Rumah Sederhana

1304 Words
"Apaan sih kamu, pakai nongol segala lagi!" bentak Tiffany, ketika ia dan Dimas sudah berada di dalam lift. Dimas hanya diam, ia bingung pada kemarahan Tiffany yang selalu memandangnya salah. "Akh...papa sih pakai jodohin dengan orang yang kayak gini segala. Lama-lama bisa gila beneran aku!" Lagi dan lagi Tiffany merenggut. Pintu lift terbuka, Tiffany melangkahkan kakinya dengan cepat. Kakinya menghentak ke lantai. Kemarahan itu sudah tak bisa ia bendung. "Saya minta maaf kalau ada salah sama kamu tapi-" "Dari awal, kamu memang sudah salah!" Lagi-lagi perkataan Tiffany membuat bibir Dimas terbungkam. Pintu pun terbuka, segera wanita itu masuk diekori oleh Dimas. "Kamu mau kemana?" tanya Dimas saat Tiffany memakai cardigan dan merapikan rambutnya. "Aku mau ke tempat papa, aku benci lama-lama lihat kamu! Udik dan membosankan," jawab Tiffany. "Saya bingung kenapa kamu mengatakan yang buruk tentang saya. Apa salah saya? Apa salah kalau saya bilang saya suami kamu. Kita kan memang sudah menikah," jawab Dimas. Tiffany terkekeh, ia mengoleskan lipstik merah ke bibirnya. "Seandainya kamu tidak menyetujui perjodohan ini, pasti sekarang aku dan Miko masih bersama," ujarnya. "Tapi kalau kamu memang nggak setuju, kamu kan bisa menolaknya." Dimas berusaha menahan amarahnya, ia terus berlaku lembut meskipun Tiffany terus menghardiknya dengan kalimat kasar. "Aku sudah menentangnya, tapi papa malah masuk rumah sakit." Nada suara Tiffany merendah, bulir air mata mengalir di pipinya. "Impianku cuma satu, aku dan Miko bisa bersama disertai dengan dengan restu papa. Tapi, aku malah diberikan pada orang yang tak dikenal dan langsung membuat impianku hancur dalam sehari setelah kamu datang!" Dimas tersentak, tubuhnya melemah. Ia pun duduk di tepian ranjang menatap Tiffany yang memunggunginya. "Sebenarnya ada cara yang bagus jika kamu bersedia, aku akan sangat berterima kasih," tawar Tiffany. "Apa itu?" "Ceraikan aku." "Cerai?" Menatap tak percaya. Bagaimana bisa sehari pernikahan, Tiffany sudah membahas perceraian. "Papa pasti mengerti dan menerima jika kamu yang mengajukan cerai," lanjut Tiffany. Dimas menggelengkan kepalanya, kedua mata Tiffany memelotot mempertanyakan maksud Dimas. "Maaf saya tidak bisa," jawab Dimas. "Kenapa nggak bisa? Toh, kita nggak sama-sama rugi kan. Aku bisa bebas begitu juga dengan kamu." Tiffany berusaha meyakinkan Dimas. Namun, Dimas menggeleng menolak. "Apa susahnya sih, tinggal cerai doang," ujar Tiffany. Dimas menghela napas panjang, pikirannya kacau balau. Mulut Tiffany yang terus komat kamit minta cerai tak kunjung diberi respon oleh Dimas. Lelaki itu malah memandang wajah Tiffany yang cantik. Wajah yang sudah membuatnya jatuh hati di awal bertemu. "Perceraian adalah hal yang dibenci Allah." Jawaban Dimas membuat ocehan Tiffany berhenti. Tiffany menghembuskan napasnya kasar. Ia tak bisa bicara apa-apa lagi kecuali pasrah dengan keadaan. Hari semakin larut, tak ada pembicaraan lagi di atara keduanya. Terlebih lagi dengan Tiffany yang bahkan tidak ingin memandang Dimas meskipun hanya sekilas. Waktu menginap di hotel sudah berakhir. Dimas menolak rumah pemberian Aji untuk mereka. Dimas sudah memiliki rumah sendiri, memang tidak mewah. Namun, lumayan sederhana. Terdapat dua kamar, ruang tamu serta dapur yang minimalis. Sebagai mertua, Aji cukup bangga pada Dimas yang tak ingin mengandalkan dirinya. Berbeda dengan Aji, Tiffany justru semakin membenci dirinya. Malam itu, Tiffany yang dilanda kebosanan mencoba keluar rumah untuk mencari kesenangannya. Klub yang sering ia datangi menjadi target utamanya. Teman-teman Tiffany sudah berada di sana dengan mengenakan pakaian minim yang menunjukkan lekuk tubuh mereka. "Ehm gimana nih pengantin baru, kikuk-kikuk nya enak nggak?" tanya Alena, sahabat Tiffany dari SMA. Status, belum menikah. "Ah jangan dibahas deh, bikin naik darah," jawab Tiffany, seraya meneguk minumannya. "Tapi jujur nih, pertama kali lihat Dimas itu ganteng banget nggak sih. Menurutku lebih ganteng dia daripada si Miko." Greta menimpali, sahabat Tiffany. Status sudah menikah setahun. "Eh ingat tuh laki kamu, malah bahas laki orang," timpal Alena. "Eh benar lho, melihat reaksi Tiffany yang ogah dijodohkan kirain Dimas itu ya jelek atau gimana. Eh, ternyata ganteng banget, wajahnya polos dan-" "Akh! Kenapa malah bahas yang itu sih. Aku ajak kalian kemari itu untuk bersenang-senang bukan bahas pernikahan yang nggak penting itu," gerutu Tiffany. Alena dan Greta terdiam, tiba-tiba Tiffany heboh ketika musik semakin kencang. Ia bahkan melenggokkan tubuhnya yang sexy di tengah kerumunan orang-orang. Di rumah, tampak Dimas yang sedang menyetrika merapikan pakaiannya di lemari. Tak lupa juga dengan pakaian Tiffany yang modelnya membuat bulu kuduknya merinding. Dimas beranjak keluar ketika suara ketukan pintu terdengar. Di luar, sudah ada Greta dan Alena yang berusaha menopang Tiffany yang sedang mabuk. "Dia mabuk hehehe...." Greta kikuk menatap wajah Dimas yang memang terbilang tampan. Wanita itu salah tingkah, berbeda dengan Alena yang hanya tersenyum. "Terima kasih sudah mengantarnya pulang, mau singgah dulu," tawar Dimas, sambil menahan tubuh Tiffany yang gontai. "Enggak deh, kita pulang saja. Sudah malam," jawab Alena. "Iya, kami permisi dulu ya," ucap Greta. Dimas mengangguk, kedua wanita itu pun berakhir pergi, Dimas membopong tubuh Tiffany masuk ke dalam kamar. Dibaringkannya tubuh Tiffany yang setengah sadar itu. Dimas mengambil air, guna membersihkan olesan make up di wajah Tiffany. "Miko, kamu di mana? Aku kangen." Ucapan Tiffany membuat Dimas berhenti. Dipandangnya dalam-dalam wajah Tiffany yang lirih. "Jangan tinggalkan aku, Miko. Aku mau nya hidup sama kamu, bukan dengan dia. Aku nggak suka sama dia," gumam Tiffany. Dimas melanjutkan aktifitasnya diiringi ocehan-ocehan Tiffany yang mengatainya. Gadis itu sudah tenang sekarang, ia sudah terlelap di alam mimpi. Maafkan aku yang tidak bisa melepaskanmu. Aku akan berusaha agar kamu bisa menerima aku seutuhnya, batin Dimas. Suara kokok ayam berhasil membuat Tiffany terbangun. Ia berdesis merasakan pusing yang luar biasa. Suasana kamar yang masih asing membuatnya terperanjak. Kruuuk! Perutnya berbunyi. Wanita itu beranjak keluar, mencari makanan yang bisa ia jadikan sarapan. Di atas meja tampak berbagai jenis makanan yang sudah disediakan Dimas untuknya. Terdapat sebuah surat kecil tulisan Dimas. Pil pereda perut kembung, minumlah agar kamu tidak mual. Cepat sembuh ya... Tiffany berdecih, gemuruh dari perutnya kembali terdengar. Namun, mengingat kebenciannya pada Dimas ia ogah menyentuh makanan tersebut. Ya, wanita itu memilih keluar mencari makanan sendiri. Di luar sepasang mata para tetangga menatap tajam ke arah Tiffany. Pakaian yang ia kenakan menjadi sorotan. "Padahal mas Dimas itu orangnya religius, Eh malah dapat istri yang pamer aurat," ujar si A. "Maklum orang kaya," timpal si B. "Bisa jadi, sih. Tapi, kok aku merasa kasihan ya sama mas Dimas. Kayak terpaksa gitu," sahut C. "Heleh, kamu ini dari dulu naksir kan sama mas Dimas," ujar si A. "Ya, aku kan sudah janda jadi, wajarlah," jawab si C. Tiffany terus menyusuri warung-warung untuk mencari makanan. "Bukannya dapat makanan untuk mengenyangkan perut eh malah dapat gosip-gosip yang mengenyangkan telinga. Dasar orang-orang miskin bisanya mengatai orang lain." Sore pun tiba, sudah waktunya bagi Dimas untuk pulang. Setelah menunaikan shalat ashar, ia pun bergegas pergi. Sesampainya di rumah, Dimas tidak menemui sosok Tiffany. Makanan yang ia masak tadi pagi, masih utuh. Ia pun membereskannya kemudian merapikan tempat tidurnya yang berantakkan dengan pakaian Tiffany yang sudah ia rapikan tadi malam. Denting jam berputar, Dimas masih setia menunggu kepulangan istrinya yang ntah kemana. Dan seperti biasa, tepat pukul 1 ketukan pintu pun terdengar. Lagi-lagi Alena dan Greta datang dengan Tiffany yang sudah dalam keadaan mabuk. "Dimas b******k, ini semua salah kamu!" Makian demi makian keluar dari bibir Tiffany. Tetapi, dengan sabar Dimas menganggapnya angin lalu. Pagi pun tiba, seperti kemarin Tiffany bangun dengan kepala pusing. Makanan dan secarik kertas ia abaikan. Kali ini, ia mengunjungi Aji. Ia rindu makan di rumahnya. Sesampainya di sana, Tiffany langsung memeluk Aji. Ia merindukan setiap momen bersama Aji. Dan Aji memahami itu. "Bagaimana kabar nak Dimas?" tanya Aji di sela-sela sarapan pagi berlangsung. "Ya, baik-baik aja kok, Pa," jawab Tiffany. "Syukurlah, sebenarnya ada yang ingin papa ceritakan sama kamu. Ini mengenai tentang Dimas." "Ya elah, Pa. Memangnya nggak ada cerita yang lain, apa." Aji tersenyum, "papa cuma ingin mengobrol lama dengan kamu." Tiffany tersentak pandangannya lirih pada Aji. Ia mengerti maksud Aji. Ya, sejak ibu Tiffany meninggal. Raut wajah bahagia Aji berkurang, begitu juga dengan Tiffany yang langsung menghabiskan hari-harinya dengan shopping dan pergi ke klub malam. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD