Kejadian Di Rumah Sakit

720 Words
Tiffany terus menggerutu kesal dalam hati. Sedari tadi ia sibuk membolak-balikkan majalah fashion. Kipas berukuran sedang, ia biarkan mengibas-ngibaskan rambutnya. Tring! Sebuah pesan mendarat di ponselnya. Nama kontak yang tertera membuatnya bersemangat membuka isinya. Ya, dia lah Miko yang ia rindukan kabarnya beberapa hari ini. Miko-) Maaf baru sempat ngasih kabar. Aku nggak mau ganggu hari-hari bahagiamu. Isi pesan Miko, membuat hati Tiffany teriris perih. Ia mengerti betapa sakitnya hati Miko ditinggal menikah olehnya. Belum lagi tiffany membalas, pesan Miko sudah mendarat lagi ke ponselnya. Miko-) Bisakah kita bertemu sore ini? Tiffany bangkit dari duduknya mencari Dimas yang tak kunjung menampakkan dirinya. Padahal hari ini Dimas belum waktunya libur. Tiffany terus mengetuk pintu kamar Dimas yang tidak memberi jawaban apa pun. Tiffany memegang gagang pintu dan ternyata pintu tidak dikunci sama sekali. Tampak Dimas yang sedang berbaring dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan wajahnya saja. "Hei, bangun," ujar Tiffany. Tak ada pergerakan atau pun suara dari Dimas. Ia masih diam, namun dengan wajah yang mengerut serta napasnya terdengar tidak beraturan. "Hei, Dimas kamu sakit ya?" Tiffany masih terus mendesak agar pria itu membuka suara. Nihil, wanita itu tak mendapatkan apapun dari ekspresi Dimas. Perlahan, Tiffany memegang dahi Dimas. Betapa terkejutnya dia setelah tangannya merasakan sengatan panas dari dahi suaminya itu. Rasa panik mulai menggerogotinya, Tiffany segera menghubungi seorang dokter kenalan yang kebetulan baru dipindah tugaskan tak jauh dari rumah. Tiffany beralih ke dapur mengambil air dingin lalu mengacak lemari, mencari kaus dalam milik Dimas. Ia mengompres dahi Dimas. Sesekali mata Dimas terbuka, tampak sayu dan napasnya berangsur pelan. Bibirnya tampak putih pucat dan air mata perlahan menyapu kedua pipinya. "Tenanglah, sebentar lagi dokter Mely tiba," ujar Tiffany seraya merapikan kompresannya di dahi Dimas. Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu membuat Tiffany berlari menghampiri. Dokter Mely yang baru tiba, langsung ditarik olehnya menuju ke kamar Dimas. "Sudah cek suhu?" tanya dokter Mely yang dibalas gelengan kepala oleh Tiffany. Dokter Mely mengeluarkan sebuah termometer yang masih dibalut dengan plastik. Lalu menyerahkannya pada Tiffany. Tiffany memasukkan cek suhu tersebut ke mulut Dimas. Dokter Mely menghela napas ketika termometer menunjukkan 40 derajat celcius. Angka di atas rata-rata suhu orang normal. "Oh, aku hanya membawa beberapa peralatan seadanya. Tapi, aku akan menghubungi ambulance terdekat." Dokter Mely mengotak-atik ponselnya, menghubungi pihak rumah sakit agar mengirim ambulance ke tempat ia berada. Tiffany hanya membisu heran, ia memandangi Dimas yang terlihat lemah. "Sebenarnya dia sakit apa, Dok?" "Saya hanya bisa menduga kalau itu demam tifoid. Semua akan jelas jika kita tiba di rumah sakit nanti." Hanya itu yang keluar dari dokter tersebut. Kini, Tiffany sedang berada di rumah sakit. Bolak-balik menanti kabar tentang Dimas yang masih ditangani oleh dokter. Klek! Pintu terbuka, Tiffany segera mendekat. Dokter tersenyum tipis, tetapi raut wajah itu langsung berubah sendu. "Setelah melewati fase dapat dipastikan bahwa suami anda terkena demam tifoid atau orang umum sering menyebutnya tipes." Kedua mata Tiffany membulat, "jadi, apakah itu parah Dok? Maksud saya apakah penyakit itu berbahaya?" Dokter mengangguk, "ya tidak sedikit orang meninggal karena penyakit ini. Tetapi, saya harap resep yang saya rekomendasikan dikonsumsi dengan baik dan tepat waktu." Seraya memberikan secarik kertas. Tiffany menerima kertas resep tersebut. Ia melirik ke dalam kamar pasien, penasaran kabar Dimas. "Dia sedang tidur pulas, kami menyuntiknya dengan vaksin memberi ketenangan pada tubuhnya yang tadinya tegang," jelas Mely. Tiffany mengangguk mengerti, "baiklah, Dok saya pergi menebus obatnya dulu. Permisi!" Dokter Mely kembali masuk, memeriksa keadaan Dimas. Sekembalinya Tiffany dari apotek, ia mendapati Laura yang kebetulan berada di rumah sakit yang sama. Bukan itu yang membuat Tiffany terkejut. Laura tampak berada di kursi antrian para wanita hamil dan hal itu tentu membuat Tiffany bertanya-tanya. Tiffany terus mengamati sepupunya itu dengan cara bersembunyi. Sementara itu, Laura terus memperhatikan ke sekelilingnya dengan wajah penuh kecemasan. "Untuk apa dia kemari? Om Amir kan dokter juga, kenapa nggak periksa di rumah sakit itu saja?" Tiffany terus bertanya-tanya seraya terus menatap Laura. "Dokter kandungan pula, apa jangan-jangan Laura? Ah nggak mungkin, dia kan nggak punya pacar dan lagipula-" "Pasien Laura...." Seorang suster memanggil Laura untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Segera, Laura pun masuk dan hilang di ambang pintu. Tiffany keluar dari persembunyiannya, pikirannya melayang tentang Laura yang selalu dibanggakan Aji dibandingkan dirinya. Rasanya tidak mungkin kalau Laura hamil mengingat prestasinya yang mengagumkan selama di luar negeri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD