putranya dengan tatapan memelas. “Arya ... jangan gitulah, jangan karena satu perempuan kamu benci perempuan lainnya.” “Siapa yang benci sih, Ma?” “Makanya ... kamu temui dia dulu ya? Tolonglah ...”  Arya paling tak suka jika Mamanya sudah menampilkan wajah memelasnya seperti sekarang. Karena sebagai seorang putra yang selalu menuruti apa kata sang ibu, membuat Arya tak tega untuk menolaknya. “Oke ... ketemu dulu, urusan nikah nanti aja, tergantung orangnya?” “Ya ... kamu harus percaya sama Mama ... dia perempuan yang baik, keluarganya pun kita sangat kenal, jadi apa salahnya kalau kita mempererat hubungan kedua keluarga dengan cara menikahkan anak kita?” “Ma ... Arya masih belum memikirkan untuk menikah.” “Loh, kamu sudah 34 tahun,” ucap suara berat dari seorang pria paruh baya yang datang dengan segelas kopi di tangannya. “Jangan mikirin kerjaan terus lah, harus mikirin masa depan juga ... anak istri ... memangnya kamu mau terus hidup sendirian?” “Pa ... itu nanti, nggak sekarang.” “Mau kapan?” tanya Ibunya. “Kapan lagi? Kamu selalu menunda-nunda. Malah pacarin si model itu, Mama kan gak suka sama dia. Tapi untungnya kalian udah putus, kata Mama juga dia perempuan gak baik, buktinya dia malah cinlok sama lawan mainnya.” Arya mengerutkan keningnya. “Kok Mama tahu?” “Yah, grup arisan Mama rame ngomongin itu, baca berita juga banyak.” Arya menghela napasnya pelan. “Arya lapar, Bibik masak apa?” “Itu ada di meja makan, ada udangs teriyaki, ayam asam manis, banyak deh, kamu lihat sendiri.” Arya mengangguk. Lalu berdiri dan berjalan menuju meja makan. Matanya langsung berbinar melihat banyaknya makanan yang terhidang di atas meja. Ia langsung mengambil tempat duduk dan mulai mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk. “Mau ya, Ya? Ayolah ... Mama pengen lihat kamu menikah sama anak sahabat Mama ... kalian dulu pas kecil deket banget, malah pernah janjian kalau udah besar bakalan menikah, pasti kamu lupa.” Arya memutar bola matanya malas. “Iya ... iya ...” akhirnya, ia pun menuruti permintaan ibunya. Lagian, apa salahnya menikah dengan anak sahabat ibunya? Mungkin, itu adalah pilihan terbaik untuknya. Ia tak ingin lagi gagal dalam urusan percintaannya. Ia sudah lelah. ••••• Malam ini, tepat malam minggu. Saat Arya masuk pertama kali ke dalam restoran sudah banyak muda-mudi berpasangan tengah bercanda dan mengobrol ria di meja yang tersedia. Ia menghela napasnya pelan. Jika bukan karena ibunya yang menyuruh mungkin ia lebih memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di kamar saat ini. Lalu ia melihat percakapan dengan ibunya lewat aplikasi chat. Di sana, ibunya sudah bilang bahwa perempuan yang akan ditemuinya itu memiliki rambut berwarna merah tua, berkulit putih dan juga memakai baju berwarna peach. Dan ya, mata Arya langsung tertuju pada gadis yang sama persis dideskripsikan oleh ibunya. Gadis itu duduk berdua dengan wanita di sampingnya.  Itu pasti dia, batinnya. Arya pun berjalan mendekati mereka. Ketika sampai, wanita paruh baya langsung menyambutnya dengan senyuman yang mengembang. “Eh, Nak Arya ya? Wah, udah lama kita nggak ketemu. Udah dewasa banget ya sekarang, kelihatan lebih gagah,” ucapnya. “Tante Deswita?” tanya Arya dengan pelan. Ia lupa-lupa ingat dengan namanya. Namun, wajahnya begitu familiar. “Nah, itu ingat. Ayo, duduk dulu. Tante udah pesanin makanan sama minuman tadi.” Arya mengangguk. Lalu duduk di hadapan gadis yang sedari tadi diam saja. Matanya menatap gadis itu dengan seksama. Benar apa kata ibunya, gadis itu cantik. Bahkan menurutnya sangat cantik. Parasnya begitu menawan. Walaupun hanya berdandan seadanya, itu sama sekali tak mengurangi kecantikannya. Jujur, Arya terpesona untuk pertama kalinya.  Deswita yang melihat itu tersenyum-senyum sendiri. “Tujuh tahun di Amerika, betah?” tanyanya kepada Arya. “Iya, Tante. Lumayan menyenangkan juga,” jawabnya. “Mama kamu cerita, katanya kamu kangen banget sama masakan Indo di sana ya? Apalagi masakan Mama kamu.” Arya terkekeh pelan lalu mengangguk. “Sebetulnya, udah banyak restoran Indo di sana juga. Tetapi, rasa masakan tentu kalah jauh dengan masakan Mama, Tante.” Tante Deswita tersenyum mendengarnya. “Kamu masih ingat dengan dia?” Deswita menyentuh kedua bahu putrinya dengan kedua tangannya. “Kalian dekat banget waktu kecil.” “Ah, saya sedikit lupa, Tante. Mungkin sudah terlalu lama kami tidak bertemu.” “Iya, mungkin saja. Jadi, apa salahnya kamu berkenalan lagi dengannya?” ucap Tante Deswita. “Tentu,” jawab Arya. Lalu ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan gadis itu. Matanya terus menatap wajah gadis itu yang terlihat ada sedikit keanehan. Lalu, keningnya sedikit mengerut ketika melihat Tante Deswita yang menuntun tangan putrinya untuk menjabat tangannya. “Arya Bima Dewantara,” ucapnya. “Aku ... Shennina Sudrajat,” ucap gadis itu dengan suaranya yang lembut. Tante Deswita masih tersenyum menatap mereka berdua. “Kalau begitu, Tante tinggal dulu ya? Kalian bisa mengobrol berdua.” Arya mengangguk sebagai jawabannya. Ketika melihat Tante Deswita yang sudah pergi menjauh, tatapan mata Arya langsung tertuju kembali pada gadis itu. Aneh. Gadis itu masih diam. Tetapi, Arya dapat melihat gerakan bibir gadis itu yang tak mau diam. Sepertinya ia gugup. Lalu yang membuat Arya heran, tatapan gadis itu tak pernah melihat ke arah dirinya. Tatapannya lurus dan kosong. “Shennina ...” panggilnya. “I–iya ...?” Jawab gadis itu dengan terbata-bata. “Saya harus panggil kamu apa? Shennina? Nina? Shenin?”  “Terserah, apa saja senyamanmu.” Arya tersenyum kecil lalu mengangguk. “Kalau begitu saya panggil kamu Nina aja ya?” Lalu Arya melihat gadis itu hanya mengangguk. Pesanan datang. Pelayan satu per satu menaruh makanan di atas meja. Arya menatap hidangan di atas meja dengan penuh minat. Ia merasakan perutnya yang keroncongan sekarang. “Kamu mau minum? Ini, minum dulu.” Arya mendekatkan segelas minuman ke Shennina.  Kening Arya semakin mengerut ketika melihat tangan gadis itu yang bergerak tak karuan di atas meja. Dan tatapan matanya pun terus menatap ke depan, tak menatap makanan yang ada di atas meja. Arya merasakan adanya kejanggalan di sini. Ia menggerakkan tangannya di depan wajah gadis itu dan benar saja ... mata gadis itu tetap melihat lurus ke arah depan. Satu hal yang bisa Arya simpulkan sekarang ... gadis itu buta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD