Hari Pertama Menikah

1518 Words
Kini, Tiffany sudah berada di rumah sakit. Wajah lusuhnya tak terbentuk lagi, menunggu kabar sang ayah yang sedang ditangani oleh para dokter di ruang UGD. "Aku takut banget, Beb," sesal Tiffany, seraya menenggelamkan wajahnya di pelukan Miko. Miko terus mengusap rambut kekasihnya itu. Mencoba menenangkan Tiffany dari tangisan histerisnya. "Kenapa sih dokter nya dari tadi nggak keluar-keluar!" Suara Tiffany semakin meninggi, ia mencengkeram pinggang Miko, sebagai pelampiasan kemarahannya. "Permisi, di sini ada yang bernama Dimas?" Suara seorang suster mengejutkan mereka. "Saya, Dimas Suster!" Dari kejauhan tampak seorang pria dengan jaket kulit berwarna hitam sedang berlari mendekat. Napasnya tersenggal-senggal. Namun, kedua matanya melotot ketika menatap Tiffany. Ya, gadis itu langsung membuatnya terpikat. Tetapi, ia beralih pandang ke arah suster ketika ia melihat gandengan tangan Tiffany ke siku Miko. "Oh, pak Aji ingin bertemu sama mas Dimas," ucap sang suster. "Tapi, Sus saya juga mau masuk. Saya putrinya," sanggah Tiffany, tak terima. "Maaf Mbak, pak Aji yang memintanya sendiri," jawab suster lalu berlalu pergi. Dimas pun masuk, di atas ranjang tampak Aji yang dipasangi selang di beberapa bagian tubuhnya. Tampak dokter yang masih setia menemaninya. "Aji, bangunlah calon menantumu sudah datang," ujar dokter Amir yang kebetulan adik kandung Aji, yang berarti om nya Tiffany. Lebih tepatnya, ayah Laura. Aji perlahan membuka kedua matanya. Tatapannya sendu, napasnya terengah-engah menunjukkan betapa lemahnya dia sekarang. "Assalamu Alaikum, Pak. Maaf, saya baru datang. Tadi shalat Isya dulu," salam Dimas, dengan nada lembut. Aji tersenyum, "memang, aku nggak salah kan memilih calon menantu." Dokter Amir ikut tersenyum, "Danu Baskara kan memang sedari dulu sudah sangat baik. Ya, pasti menurun ke anaknya dong," sahutnya. Dimas hanya diam, namun bayangan Tiffany tadi membuat pikirannya kacau. "Astagfirullah," ucapnya tiba-tiba. "Lho, kok malah istigfar," ujar Amir. "Astagfirullah, maaf Bapak. Tiba-tiba saya teringat sesuatu, saya nggak fokus," jawab Dimas. "Oh, hahaha...melihat kamu begini jadi ingat masa-masa sama almarhum Danu Baskara. Dia lembutnya juga Masyaa Allah sama kayak kamu ini lah. Benar nggak Aji," ujar Amir. Aji hanya bisa tersenyum, ditengah-tengah tubuhnya yang lemah. "Sudah bertemu Tiffany?" tanya Aji pelan. "Sudah, Pak," jawab Dimas pelan. "Bagaimana? Apa kamu mau menerima putri saya? Terus terang, Tiffany anaknya memang sedikit nakal. Tapi, sebenarnya dia memiliki hati yang baik." Aji mencoba menjelaskan tentang kepribadian Tiffany. Dimas mengangguk, "saya mengerti maksud Bapak. Saya juga menerima apa pun yang ada pada Tiffany, Pak," jawabnya dengan kesungguhan. "Amir, tolong panggil Tiffany masuk." Amir mengangguk, ia pun keluar untuk memanggil keponakannya itu. Tiffany pun berlari masuk, wajahnya masih basah. Ia segera duduk, dan langsung menciumi tangan Aji tanpa mempedulikan sosok Dimas di sampingnya. "Papa, maafin Fany, Pa. Fany khilaf," tutur Tiffany diiringi isak tangisnya. Aji menghela napasnya, perlahan ia mengusap rambut Tiffany. "Sudahlah yang lalu biarlah berlalu," ucapnya lirih. Tiffany mengangkat kepalanya, ia menghapus air matanya yang masih tertahan di pelupuk. "Ini nak Dimas, putra teman papa." Tiffany enggan menatap Dimas. "Bagaimana sekarang? Apa kalian setuju untuk dinikahkan?" tanya Aji. Baik Dimas dan Tiffany tak ada yang menjawab. Dimas ragu, karena dari awal dia sudah tahu kalau Tiffany sudah memiliki kekasih. Ia tak tega menjadi orang ketiga diantara mereka. Sedangkan Tiffany, memang sejak awal sudah menentang keras perjodohan tersebut. "Nak Dimas, kenapa tidak menjawab?" "Saya setuju kalau Tiffany nya setuju," jawab Dimas. Astagfirullah, kenapa malah bilang setuju. Dimas membatin. "Tiffany, bagaimana dengan kamu, Nak?" tanya Aji dengan suara melemah. Tak tega melihat wajah ayahnya yang memelas, dengan terpaksa Tiffany menganggukkan kepalanya. "Iya Fany setuju, Pa. Cepat sembuh, dong Pa," keluhnya. Aji tersenyum semringah, "baiklah, pesta akan diadakan minggu ini," ucapnya. "Apa? Minggu ini?" tanya Dimas dan Tiffany bersamaan. **** Hari ini, tampak di gedung mewah bagian Selatan, dipenuhi para tamu dengan pakaian terbaik yang mereka punya. Membawa undangan serta kado yang berupa-rupa bentuknya. Pesta yang terbilang cukup mewah sengaja Aji persembahkan untuk pernikahan Tiffany, putri kesayangannya itu. Ia bahkan menolak usulan Dimas yang ingin menikah secara sederhana. Akad akan dimulai, Dimas serta rekan satu kerjanya yang masih memakai seragam dinas tampak menunggu mempelai wanita. "Cie-cie yang mau menikah," ujar Simson, sahabat Dimas yang paling dekat. Dimas memang terkenal ramah dan paling baik di setiap tugas yang diberikan untuknya. Oleh karena itu, meskipun hanya sebatas BANPOL, Dimas termasuk paling disegani dan dihormati juga. Jadi, tidak heran jika jendral Sutama pun turut hadir di acara sakral tersebut. Sambutan heboh para tamu terdengar ketika Tiffany dengan balutan kebaya putih mewah membalut tubuhnya. Kecantikannya jangan ditanya lagi, sudah pasti menghipnotis. Jantung Dimas semakin berdegup kencang mengiringi langkah Tiffany ke arahnya. Rasa semangatnya tadi berubah menjadi gugup yang luar biasa. "Mas, Dimas dari tadi pak penghulu nanya kamu kok nggak dijawab ini," bisik Simson. Lamunan Dimas pun buyar, kegugupannya tak bisa ia redam. Tiffany yang sejengkal dari dirinya itulah penyebabnya. "Maafkan saya," ucapnya pelan. Para tamu pun terkekeh, mereka mengerti situasi Dimas. Memang hari pernikahan adalah hari yang paling mendebarkan bagi setiap insan. Rasa bahagia sekaligus haru akan bercampur aduk. "Baiklah mas, Dimas dan para tamu bisa kita mulai sekarang?" tanya pak Rohman, penghulu yang terkenal di kota tersebut. "Bisa, Pak," jawab mereka serempak. Pak Rohman mengulurkan tangannya yang langsung dibalas oleh Dimas. "Bismillahirrohmanirrohim... Saya nikahkan engkau saudara, Dimas Baskara bin Danu Baskara dengan ananda Tiffany Nandyra Sudrajat binti Aji sudrajat dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan cincin emas 24 karat dibayar tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Tiffany Nandyra Sudrajat binti Aji Sudrajat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dimas dengan wajah seriusnya membuat rasa gugup tadi menghilang. Napasnya yang tertahan, ia lepas lega ketika para tamu bersorak, "sah." "Alhamdulillah." Setelah ijab kabul terlewati, acara tukar cincin kembali membuat Dimas kembali gugup. Apalagi saat tangannya berhasil menyentuh tangan lembut Tiffany. Tepuk tangan disertai sorakan pun pecah. Cincin tanda suci itu sudah bersemayam di jemari mempelai. "Cium cium cium...." Bukan hanya itu, para tetamu menggoda kedua mempelai. Dimas melirik Tiffany, wajahnya sedikit ragu. Berbeda dengan Tiffany yang mendekatkan keningnya, mempersilahkan Dimas untuk mengecupnya. Pelan tapi pasti, Dimas mencium bukit kepala Tiffany. Tampak ikhlas dan tulus, Dimas adalah insan yang paling bahagia hari ini. Tiffany sudah menjadi istrinya, hari-hari nya tak lagi sama dengan yang sebelumnya saat dia masih sendiri. *** Dimas masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah ditaburi kelopak mawar merah. Aroma terapi menyeruak menenangkan. Diletakkannya sajadah yang baru ia pakai sewaktu shalat tahajud. Di atas ranjang, tampak Tiffany yang sudah pulas dengan mengenakan piyama putih polos. Pelan-pelan, Dimas merapikan selimutnya yang acak. Tangan Dimas terhenti, ketika maniknya merangkup wajah lelap Tiffany. Rasa syukur Dimas mempersunting gadis secantik Tiffany. Dimas membaringkan tubuhnya di samping Tiffany. Dan perlahan kedua matanya terpejam, hari melelahkan bagi sepasang pengantin dan sudah saatnya untuk beristirahat. Malam itu, berakhir begitu saja. Lalu, bagaimana dengan hari esok? Ntahlah hanya takdir yang akan menjawabnya. **** Tiffany membuka kedua matanya, ketika alunan lagu religi yang distel menjadi alarm. Ponsel Dimas yang terletak di atas nakas itu membuat Tiffany menggerutu kesal. Pasalnya, ia tak pernah terbangun di jam shubuh. "Maaf mengganggu, ini pertanda shalat shubuh," ujar Dimas, tersenyum canggung. Tiffany tak menjawab, hanya saja guratan di wajahnya itu sudah bisa dibaca. Ia menarik selimutnya, lalu kembali tidur. "Mau shalat bareng nggak?" tawar Dimas, namun tak ada gubrisan dari Tiffany. Dimas menghela napasnya, beranjak keluar kamar untuk melaksanakan shalat shubuh. Pagi pun tiba, mentari mulai menunjukkan sinarnya. Panas hingga menembus ke kulit. Tiffany kembali dikejutkan cahaya matahari yang menyorot wajahnya. Tampak Dimas yang merapikan tirai hotel, membiarkan mentari menerangi ruangan kamar. "Kamu bisa nggak jangan mengganggu?" Suara Tiffany dengan emosi yang sedari ia tahan pun meluap. Dimas kebingungan, ia terkejut dengan perkataan istrinya itu. Pasalnya, tadi malam Tiffany bahkan tak mengeluarkan suaranya. "Maaf, tapi ini sudah pagi. Dan alangkah bagusnya jika-" "Bulsyit!" Tiffany yang sangat gusar bangkit dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Dimas masih kebingungan, bagaimana bisa Tiffany yang seorang wanita membentaknya di pagi hari? Terlebih lagi, Tiffany sudah menyandang status sebagai istrinya. Tiffany menggaruk kepalanya, ia terlihat depresi menanggapi makanan yang tersaji di depannya. "Di hotel sebesar ini, kamu cuma dapat makanan begini?" "Ini biasa yang saya makan. Pagi-pagi begini saya selalu sarapan dengan lontong dan beberapa gorengan. Kalau nggak suka, biar saya ganti. Bilang saja mau makan apa?" "Akh! Susah banget kalau sudah berhadapan dengan orang kampung!" Suara Tiffany meninggi, ia pun beranjak keluar dan pergi ke lantai bawah hotel. "Gila ya! Hari gini masih ada orang udik begitu. Menye-menye lagi kayak banci jauh beda sama Miko." Gumaman kekesalan Tiffany pada Dimas terus ia lontarkan. "Gimana ya kabar Miko? Sejak dari rumah sakit kami nggak pernah bertemu lagi. Akh! Hp pakai tinggal lagi di kamar. Mau balik, malas bertemu si udik itu. Bisa-bisa darah tinggiku kumat tiap detik," racau Tiffany. Wanita itu menikmati sarapannya di kantin hotel. Ia tampak begitu tenang dan tak ada beban. Asalkan ada kartu hitam, apa pun yang terjadi ia akan terus bahagia. Aji yang selalu memanjakan Tiffany sedari kecil memberikan kartu tersebut untuk kesenangan putrinya itu. "Hey Darling, you're alone," ujar seorang pria dengan perawakan bule. Tiffany tersenyum, pria bule itu pun duduk berhadapan dengannya. "I'm Jason, and you?" Mengulurkan tangannya. "Tiffany." Membalas uluran tangan Jason. "You are very beautiful, are you singel?" tanya nya sambil memandang nakal. "No, we are married," sahut Dimas sambil menunjukkan cincin yang bersemayam di jemarinya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD