Cuaca yang mendung mengiringi suasana pemakaman Indah, kakak dari Fifi yang meninggalkan banyak kenangan dari orang-orang yang di tinggalkannya.
Davina, anak dari Indah dan juga Raihan pun sedari tadi terus menangisi kepergian Mamanya. Fifi sebagai tante dari Davina pun merangkul dan memberikan kekuatan kepada anak itu agar bisa menerima jalan takdir dari Tuhan ini.
Gundukan tanah dengan nisan yang bertulisan Indah Amalia itu sekarang menjadi tempat peristirahatan dan pemberhentian terakhir dari perempuan tersebut.
"Mama ..." panggil Davina dengan tangisnya yang terdengar sangat pilu bagi siapa saja yang mendengarnya.
Fifi yang melihat sang keponakan pun mencoba menahan air matanya yang ingin meringsek keluar. Bahkan Raihan, Papa dari Davina mencoba terlihat tegar di hadapan sang anak walaupun sebenarnya hati lelaki itu sangat hancur karena di tinggalkan oleh orang yang di cintainya.
"Sayang, sudah ya. Kita ikhlaskan Mama. Biarkan Mama tenang di atas sana. Kalau Davina seperti ini, Mama di atas sana akan sangat sedih. Davina harus belajar mengikhlaskan Mama. Mama sudah bahagia di sana dan Mama sudah tidak merasakan sakit lagi, Mama sudah sembuh. Jadi, mulai sekarang Davina dan Papa harus bisa belajar mengikhlaskan Mama. Walaupun Mama sudah tidak bersama dengan kita lagi, tapi Mama akan selalu ada di hati Davina dan juga Papa" ucap Raihan dengan sangat lembut.
Semua orang yang mendengar penuturan Raihan pun hanya bisa terdiam. Mereka tau beratnya ketika orang yang setiap harinya bersama, apalagi orang tersebut pergi untuk selama-lamanya pasti rasanya akan terasa sangat menyakitkan. Sebagai manusia kita hanya bisa berencana dan selanjutnya Tuhan lah yang mengatur semuanya, baik itu rezeki, jodoh dan juga maut.
Satu persatu orang-orang pun mulai meninggalkan tempat pemakaman tersebut. Dan sekarang di tempat itu hanya tersisa Fifi, Raihan dan juga Davina.
"Davina sayang ayo kita pulang" ajak Fifi.
Gadis tersebut pun langsung menatap ke arah sang tante dengan tatapan sendunya dah menghampiri perempuan tersebut lalu memeluknya erat.
Fifi pun membalas pelukan tersebut dan mengelus pelan punggung sang keponakan. "Mafi tau Davina sedih karena kehilangan Mama. Mafi pun sama sedihnya seperti Davina. Boleh sedih, tapi kita jangan terlalu larut dalam kesedihan itu. Yang namanya manusia pasti akan ada saatnya kita juga akan pergi sama seperti Mama dan kita hanya tinggal menunggu waktu itu kapan tiba. Davina gak sendirian di sini, masih ada Papa, Mafi, kakek, nenek, oma dan opa yang sayang sama Davina. Kalau Davina kangen sama Mama, Davina bisa berkunjung ke sini kapan pun Davina mau dan memberikan doa kepada Mama. Jadi, sekarang Davina harus belajar menerima semua ini dan mencoba mengikhlaskan Mama. Davina mau kan?"
"Davina mau belajar untuk mengikhlaskan kepergian Mama, Mafi" jawab Davina pelan.
Fifi yang mendengarnya pun tersenyum kecil. "Sekarang kita pulang ke rumah dan nanti kita akan berkunjung ke sini lagi."
Davina pun menganggukan kepalanya dan kemudian menatap sang Papa. "Papa, ayo kita pulang."
"Davina sama Mafi dulu. Tunggu Papa di parkiran ya. Papa mau ngomong sebentar sama Mama" ucap Raihan.
Fifi yang mengerti pun langsung mengajak sang keponakan dan meninggal lelaki itu sendirian di sana.
Tangan Raihan pun menyentuh dan mengelus nisan yang bertuliskan nama istrinya itu. "Sayang, meskipun kamu sudah tidak bersama-sama dengan mas lagi, kamu akan selalu ada di dalam hati mas yang paling dalam. Terima kasih sudah menghadirkan kamu dalam versi kecil ke dalam rumah tangga kita. Mas, pamit. Mas akan selalu mengunjungi rumah peristirahatan kamu."
Setelah mengatakan itu, Raihan pun meninggalkan tempat pemakaman tersebut dengan langkah yang sedikit berat.
Raihan yang melihat adik ipar dan juga anaknya yang sedang menunggu di depan mobil pun menghampiri keduanya.
"Ayo pulang ..."
