Naik Jabatan

1359 Words
Dimas termangu di pos polisi, wajahnya kusut memandangi para pengendara yang berlalu lalang. "Hei, kau kenapa sih? Dari tadi manyun terus kayak kambing bunting," ujar Simson dengan logat bataknya. Dimas menghela napas, raut wajahnya terlihat lelah dan lusuh. "Ntahlah, Son. Aku sangat bingung," jawabnya, lalu kembali memandangi jalanan di hadapannya. "Hei kawan, kan sudah kubilang kalau ada masalah jangan kau pendam. Aku sebagai temanmu, tidak suka melihatmu begini. Semakin banyak kau berpikir semakin banyak penyakitmu, tahu kau?" Simson menepuk pundak Dimas. Dimas tak menggubris temannya itu. Ia terus memandang kosong orang-orang yang terlihat bahagia dengan pasangan, keluarga dan sahabat mereka di atas kendaraan. "Baiklah, kau ceritakan keluh kesahmu kalau kau sudah siap. Aku tak akan memaksa, karena memaksa sama saja aku merampok milik seseorang yang belum tentu ikhlas," ujar Simson lagi, pria itu beranjak ke luar pos. Kamu benar Son, memaksa itu tidak baik. Tiffany, aku tahu itu yang dirasakannya tidak ikhlas karena aku memisahkan dia dengan kekasihnya. Dimas membatin. Tepat pukul 15.20 WIB, Dimas kembali ke rumahnya. Mulai dari masuk gang, mata para tetangga terus menyorotinya. Pria yang terkenal ramah itu justru membalas dengan senyum teduhnya. "Mas Dimas, bisa bicara sebentar?" Seorang ibu-ibu dengan daster motif batik serta rol di rambutnya membuat motor Dimas berhenti. "Maaf ada apa ya, Bu?" tanya Dimas sambil tersenyum. "Ini Mas Dimas, anu tentang istri kamu Dia...." "Ibu Riska, ada apa dengan istri saya?" Ibu Riska terlihat tidak tega melanjutkan ceritanya. Namun, tatapan para tetangga seperti memberi kode untuk menuntaskan pembicaraan tersebut. "Itu mas Dimas, banyak yang mengeluhkan pakaian istri mas Dimas. Kurang pantas dilihat, Mas," lanjut bu Riska. Dimas menghembus napas pelan, namun ukiran senyuman di wajahnya tak luntur. "Baiklah, bu Riska terima kasih teguran baiknya. Nanti, saya sampaikan. Atas nama istri saya, saya minta maaf," ucap Dimas. "Maaf, mas Dimas jangan marah ya. Ini demi kebaikan kompleks kita," jawab bu Riska, merasa tidak enak. "Enggak apa-apa kok, Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu ya. Assalamu'Alaikum," salam Dimas, seraya kembali melajukan motornya. "Waalaikumussalam...mas Dimas, alim dan ganteng gitu kok dapat istri yang merusak reputasi suaminya. Cantik sih cantik tapi kelakuannya amit-amit," gumam bu Riska, sembari masuk ke rumahnya. Dimas membuka pintu yang tak dikunci, tak lupa ia mengucapkan salam dan lagi-lagi tak ada yang menjawab. Dimas memang sering mengucapkan salam sebelum masuk rumah, meskipun dia tahu takkan ada yang membalas salamnya. Di ruang tamu, tampak Tiffany menekuk kedua lutut sambil mengecat jemari kaki nya. Ia terus merunduk, menganggap sosok Dimas tak ada. Dimas merapikan rak sepatu yang berserakan berbagai macam high heels milik Tiffany. Di dapur, tampak piring-piring berserakan di westafel. Dimas menggantung pakaian dinas miliknya, lalu mencuci piring-piring tersebut. Dimas menghampiri Tiffany dengan dua gelas teh di atas nampan yang ia bawa. "Boleh bicara sebentar?" tanya Dimas, sambil menyodorkan