4. Ranjang hotel

1118 Words
Satu bulan sudah berlalu, pernikahan Airra dengan mas Arief sudah berjalan tiga bulan. "Mas ... kamu benar pulang sekarangkan?" tanya Airra sembari memegang ponselnya. "Foto tiketnyakan sudah ku kirim, tunggu aku di hotel kita limpahkan seluruh kerinduan disana ya, selamat malam Airra," ujar Arief yang saat ini berjalan ke arah pesawat yang sebentar lagi akan lepas landas. Saat itu Airra sangat bersemangat ia tak ingin menunggu waktu lama, ia segera mengirim pesan kepada Arief mengatakan bahwa ia akan pergi ke hotel itu duluan dan menunggunya di sana. Di penerbangan, Arief sama sekali tidak mengecek ponselnya serta segera mematikan ponselnya. Nomor kamar hotel unit 32, Airra menggesek kartu hotel itu dan segera masuk lalu terlentang di ranjang yang sebentar lagi akan ia nikmati bersama sang suami tercinta. "Huftt ... Mas Arief, kau lihat seberapa rindunya aku," gumam ria Airra mengelus-elus ranjang yang terasa lembut. "Dan lagi, aku juga harus memberitahu Mas Arief sesuatu, tak sabar melihat wajah senangnya," fikir Airra. Keesokkan pagi harinya Arief sampai, setelah membuka ponsel ia segera menuju ke hotel yang Airra beritahu. Arief sedikit tersenyum ia mendapat beberapa kali telephone tak terjawab dari Airra. Dengan atas nama Arief Hadyanandira, ia di berikan kartu unit 32, pada resepsonis yang sudah mengecek data yang di berikan Arief sama dengan yang ada di laptop. "Airra, dia memang selalu bersemangat dari dulu tubuh ini sungguh tak kuasa ingin segera memeluk mu," Arief berdiri di depan pintu kamar hotel unit 32 itu. Baru saja sesaat Arief ingin membuka dengan kartu, pintu itu sudah terbuka sendiri. Awalnya Arief menganggap Airra sangat teledor, Arief masuk menaruh kopernya di dekat bibir pintu. "Airra, Mas pulang," ucap hangat Arief. Seketika tatapan hangat Arief berubah menjadi tatapan kecewa serta keluarnya aura marah yang meluap-luap. Di saat kepulangannya untuk melihat sang istri tercinta, ia malah di sambut dengan melihat Airra yang saat ini hanya memakai pakaian celana pendek serta tantop. Yang paling lebih celaka, di sana berada ayahnya yaitu Garna sedang memegang kedua lengan Airra. Posisi Airra dan Garna saat ini membuat Arief stres, dari dulu ayahnya memang seorang pleyboy semenjak meninggalnya ibu Rikki yang adalah istri haram namun ia wanita pertama yang dinikahi Garna. Duk ... duk, suara langkah cepat Arief menghampiri Airra. "Apa yang kalian habis lakukan!" geram Arief menatap sengit Airra dan Garna. Arief menatap tajam ayahnya, di fikirannya saat ini muncul berbagai macam jawaban dari pertanyaannya sendiri. Plak ... tepisaan tangan Arief melepaskan pegangan ayahnya yang saat ini memagang lekat lengan istrinya. "Airra! katakan kenapa kau hanya memakai pakaian terbuka? apa yang baru saja kau lakukan pada Ayah ku!" terbesit fikiran aneh muncul dalam benak Arief. Airra hanya terdiam tak menjawab peryanyaan mas Arief, entah mengapa Airra terlihat sehabis syok berat di sertai badannya terus saja bergemetar. "Jangan-jangan, kalian habis melakukan itu?" Arief berkata sembari menatap Airra dengan sedikit senyum pahit di wajahnya. Dugaan senonoh Arief membuat perasaan Airra terluka, perasaan tersayat serta tak menduga perkataan jorok yang tak mungkin nyata malah di katakan Arief di saat keadaan Airra yang bahkan Arief tak menanyakan keadaannya sama sekali. Tamparan Airra melayang tepat di wajah Arief, entah mengapa sehabis menampar Airra merasakan penyesalan pada dirinya. "Mas ... maaf, sini coba aku lihat," panik Airra segera mengulurkan tangannya kewajah Arief. Arief menepis dengan kasar tangan Airra, ia memegang wajahnya yang habis di tampar lalu menatap Airra. "Bagus, setelah aku menangkap basah mu aku mendapat tamparan ini, tak menyangka sifat asli mu sangat lah buruk Airra," Arief menatap Airra dengan penuh rasa kecewa. Semenjak kejadian itu Arief sering bertengkar dengan ayahnya Garna, perkelahian mereka diikuti sertai fisik atau saling melukai. Nadira mencoba melerai bahkan Binar pun selalu ada di dalam pertengkaran itu, anehnya ia yang selalu berada di sisi mas Arief. Malam hari di kamar Arief dan Airra. Arief mendapat beberapa tonjokkan, membuat pipi wajahnya memerah. Arief sama sekali tak mengajak Airra berbicara, namun masih tetap membuat Airra berada di sisinya walau dengan cara mengurungnya. "Mas, biar aku bantu obati ya?" ucap lembut Airra dengan membawa kotak obat di tangannya. Arief terdiam, ia hanya duduk di lantai depan kasur dengan tatapan kosongnya. Walau tidak mendapat ijin Airra tak tahan melihat suaminya terluka, ia segera mengobati luka memar itu. Arief pun menatap wajah Airra, seketika tatapannya menjadi sayu, ia mulai menarik Airra ke pangkuannya, sembari meraba bagian punggung Airra. "E-eh Mas? aku obati dulu ya luka mu bisa saja membekas nanti," ucap Airra terdengar merasa tidak nyaman. Arief agak kesal mendengar hal itu, ia segera mendekatkan wajahnya ke dekat leher Airra lalu berbisik. "Kenapa? apa karena tubuh Ayah ku lebih b*******h? Airra mata mu buta ya? aku kurang dimana?" celetuk Arief sembari mencium leher Airra. Airra sebal akan perkataan Arief, ia segera menjauh dari Arief, perkataan Arief sangat lah membuatnya marah. Setiap hari Airra dan Arief selalu bertengkar, Arief selalu memaksa Airra untuk mengakui apa yang sebenarnya terjadi di dalam hotel. Namun, jawaban Airra selalu saja sama karena memang itu lah kebenarannya. "Katakan Airra! jika kau menjawab jujur, aku juga akan memaafkan mu, kumohon jujur ya," ucap frustasi Arief memegang wajah Airra dengan penuh harapan. "Sudah ku katakan berapa kali sih Mas, tidak ada yang terjadi," sahut tegas Airra segera menjawab Arief. Arief tak percaya perkataan Airra, tak mungkin tak terjadi apa pun pada istrinya serta ayahnya hari itu. "Jika kau tak ingin mengaku, aku sendiri yang akan membuat pria tua itu mengaku!" Arief dengan nada marahnya berjalan cepat ke luar dari kamarnya. Lagi-lagi akan terdengar pertengkaran hebat antara Arief dan ayahnya Garna di dalam rumah, yang bisa terjadi lima kali dalam sehari. "Dasar orang tua b******k! katakan yang sejujurnya!" teriak Arief dengan menarik tengkuk Garna. "Anak kurang ajar! berhenti menjadi gila, itu akan mempengaruhi kondisi kesehatan istri mu nanti," sahut Garna mencoba melepaskan tarikkan putranya. Arief semakin marah mendengar ayahnya yang malah memperdulikan kondisi istrinya yaitu Airra, satu pukulan mengarah ke arah perut Garna membuat Garna terjatuh ke lantai. Arief kembali ingin memukul Garna, seketika terhenti ketika Airra memeluk Arief dari belakang. "Sudah Mas sudah! kumohon ini sudah cukup, huhuhu," tangis Airra berhasil menghentikan Arief. Saat itu juga Binar serta Riki dan Nadira ada di sana, Rikki mencoba membangunkan Garna. "Pergi dari sini, jika kau tak ingin mati di tangan anak mu sendiri Pak tua!" geram Arief menatap benci ayahnya. Setelah kejadian itu ayah Arief pergi kembali ke Amerika, dan Airra di kurung di dalam rumah kediaman Arief tanpa di perbolehkan bicara dengan yang lain. "Ibu ... aku sudah menyiapkan makanan ibu ingin makan? biar Airra ambilkan," ucap Airra dengan wajah sedikit pucatnya. "Tak tahu malu, seharusnya kau juga ikut pergi ... bagaimana bisa bersuami dengan Anaknya lalu memiliki hubungan dengan Ayahnya!" celetuk Nadira segera meninggalkan Airra. Airra menangis, pernikahan yang sempat Airra rasakan hangat seketika berubah menjadi sedingin besi yang membeku karena satu kejadian kesalapahaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD