Satu jam setelah pertemuan yang mengesankan itu, Mark Adrian masih berdiri di balik jendela besar ruangannya.
Ia sudah minta lagi dibuatkan kopi. Ini sudah kedua kalinya ia minta Erlita mengantar kopi ke ruangannya.
Tapi kini setelah sepuluh menit berlalu, kopi espresso-nya sudah dingin, tidak tersentuh.
Pikirannya tidak lagi tertuju pada pekerjaan yang sedang ia lakukan, melainkan pada gadis muda yang baru saja pergi, Erlita.
Ia berjalan ke pintu, membukanya sedikit, lalu berhenti di ambang. Dari sudut pandangnya, ia bisa melihat area pantry dan bangku tempat para staf berkumpul.
Di sana, di tengah keramaian, ia melihat karyawan baru itu, Erlita sedang tertawa.
Tawa itu renyah, seperti bunyi lonceng perak. Itu adalah tawa yang lepas dan nyata, sangat kontras dengan lingkungan kantor yang kaku.
Ia sedang mengobrol dengan seorang staf muda lain—seorang pria yang berjaket hoodie abu-abu, mungkin staf IT.
Pria itu menyentuh bahu Erlita dengan akrab, dan Erlita hanya membalasnya dengan senyum lebar yang membuat wajahnya berseri.
Melihat pemandangan itu, sepotong es dingin menusuk d**a Mark. Rasanya seperti cemburu yang tiba-tiba, liar, dan tidak masuk akal.
Ia, Presdir Mark Adrian, penguasa Finance Corp, merasa tak suka oleh sentuhan seorang staf biasa pada office girl-nya.
"Sial," desisnya pelan, tangannya mengepal erat di sisi pintu.
Ia baru bertemu Erlita, dan perasaan posesif ini sudah begitu kuat, mengikis lapisan kontrol dirinya yang biasa.
Tepat pada saat itu, ponsel di saku jasnya bergetar, memutus rantai pikirannya yang berbahaya. Ia menarik ponselnya, dan melihat nama yang terpampang di layar, Sandra, istrinya.
Suara dering telepon itu terdengar seperti alarm, menariknya kembali dari lorong gelap gairah terlarang ke kenyataan yang dingin dan terikat.
Mark menarik napas panjang, menenangkan debaran aneh di dadanya. Ia harus kembali menjadi Tuan Adrian yang sempurna, suami yang baik, dan seorang Presdir yang terkendali.
Ia melangkah keluar dari ruangan, menjauh dari pemandangan Erlita yang sedang tertawa, dan mengangkat telepon.
"Halo, Sayang," ujar Mark, suaranya kembali datar dan profesional, sama sekali tanpa jejak gairah yang ia tunjukkan pada Erlita beberapa saat lalu.
"Mark? Syukurlah kamu mengangkatnya. Kamu di mana, Sayang? Aku baru saja bertemu dengan Nyonya Rekha di arisan sosialita, dan dia menanyakan tentang jamuan amal akhir bulan kita," suara Sandra terdengar smooth dan menuntut dari seberang.
Mark menyandarkan bahunya ke dinding marmer, memejamkan mata sejenak. "Aku di kantor. Ya, jamuan itu. Kita akan bicarakan nanti malam. Aku sedang sibuk."
"Sibuk? Jangan lupa, Mark. Semua orang mengharapkan kita hadir sebagai pasangan yang sempurna. Dan Mark..." Suara Sandra menjadi sedikit lebih tajam. "...Aku berharap kamu tidak terlalu fokus pada 'pekerjaan' hingga melupakan kita. Kamu tahu, desas-desus di luar sana sangat cepat menyebar."
Desas-desus. Kata itu menghantam Mark. Desas-desus tentang apa? Tentang dirinya dan Feby? Tidak mungkin.
Ia membuka mata. Pandangannya secara otomatis menyapu ke area pantry. Erlita sudah tidak ada di sana. Ruangan itu terasa kosong.
"Aku tahu, Sandra. Aku akan pulang tepat waktu," janji Mark, sebuah janji yang terasa kosong baginya sendiri.
Ia menutup telepon. Kembali ke kantor, Mark menatap foto dirinya bersama Sandra yang terbingkai mewah di mejanya.
Mereka tampak bahagia, pasangan yang serasi. Sebuah ikatan yang seharusnya tidak ia langgar.
Namun, di benaknya, yang terlintas hanyalah senyum dan tawa seorang gadis yang baru saja ia temui, Erlita.
Padahal mereka baru bertemu tapi gadis itu memiliki sejuta pesona yang membuatnya terbius.
**
Mark pulang menuju ke rumahnya, ia sedang memarkirkan mobilnya saat ia melihat Sandra berdiri menyambutnya pulang.
"Sayang, sesibuk apa dirimu hingga melupakan jamuan makan malam?"
Mark hanya tersenyum tipis, membalas ciuman Sandra di pipinya. Wanita yang ia nikahi ketika usianya masih 20 tahun itu kini tampak dewasa dan penuh pesona.
Putra mereka, Shane sedang berjalan tertatih saat ia masuk ke dalam rumah. Hunian ini cukup nyaman untuk mereka tinggali selama lima tahun ini.
"Aku lelah, pekerjaan dan rapat terus mengekang ku, Sayang. Aku butuh refreshing,"
Sandra tersenyum lalu meraih tangannya dan membantu melepaskan kemejanya.
"Aku tahu, papa seharusnya menyuruhmu untuk mencari asisten pribadi,"
"Untuk apa, Sayang?"
"Supaya kamu tidak terlalu kelelahan dan bisa memiliki banyak waktu dengan kami,"
Sandra merupakan istri yang terbaik yang pernah ia miliki. Selama ini, ia selalu bersikap setia pada wanita itu dan tidak mau melirik siapapun yang mencoba untuk menggodanya.
Namun, satu hari ini ia mulai memutuskan suatu hal yang membuatnya menjadi sedikit terganggu.
Pikirannya tak henti memikirkan seseorang yang menurutnya seharusnya tidak memikirkannya sama sekali.
Sandra telah memilih segalanya bahkan ia merupakan wanita yang sangat cantik dan sangat pengertian baginya. Ia tidak mungkin menyamakan Sandra dengan wanita lain walaupun meskipun seorang wanita muda sekalipun.
Namun, ketika malam tiba, tanpa sengaja seorang manajer di bagian pemasaran menyuruhnya untuk memilih dan menyeleksi beberapa karyawan di pantry.
Salah satunya ternyata adalah Erlita yang ia ketahui usianya masih 20 tahun, sama seperti ketika Sandra bertemu dengannya waktu itu.
Hatinya bergetar dan darahnya berdesir ketika membaca data diri pribadi dari Erlita.
Ia tidak menyangka, jika gadis itu tinggal di sebuah pemukiman yang cukup kumuh.
Ia tersenyum ketika membacanya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, serta mengabaikan data diri pribadi karyawan lainnya.
Kini ia telah memutuskan sesuatu yang menurutnya sangat pantas.