Pagi itu Dimas bangun pagi-pagi seperti biasa. Selesai shalat shubuh, ia keluar dari kamar hendak memasak. Tetapi, tiba-tiba...
"Akh...."
Suara Tiffany mengejutkannya, pria itu bergegas berlari ke dapur.
"Kenapa?" tanya nya mendapati Tiffany sedang terjatuh.
"Tadinya aku berniat menggoreng ikan untuk makan hari ini. Tapi, aku gagal," jawab Tiffany dengan suara memelas.
Dimas tertawa, membuat Tiffany sedikit jengkel, merasa diejek. "Sudahlah, kamu duduk di sana biar aku yang menyiapkannya." Berjalan mendekati kompor yang menyala dan di atasnya kuali dengan ikan yang hampir gosong.
Tiffany yang sudah terlanjur penasaran pun menghampiri. "Kamu nggak takut kalau minyak itu muncrat ke wajahmu?" tanyanya dengan tatapan serius.
"Kalau takut ya, tinggal ditutup selesai kan." Dimas memperagakan apa yang dikatakannya.
Tiffany mengerucutkan wajahnya, "tapi kamu kok nggak menutupnya?"
"Karena aku nggak takut," jawab Dimas membuat Tiffany kesal.
Dimas tertawa melihat ekspresi wajah Tiffany. Tiffany menatap lekat wajah Dimas yang tak berhenti tertawa.
Kalau diperhatikan dia ini tampan juga. Wajahnya begitu bersih dan suaranya juga lembut. Kalau dibandingkan dengan Miko, dia lebih...eh Miko gimana kabarnya.
Tiffany segera beranjak masuk ke dalam kamar, mengambil poselnya. Dan benar saja, rentetan pesan Miko menumpuk di ponselnya.
Tiffany segera menghampiri Dimas. "Hei, malam ini Miko mengajakku ketemuan."
Perkataan Tiffany membuat raut wajah Dimas berubah sendu.
"Kamu bisa kan menemaniku?"
Dimas mengangguk pelan, terlihat pasrah dengan keadaan. Tiffany melompat-lompat kegirangan. Dimas hanya bisa diam menanggapi punggung Tiffany yang perlahan menjauh.
Di jalan raya, tampak Simson yang mencari sosok Dimas. Jalannya terhenti ketika kedua matanya menangkap Dimas yang sedang melamun di bawah pohon yang terletak di belakang pos.
"Woi! Kau ini, aku cari ke sana kemari ternyata mengkhayal lagi. Kalau masih sakit jangan dipaksalah. Kenapa lagi dengan kau, istrimu lagi?" tanya Simson seraya membuka topi dinas nya.
Dimas mengusap-usap wajahnya. "Simson, apa aku salah mencintai istriku sendiri?"
"Bah! Pertanyaan apa itu? Tentu tidaklah ah ada-ada saja kau ini. Justru bagus kalau kau suka istri kau sendiri tapi kalau kau bilang istri tetangga, itu sudah jelas salah kawan." Simson menggeleng-gelengkan kepalanya merasa heran dengan sikap Dimas yang kian hari menjadi pendiam karena biasanya dia adalah sosok yang paling periang diantara anggota kepolisian lainnya.
"Sudahlah kau jangan beri aku pertanyaan gila kayak gitu. Aku yakin si Tiffany itu pasti suka kau suatu hari, orang ganteng, baik dan juga sholeh perempuan gila pun bisa suka sama kau." Menatap Dimas dengan serius.
Mereka pun tertawa bersama menanggapi perkataan Simson barusan.
Kau bahkan akan merasa aku lebih bodoh lagi jika tau aku menemani istriku sendiri menemui kekasihnya. Batin Dimas.
Malam tiba, Dimas baru saja menyelesaikan kewajibannya sebagai hamba yaitu shalat isya. Ia lalu bangkit mempersiapkan diri untuk tugas selanjutnya yaitu menemani Tiffany bertemu dengan Miko.
Dimas keluar dari kamar, dengan penampilan sederhananya namun tidak melunturkan wajah tampannya. Dimas bergegas ke dapur mengambil segelas air putih lalu kembali ke ruang tengah menunggu Tiffany.
Ia menatap pintu kamar Tiffany yang terkunci rapat. Wanita itu tak kunjung menampakkan diri, mungkin sedang berdandan atau...ntahlah.
Baru saja pria itu meneguk minumannya, tiba-tiba...
"Dimas."
Byurrr!
Melihat penampilan Tiffany membuat Dimas tersedak dan air yang diminumnya tersembur keluar.
"Maaf mengagetkanmu. Bisa bantu aku, kancing kan resletingku? Tanganku nggak sampai," ujar Tiffany
seraya menunjukkan resleting pakaian mini nya.
Dimas menatap lekat punggung mulus Tiffany.
Gluk!
Ia menelan salivanya, tangannya bergetar menyentuh resleting tersebut.
"Kenapa diam? Kita nggak banyak waktu lagi. Aku mau memberi Miko kejutan sebelum dia sampai di sana." Perkataan Tiffany membuat Dimas bergerak cepat. Wanita itu pun berbalik, "terima kasih, ayo kita pergi," ucapnya seraya berjalan keluar.
Dimas berjalan pelan, aroma vanila dari tubuh Tiffany menyeruak ke indra penciumannya.
"Tunggu sebentar," ujar Dimas membuat Tiffany berhenti.
"Kenapa?" tanyanya keheranan.
"Pakailah ini," jawab Dimas seraya menutupi tubuh terbuka Tiffany dengan jaket miliknya.
Tiffany memakai jaket tersebut. "Kamu takut ya orang-orang mengucilkanmu karena pakaianku."
Dimas menggeleng, "aku cuma nggak mau perutmu kembung," jawabnya dengan tatapan penuh arti.
Tiffany tertegun dan sedikit salah tingkah.
"Naiklah, jangan biarkan Miko mendahului kita," ujar Dimas membuat Tiffany menghampirinya, lalu naik ke atas motor.
Motor pun melaju, sesekali Tiffany menyentuh tubuh Dimas membuat pria itu terkejut.
"Maaf, aku nggak terbiasa naik motor." Tiffany yang mengerti situasi langsung memberi penjelasan.
"Nggak apa-apa, kamu bisa memeluknya tapi kalau kamu nggak mau aku...akan-"
"Terima kasih," jawab Tiffany seraya memeluk pinggang Dimas.
Dimas menelan ludahnya, ia merasa saat ini waktu berpihak padanya.
"Hotel Merlion, ya," ujar Tiffany.
Kedua mata Dimas membola. Namun, perlahan ia mengangguk pelan 'mengiyakan.'
Motor melaju kencang hingga mengantarkan mereka ke tempat tujuan yaitu *Merlion Hotel*
"Kamu pulanglah dulu, mungkin aku pulang tengah malam." Tiffany mengembalikkan jaket milik Dimas.
Dimas menggelengkan kepalanya, "aku akan menunggumu di sini," jawabnya.
"Nanti Miko melihatmu, tolonglah aku nggak mau Miko berpikiran macam-macam tentang kita, please...." Tiffany menggenggam tangan Dimas, berharap pria itu mengiyakan dan cepat pergi dari sana.
Dimas mendesah, "baiklah kalau begitu, jaga dirimu." Dimas menatap dalam, tangannya menyentuh lembut wajah Tiffany. Tiffany mengangguk, Dimas pun beranjak pergi.
Tiffany menatap Dimas yang berangsur menjauh, barulah ia berbalik beranjak masuk ke dalam hotel.
"Kamar atas nama Sarmiko Justin," ujar Tiffany.
"Oh, dengan Tiffany Sudrajat?" tanya resepsionis hotel.
Tiffany mengangguk, resepsionis itu memberikan kartu duplikat kunci kamar Miko. Tiffany tersenyum dan berlalu pergi.
Tiffany sangat bersemangat menyusuri lorong-lorong melewati kamar-kamar kemudian memasuki lift. "Tunggu aku sayang, kupastikan papa pasti akan segera menyetujui hubungan kita," gumam Tiffany, seraya menggenggam sebuah pil.
Lift terbuka tepat di lantai 7, Tiffany keluar dengan wajah riangnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika Laura dan Miko sedang berbincang di depan kamar.
"Mau sampai kapan kamu menghindar, Miko?" tanya Laura.
Miko merobek kertas yang baru saja Laura berikan padanya. "Tidak, aku tidak percaya. Dia bukan anakku," jawab Miko berkilah.
Kedua mata Tiffany memelotot dan berkaca-kaca. Mulutnya yang sontak menganga ia tutupi dengan kedua tangannya.
"Kita melakukannya atas dasar suka sama suka, bukan?" Laura mengumpulkan robekan kertas yang Miko lemparkan ke wajahnya.
"Laura, aku tidak pernah mencintaimu. Dan kau tahu kalau aku dan Tiffany saling mencintai. Jangan berharap lebih Laura!" teriak Miko.
Laura terisak ia memaksa bangkit sembari memegang perutnya. "Bagaimana dengan bayi ini?"
"Gugurkan saja!"
Jawaban Miko membuat Tiffany terperanjak. Ia tidak menyangka seseorang yang dicintainya itu adalah b******n yang tidak punya tanggung jawab.
Laura mengusap air matanya, "baik, tapi ingatlah aku akan mengatakan kalau kau sebenarnya mengincar harta om Aji dan berniat membalas dendammu karena ibumu masuk rumah sakit jiwa karena cintanya yang ditolak."
Miko menarik rambut Laura lalu meremas dagunya, "kalau itu sampai terjadi, tak hanya kau aku akan membunuh semua anggota keluargamu. Kau camkan itu!" Laura mengangguk, tubuhnya bergetar ketakutan.
Miko menyunggingkan senyumannya. "Dilihat dari apa pun, Tiffany jauh lebih baik darimu. Cantik, manja dan dia lebih kaya. Hahaha...tak kusangka dua saudara memperebutkan aku." Tertawa bangga.
Laura meringis kesakitan, sementara itu Tiffany langsung bergegas pergi dari sana. Ia terus berlari hingga keluar dari hotel.
Di bawah derasnya hujan, Tiffany menjatuhkan tubuhnya. "Kenapa? Kenapa waktu nggak pernah adil untukku? Katakan, apa aku punya salah di masa lalu?"
Tiffany menangis sejadi-jadinya, tiba-tiba seseorang memayunginya.
"Maaf, aku datang terlambat. Kamu sudah terlanjur basah, kenapa keluar? Apa Miko belum datang?" Dimas menutupi tubuh Tiffany dengan jaket miliknya.
Tiffany memeluk tubuh Dimas. "Bawa aku pulang. Sekarang!"