teh tersebut ke hadapan Tiffany. "Hemmm." Hanya itu yang keluar dari mulut Tiffany. Namun, sudah membuat Dimas bersyukur. Baginya, paling tidak masih ada suara, bukan. "Ini aku mau minta sesuatu, itu...kamu bisa nggak merubah cara berpakaian kamu?" tanya Dimas hati-hati. Tiffany tak menjawab, ia fokus mengecat jemari kakinya. "Soalnya kurang baik untuk tetangga," lanjut Dimas. Tiffany melipat kedua tangannya, ia menatap tajam pada Dimas. "Kalau begitu, pindah saja ke rumahku jangan di sini lagi. Sudah rumahnya norak ditambah dengan tetangga yang norak juga. Lama-lama aku gila dikurung terus!" teriak Tiffany. Dimas menggeleng, dengan perkataan Tiffany yang seperti orang keserupan. "Jadi, aku harus bagaimana?" "Ceraikan aku!" Jawaban ketus Tiffany, membuat Dimas terkejut. Bagaimana bisa Tiffany secara gamblang dengan kalimat yang diucapkannya itu? "Aku nggak bisa," jawab Dimas, seraya bangkit dari duduknya. "Kenapa nggak bisa? Kamu kejam telah memejarakan seseorang yang tidak mencintai kamu!" Dimas menoleh, "terserah kamu, sampai kapan pun aku tidak akan menceraikan kamu," jawab Dimas beranjak masuk ke dalam kamar. Tiffany melemparkan teh yang dibuat Dimas untuknya. Wanita itu gusar, dengan jawaban Dimas yang dianggapnya egois. Malam pun tiba, kali ini Tiffany memilih untuk di rumah. Dan malam itu, ia bahkan memakan makanan yang dimasak Dimas. Ya, mereka makan malam bersama. Tak ada pembicaraan di antara keduanya. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar. "Masakanmu enak," ujar Tiffany, seketika membuat Dimas menunduk malu. "Terima kasih," ucap Dimas pelan. "Aku sudah memikirkan untuk tawar menawar sama kamu. Kamu tahu kan, kalau aku dan Miko saling mencintai. Kami nggak akan terpisahkan dan aku juga nggak mau dipisahkan darinya." Tiffany mengungkapkan isi hatinya dengan pandangan serius. Dimas tak menjawab, dia fokus pada kunyahan yang ia makan. "Aku akan melakukan apa pun yang kamu mau. Asal kamu setuju untuk bercerai," lanjut Tiffany. Dimas meneguk minumannya, setelah itu pandangannya mengarah pada Tiffany yang berusaha membujuknya. "Kamu mau berapa? Seratus juta, dua ratus juta? Bilang saja, aku akan memberikannya," lanjut Tiffany. Dimas tersenyum, lalu menggeleng. "Aku tidak akan menceraikan kamu sampai kapan pun itu." Tiffany menghentakkan sendok dan garpunya. "Sebenarnya kamu mau apa sih dariku? Tolong dong jangan menyiksa orang," lirih Tiffany. Dimas bangkit dari duduknya, "aku akan turuti apa pun itu selain bercerai," jawab Dimas. Tiffany menghembus napas kasar, "oke! Terserah kamu mau nya apa! Jangan salahkan aku kalau aku dan Miko berhubungan dan juga-" "Baik kalau itu mau nya kamu, nggak apa-apa. Tapi, aku mau kasih kamu syarat," tawar Dimas. Tiffany mengeryit, "syarat? Katakan apa syaratnya?" tanya nya ketus. "Kemana pun dan kapan pun kamu ingin bertemu dengan Miko ijinkan aku yang mengantarmu." Syarat yang diajukan Dimas, membuat Tiffany terkejut sekaligus heran. Bagaimana bisa dia diantar oleh suaminya sendiri untuk menemui pacarnya? Namun, Tiffany tak mempermasalahkannya, "okelah." Dimas merapikan piring, lalu beranjak membersihkannya. Ya, Allah, hamba yakin dibalik ini semua ada hikmah yang tersimpan. Sesungguhnya engkaulah yang maha membolak-balikkan hati setiap manusia. Hamba akan menunggu hingga saat itu tiba. Saat dimana engkau menumbuhkan cinta di hati Tiffany untuk hamba. Batin Dimas. "Hari ini, aku pindah di kamar sebelah," ujar Tiffany. Dimas hanya diam, Tiffany pun beranjak mengemasi pakaiannya lalu memindahkannya ke kamar sebelah. Dimas memegangi ranjang yang di sebelahnya tempat dimana Tiffany biasa tidur. Malam berlalu, begitu cepat hingga pagi menjelang. Kedua kantung mata Dimas membengkak. Pikirannya kacau hingga membuatnya tak bisa tidur. "Itu mata kau kayak sudah mau jatuh," papar Simson. Dimas menatap pantulan wajahnya di cermin. "Kau kalau ada masalah, ceritalah. Aku sebagai teman kau nggak tega lihat perubahanmu semakin menjadi-jadi." Simson menatap serius, wajahnya panik ketika tangannya tak sengaja menyentuh siku Dimas. "Woi! Kau ini demam ya. Ayo kutemani ke rumah sakit." Simson menarik paksa tangan Dimas. Wajah Dimas yang kian pucat, tak sanggup menahan diri. Ya, polisi tampan itu pingsan. Kini, Dimas sudah di rumah sakit. Simson menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau ini, sudah dibilang kalau ada masalah ya ceritalah. Enak ya kalau sakit begini?" Simson meletakkan bingkisan obat yang baru ia tebus di apotek. Dimas tersenyum, "Tiffany...dia ngotot minta cerai," ungkapnya. Simson termangu, ia menatap iba pada Dimas. Menepuk pundak, menguatkan Dimas. "Dia bilang aku egois, Son karena bersikeras menolak perceraian itu." Simson tak henti-hentinya menepuk pundak Dimas yang pipinya sudah diderasi air mata. "Karena ngotot menjaganya, aku bahkan rela mengantarnya bertemu dengan kekasihnya. Kapan pun dan dimana pun mereka bertemu." Dimas tersenyum, tetapi bulir-bulir air mata terus menyapu deras di kedua pipinya. "Aku bodoh ya, Son," lanjut Dimas. Simson menyenderkan tubuhnya, "sebagai teman, aku cukup salut dengan kau. Tapi, sampai kapan kau disiksa begini. Aku tidak rela, hanya karena mempertahankan seorang wanita temanku menderita," jawabnya. "Ah, sudahlah aku tidak tahu masalah rumah tangga. Karena kau tahu sendiri sampai sekarang aku masih jomblo. Tapi, aku doakan semoga kalian dikodohkan dunia akhirat." Dimas tersenyum, "thanks ya." "Ah slow lah kau! Kita ini teman jadi jangan sungkan-sungkan lah," jawab Simson sembari menepuk kuat pundak Dimas. Kembalinya Dimas dan Simson dari rumah sakit, tiba-tiba mereka berdua disuruh menghadap pak Surya Jajaringgat, Jendral di jajaran kepolisian. 20 menit berlalu, kedua sahabat itu pun keluar dari ruangan sang jenderal. Pandangan Dimas terlihat kosong begitu juga dengan Simson. Phak! "Aduh apa-apaan kau ini!" teriak Simson, setelah Dimas memukul bahunya kuat. "Maaf, aku hanya mengetes ini mimpi atau nggak," jawab Dimas kegirangan. "Enteng kali pun kau bilang maaf. Kau pikir ini tembok," ujar Simson. Bukannya menjawab, Dimas terus melompat kegirangan. "Eh, sudah nggak sakit lagi kau. Baguslah kalau begitu." Simson ikut melompat kegirangan. Ya, Dimas dan Simson baru saja diangkat jabatannya dari Banpol menjadi seorang intel untuk sebuah kasus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD