Cucu?

535 Words
Tiffany mengotak-atik remot TV yang sebenarnya ia sendiri pun malas menonton sinetron yang jauh dari kenyataan hidup. Ya, seperti kehidupannya sekarang. Detak jam memancingnya untuk melirik. Berulang kali, wanita itu merenggut kecewa setiap melihatnya. Dimas yang belum juga pulang menambah rasa stress nya. "Sudah jam tiga, itu anak kok belum pulang sih. Bikin kesal deh, mana papa pasti sudah nungguin di sana. Hah, nomor HP nya nggak ada lagi," gumam Tiffany, berjalan bolak-balik mengintip setiap motor lewat. Dreeeeeeeeeet Dreeeeeeeeeet Dreeeeeeeeet... "Tuh kan papa nelepon. Jawab apa ya, ah bodo kubilang saja dia selingkuh biar cerai sekalian." Tiffany mengangkat teleponnya. "Halo, Papa...apa? Iya, Fany ke sana sekarang." Tiffany bergegas pergi menemui sang ayah. Sesampainya di sana, motor Dimas yang terpakir di halaman rumah Tiffany membuat dirinya geram. "Lho, kamu sudah datang, Nak," ujar Aji, menyambut kedatangan sang putri. "Dimas mana, Pa?" tanya Tiffany, matanya sambil menyapu ruangan mencari sosok Dimas. Aji tersenyum senang, "hahaha...baru beberapa jam nggak ketemu sudah kangen ya?" goda nya. Tiffany membalas senyuman Aji, merasa geli dengan perkataan sang ayah. "Hahaha...Dimas lagi di atas shalat ashar. Kamu sudah shalat?" Tiffany tertawa konyol, sebenarnya wanita itu bingung harus jawab apa. "Lagi halangan, Pa. Biasa perempuan," jawabnya yang tentu saja berbohong. Suara derap langkah terdengar membuat ayah dan anak itu menoleh. Tampak Dimas yang sedang menuruni undakan tangga. "Nak Dimas, sudah selesai shalatnya? Ini Tiffany baru sampai sudah nyariin, dia kangen sama kamu," ujar Aji. Kedua bola mata Tiffany membulat, ia terlihat salah tingkah pada penuturan sang ayah. Begitu juga dengan Dimas yang melangkah dengan ragu-ragu menghampiri istri dan mertuanya itu. Rasa cintanya pada Tiffany kian hari kian menjadi. Degupan-degupan di jantungnya sudah tak terbendung lagi. Di ruang tamu, Dimas dan Tiffany duduk di sofa panjang dan di hadapan mereka tampak Aji tengah menyeruput kopi kesukaannya. "Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa papa menyuruh datang hari ini. Entah berapa lama lagi, papa hidup. Tapi, bisakah kalian memberi papa kesempatan untuk bahagia?" tanya Aji, seraya meletakkan kacamatanya di atas meja. Tiffany langsung mendekat dan mengusap-usap pundak Aji. "Papa jangan bicara begitu, Fany jadi sedih," ujar nya sembari kepalanya menyender ke bahu Aji. Aji mencium puncak kepala Tiffany, "papa nggak akan bisa berlama-lama lagi menjaga kamu, Nak. Tapi, sebelum papa pergi, papa ingin kalian mewujudkan permintaan terakhir papa." "Apa itu, Pa?" tanya Fany dengan wajah sendu. "Papa ingin melihat cucu papa," jawab Aji dengan gamblang. Sontak perkataan Aji membuat Tiffany dan Dimas saling berpandangan. Seolah memberi kode apa yang akan mereka jawab akan permintaan Aji. "Tapi, kan kami baru menikah Pa. Jadi, kalau belum dikasi sama yang di atas ya mau bagaimana lagi?" Tiffany mencoba meyakinkan Aji. Dimas termangu dengan jawaban bijak Tiffany. "Manusia hanya bisa berusaha, Allah yang menentukan, Pak," timpalnya. Aji mengangguk, "kuharap secepatnya," jawabnya singkat. Hari semakin larut, mereka pun menghabiskan makan malam di rumah Aji. Setelah selesai, Tiffany dan Dimas pun pamit pulang. Motor melaju, Tiffany memberi jarak di antara mereka. Ia memegangi gagang yang terletak di belakang kursi motor. "Di saat seperti ini. Papa masih sempat-sempatnya membahas tentang cucu," gumam Tiffany. Dimas tersenyum, "sebenarnya bapak ingin melihatmu memiliki keluarga yang utuh dan bahagia sehingga-" "Sudah deh, jangan ngaco. Selama bersamamu, aku nggak akan pernah bahagia. Tahu nggak!" Mendengar jawaban kasar Tiffany, Dimas memilih diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD