Tiffany masuk ke dalam ruangan tempat Dimas dirawat. Ia dikejutkan dengan Dimas yang sudah duduk dengan jarum selang yang ditancapkan di tangannya.
"Kenapa nggak bilang kalau kamu sakit?" tanya Tiffany dengan nada suara yang sedikit cuek.
Dimas tersenyum, "terima kasih," ucapnya pelan.
Tiffany menatap sendu, tidak tega memarahi Dimas yang terlihat lemah. "Polisi bisa sakit juga ternyata," sindirnya.
"Polisi juga manusia, bukan," jawab Dimas.
Tiffany menghela napasnya, "ya baiklah, berhubung karena kamu sakit. Aku akan merawatmu kali ini, tapi ingat akan ada bayarannya setelah ini," tawar Tiffany.
Dimas tertawa akward, "berapa bayaran yang dibutuhkan oleh putri kaya seperti nona Tiffany?"
Tiffany menatap tidak suka. Tetapi, wanita itu enggan memarahi Dimas yang sedang sakit.
"Mudah saja, cukup menurut jika setiap kali aku bertemu dengan Miko. Kamu tahu lah, aku tidak terima alasan penolakan setiap kali aku meminta izin bertemu dengannya," jawab Tiffany.
Dimas mematung, ia mengalihkan pandangannya. Akan tetapi, segaris senyuman mengurat di wajahnya. "Baiklah, saya akan memenuhinya Nona."
Tiffany tertawa puas, "mau buah?" tanyanya yang langsung diangguki oleh Dimas.
Dimas tak berhenti menatap Tiffany. Tatapannya begitu dalam, dan sangat dalam. Detik itu, ia merasa cemas akan cintanya yang bertambah besar pada Tiffany.
Tetapi, sejenak ia berpikir untuk menyerah saja. Karena ia tidak menemukan celah kasih sayang Tiffany untuk dirinya. Semua tercurah pada Miko, kekasih pujaan Tiffany.
"Akh!" Teriakan Tiffany membuat Dimas tersadar dari lamunannya.
Matanya teralih pada jemari Tiffany yang berdarah ketika mengupaskan kulit buah untuknya.
"Kemarikan jarimu," ujar Dimas seraya menarik jari telunjuk Tiffany yang berdarah. Pria itu menghisapnya, membuat Tiffany tertegun.
"Kamu ini, kok bisa seceroboh ini sih?" Perkataan Dimas membuat Tiffany terkejut. Baru kali ini, ia lihat Dimas terdengar gusar.
Tak berhenti sampai di situ, Tiffany lebih dikejutkan dengan isapan Dimas ke jarinya. Rasa perih yang menggerogotinya tadi seketika menghilang.
"Permisi." Seorang suster mengejutkan pasangan suami istri tersebut.
"Maaf, mengganggu. Saya hanya mau mengingatkan sudah waktunya untuk makan siang. Dan dokter menyarankan untuk tepat waktu tidak terlambat meski hanya sedetik saja," lanjut suster tersebut, lalu menghilang di ambang pintu.
Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. "Aku belikan makan siang dulu ya," ujarnya.
"Tapi, bukannya rumah sakit menyediakan makanan untuk para pasien ya?" tanya Dimas keheranan.
"Ssst makanan rumah sakit itu nggak enak. Aku sudah mengatakannya pada pihak rumah sakit dan mereka tidak mempermasalahkannya asal jangan pesan makanan yang pedas-pedas saja." Tiffany mengotak-atik ponselnya, mencari pemesanan makanan secara online.
"Tapi, aku nggak bawa-"
"Ssst, tenanglah aku sudah membayarnya," potong Tiffany membuat Dimas membelalak.
Dimas terus menatap Tiffany yang sedang menelepon delivery makanan. Lelaki itu bahkan tidak mengedipkan matanya.
Aku tidak tahu bagaimana merebut hatimu. Tapi, yang jelas kamu selalu merebut hatiku dari apapun. Kamu yang terindah yang tidak bisa kumiliki. Batinnya meracau di sela-sela aktifitasnya.
Tiffany sudah selesai berargumen, ia meletakkan ponselnya di atas nakas. Kemudian kembali duduk, "sabar ya, sebentar lagi makanannya tiba. Oh ya, sekarang bagaimana rasanya sudah mendingan belum?"
"Ah...itu, ya aku sudah nggak apa-apa kok," jawab Dimas gugup.
Tiffany terkekeh, "hahaha aku kira kamu sudah...."
"Mati?" Dimas melanjutkan perkataan Tiffany yang terpotong.
"Apaan sih ngomong yang nggak masuk akal begitu. Aku mana rela kamu pergi begitu saja," jawab Tiffany membuat Dimas terkejut.
"Ya, aku sudah menganggapmu teman. Sejenak, aku tersadar bukan seharusnya aku menyalahkanmu atas pernikahan ini." Tiffany menghela napasnya, senyumannya memekar di sela-sela pembicaraannya. "Kamu menerima perjodohan ini karena terpaksa juga, kan. Kamu hanya menghormati almarhum ayahmu dan juga papaku. Harusnya aku berterima kasih, aku malah membencimu tanpa alasan, padahal kita berdua sama-sama korban perjodohan. Hahah...aku jahat banget ya."
Dimas menatap sendu, sebenarnya lelaki itu ingin sekali menyatakan perasaannya. Namun, rasanya tidak mungkin seorang Tiffany akan menerimanya begitu saja.
"Ayo kita berteman."Tiffany mengulurkan tangannya.
Dimas menatap tangan Tiffany yang mengacung di hadapannya dan kembali menatap kedua mata Tiffany yang terlihat bersungguh-sungguh.
"Aku janji akan menjadi teman baikmu," ujar Tiffany.
Dimas mengangguk lalu membalas uluran tangan Tiffany.
"Permisi." Seorang pria delivery makanan membuat uluran tangan mereka terlepas.
"Makanannya sudah sampai. Terima kasih ya, Pak," ucap Tiffany seraya menerima bungkusan makanan tersebut.
Tiffany meletakkan bungkusan tersebut di atas meja. Tiba-tiba tangan Dimas menyentuh tangannya. "Bolekah aku meminta tolong?" tanya nya dengan suara serak.
Tiffany berbalik, "ya, mau minta tolong apa?"
"Aku merasa tanganku sedikit kaku dan-"
"Hahaha...baiklah aku akan menyuapimu temanku yang sedang sakit," potong Tiffany sambil tertawa. Dimas tersenyum lega.
Tiffany membuka bungkusan makanan tersebut, "dengar ya, apapun yang kamu inginkan katakan saja. Jangan malu-malu, aku akan melakukan apapun untukmu. Karena aku ini temanmu," ujarnya.
Dimas menunduk 'apakah itu berlaku untuk perasaanku padamu? Bisakah kamu mencintaiku?'