Mobil yang berwarna putih itu pun melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan pemakaman tersebut.
*****
Kini di rumah bertingkat dua, tepatnya di ruang tamu tengah berkumpul beberapa orang dengan wajah mereka yang terlihat serius. Mereka adalah orang tua Indah dan Fifi, orang tua Raihan, Fifi serta Raihan.
"Raihan ...." panggil Ayah Dimas.
Lelaki itu pun langsung menatap ke arah sang mertua yang memanggilnya.
"Kita semua di sini tau wasiat terakhir dari Indah yang menginginkan kamu menikah dengan Fifi. Ayah ingin menanyakan untuk yang terakhir kalinya. Apa kamu memang benar-benar setuju untuk menikahi Fifi?" tanya Ayah Dimas.
Raihan yang awalnya terdiam itu pun menghela nafasnya berat. "Raihan setuju untuk menikahi Fifi, Yah."
"Papa sama Mama setuju jika kamu menikah dengan Fifi. Tapi, Papa dan Mama harap kamu bisa menerima Fifi sama seperti kamu menerima Indah di dalam hidup kamu dan di dalam rumah tangga kalian nanti" sahut Papa Raihan yang bernama Panji.
"Fifi ..." panggil Ayah Dimas pada sang anak yang sedari tadi terdiam.
"Apa kamu juga setuju dan menerima Raihan menjadi suami kamu?" tanya Ayah Dimas.
"Fifi rasa, Fifi gak bisa menikahi kakak ipar Fifi sendiri, Yah" jawab Fifi. "Fifi tau hal seperti ini bisa saja di lakukan. Tapi, Fifi gak mau mengkhiati kakak Fifi sendiri. Dengan Fifi menikahi kak Raihan, sama saja Fifi mengkhiati kak Indah karena menikahi suaminya" lanjutnya.
"Kamu tidak mengkhiati Indah, Fifi. Itu adalah keinginan kakak kamu sendiri yang menginginkan kamu untuk menikahi suaminya" sahut Papa Panji.
"Bukannya kamu mendengar sendiri jika itu adalah permintaan kakak kamu sendiri, Fi? dan kamu juga menyetujui kan saat itu?" timpal Ayah Dimas.
"Fifi memang mengiyakan permintaan kak Indah saat itu. Fifi menerima itu karena Fifi gak bisa melihat wajah memohon kak Indah, Yah. Bagi Fifi, menikahi kakak ipar sendiri adalah hal yang tabu, terlepas itu di perbolehkan" jelas Fifi.
"Jadi, kamu menolak permintaan terakhir kakak kamu?" tanya Ayah Dimas dengan helaan nafas beratnya.
"Fifi sudah bilang, jika Fifi menikahi kak Raihan, sama saja Fifi mengkhiati kak Indah, Yah" jawab Fifi yang masih kekeh dengan jawabannya.
"Menikahlah dengan saya, Fi" ucap Raihan yang sedari tadi terdiam.
"KAK!" pekik Fifi tertahan.
"Kamu mendengar sendiri jika Indah menginginkan kita untuk menikah. Itu permintaan terakhir dari Indah sebelum dia pergi meninggalkan kita semua. Apa kamu mau Indah di atas sana kecewa dan juga sedih karena permintaan terakhirnya tidak di wujudkan? Apa kamu mau kakak kamu di atas sana menjadi tidak tenang karena kamu menolak permintaanya? Ini memang tidak mudah bagi kita berdua, Fi. Tapi, apa kamu tidak ingin merimanya, Fi? Demi Indah, kakak kamu" ucap Raihan.
Fifi yang mendengar semua ucapan dari kakak iparnya itu sontak terdiam. Apa kakaknya akan kecewa kepada dirinya? Apa kakaknya akan bersedih di atas sana? Apa kakaknya tidak akan tenang jika permintaan terakhirnya di tolak? Tidak. Fifi tidak ingin kakaknya di atas sana kecewa dan bersedih, apalagi jiwanya sampai tidak tenang di sana. Fifi hanya ingin kakaknya pergi dengan tenang dan bahagia di atas sana. Apakah dengan mengabulkan permintaan terakhir tersebut, kakaknya akan bahagia? Jika memang dengan mengabulkan permintaan itu akan membuat kakaknya bahagia, maka dengan hati yang berat dia harus mengabulkan permintaan terakhir tersebut.
Lama terdiam, Fifi lalu menatap semua orang yang berada di depannya. "Baik, Fifi setuju untuk menikah dengan kak Raihan."
Jawaban dari Fifi membuat empat orang paruh baya yang berada di sana menghela nafas lega.
"Berarti, secepatnya kita akan melaksanakan pernikahan antara Fifi dan juga Raihan" sahut Papa Panji yang di angguki oleh yang lain, kecuali dua orang yaitu Fifi dan Raihan.