Chilhood 1

1173 Words
        “Aphy...”         .......         “Aphrodite...”         .....         “Aphrodite....”         .....         Seorang gadis kecil tampak gelisah dalam tidurnya. Keningnya mengernyit dalam. Tubuhnya bersimbah keringat dingin.         “Aphy....” Gadis kecil itu terus mendengar suara yang memanggil-manggil namanya dalam tidurnya. Suara yang begitu asing baginya. Namun juga terasa begitu familiar.         “Lari Aphy... Larilah yang jauh...” Suara itu kembali terdengar. Aphrodite semakin gelisah. Keringat terus membanjir dari tubuhnya.         “Larilah nak. Disini sangat berbahaya. Cepatlah lari...” Suara itu kembali bergema. Aphrodite mencoba bereaksi pada suara itu. Namun tubuhnya serasa terkunci, tak bisa bergerak. Dia mencoba berteriak, namun suaranya pun tak mampu keluar.         “Cepat lari Aphrodite...!!!!” Suara itu terdengar sangat khawatir dan ketakutan. Aphrodite mencoba menggerakkan badannya. Namun dia tetap tak bisa bergerak. Dia terus mencoba mengingat siapa pemilik suara itu. Namun tak ada satupun yang melintas dibenaknya. Tapi dia tetap merasa familiar dengan suara itu.         “Lari....”         ......         “Lari...”         ......         Gadis itu semakin gelisah. “Ah..”.... “Ahhh...”         “Ibu...”         “Ibu...”         “IBU....!!!!!!”         Aphrodite tersentak dari tidurnya. Gaun tidurnya sudah basah oleh keringat. Dia terlihat seperti orang linglung.         “Ibu..?” Gadis itu termenung. Namun sedetik kemudian, sebulir air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya. Hatinya terasa perih. Dia mulai terisak. Rasa sakit benar-benar menusuk-nusuk dadanya.         “Ibu? Apa suara tadi suara Ibu?” Rasa rindu yang membuncah tiba-tiba saja menyeruak ke dalam hati gadis itu. Rambutnya yang sudah basah karena keringat dan air mata menempel tak beraturan di kedua pipinya. Penampilannya benar-benar berantakan, namun dia masih terlihat begitu cantik dan menggemaskan.         Brakk!! Pintu kamar Aphrodite tiba-tiba terbuka dengan suara keras. Tampak Ruly, pelayan setia Aphrodite masuk dengan buru-buru. Wajahnya terlihat panik dan khawatir. Dia menghampiri Aphrodite yang terisak dengan wajah penuh air mata.         “Tuan putri, apa yang terjadi?” Tanya Ruly dengan sangat lembut. Dia memandang Tuan Putrinya dengan iba. Ruly sudah menjadi pengasuh Aphrodite sejak bayi. Jadi mereka sangatlah dekat. Ruly yang waktu itu baru berusia sepuluh tahun merasa begitu senang begitu ditunjuk menjadi pengasuh Tuan Putri kerajaannya. Dia memang sudah sangat lama menginginkan seorang adik. Karena dia adalah putri satu-satunya dalam keluarganya.         “Aku bermimpi Ruly...” Jawab Aphrodite di tengah isak tangisnya.         “Apakah mimpi yang buruk tuan putri? Kenapa sampai menangis begini? Baju tuan putri juga basah semua karena keringat.” Ruly merapikan rambut Aphrodite yang menutupi wajahnya dengan tak beraturan.         “Sepertinya... Aku bermimpi tentang... Ibu.” Jawab Aphrodite lirih. Dia sendiri tidak yakin. Karena Aphrodite sekalipun tidak pernah mendengar suara Ibunya maupun melihat wajahnya.         Ruly terkejut mendengar jawaban Aphrodite. Tuan putrinya sekarang sudah berusia enam tahun. Dan sedari lahir beliau tidak pernah bertemu dengan ibundanya. Namun kenapa sekarang tiba-tiba tuan putri bermimpi tentang yang mulia Ratu? Bahkan rupa dan suaranya pun seharusnya tuan putri tidak mengetahuinya.         “Tuan putri... Tapi...”         “Aku tahu Ruly.” Aphrodite memotong perkataan Ruly yang hendak membantahnya. “Aku memang tidak mengetahui seperti apa wajah dan suara Ibu. Tapi... Suara yang kudengar itu terasa begitu hangat dan familiar. Meskipun asing, namun disaat yang sama juga terasa begitu dekat dan penuh kekhawatiran. Dan rasanya... tiba-tiba saja Aku jadi merasa begitu rindu. Aku rindu Ibu, Ruly. Aku sangat rindu...” Aphrodite kembali terisak. Air mata yang sempat berhenti kembali mengucur deras. Dadanya terasa begitu sesak.         Ruly mendekap tuan putrinya ke dalam pelukan. Meski pelayan tidak boleh sembarangan memegang seorang anggota keluarga kerajaan, namun Ruly merupakan pengecualian. Dia sudah terbiasa mendekap dan merangkul tuan putri kecil itu dengan penuh kasih sayang.         “Saya mengerti tuan putri. Tidak apa-apa. Saya akan menemani sampai tuan putri tenang.” Jawab Ruly tanpa melepaskan pelukannya dari sang Putri. Aphrodite terus menangis. Menumpahkan rasa sakit yang membelenggu dadanya. Rasa sesak yang tak henti-henti menghimpit hatinya dia biarkan mengalir bersama air matanya.         “Ruly, bisa kamu ceritakan tentang Ibu? Seperti apa Ibuku dulu?” Tanya Aphrodite setelah tangisnya mereda. Matanya bengkak dan memerah setelah menangis sekian lama.         Ruly dengan enggan melepas pelukannya pada tuan putrinya. Gadis belia itu begitu menyayangi Aphrodite seperti adiknya sendiri. “Baiklah, Saya akan bercerita tentang mendiang ratu. Tapi tuan putri harus kembali berbaring dan masuk ke dalam selimut. Sekarang masih tengah malam. Udara malam tidak baik untuk tuan putri.”         Aphrodite dengan patuh menuruti perkataan Ruly. Dia segera berbaring dan menarik selimut sampai d**a. Dia menunggu dengan antusias cerita tentang Ibunya. Mereka memang hampir tidak pernah membicarakan tentang sang Ratu, karena bila Raja sampai mendengarnya, beliau akan menjadi sangat sedih. Dan Aphrodite tidak menginginkan hal itu terjadi.         “Dulu, saya mungkin masih seumuran Tuan putri saat Ibu saya mengajak saya ke Istana. Waktu itu Raja dan Ratu baru saja menikah. Karena Ratu sangat akrab dengan Ibu saya, maka dari itu Ratu ingin saya juga masuk istana dan menjadi salah satu pelayannya. Itu adalah seuatu kehormatan bagi keluarga kami bisa melayani sang Ratu secara langsung.” Ruly berhenti sejenak, membelai rambut Aphrodite agar gadis itu segera tidur kembali.         “Selama saya menjadi pelayan sang Ratu, saya mendapat perlakuan yang sangat baik. Sang Ratu sangatlah bijak dan pengertian. Meski dia menggenggam dunia di tangannya, Ratu tidaklah semena-mena. Ratu tetap memikirkan perasaan dan beban kami sebagai pelayan. Beliau tidak pernah memberikan pekerjaan yang terlalu berat. Semua selalu sesuai dengan kemampuan kami.” Jeda lagi. Ruly menatap Aphrodite yang terlihat masih sangat antusias mendengar ceritanya.         “Ratu adalah wanita yang sangat cantik yang mulia. Mungkin yang tercantik yang pernah saya lihat seumur hidup saya. Mata dan rambutnya sangatlah mirip dengn Tuan Putri. Begitu hitam dan bercahaya. Seperti langit malam yang dipenuhi kemerlap bintang.” Ruly membelai rambut Aphrodite dengan sayang.         “Raja dan Ratu sudah menikah cukup lama namun belum juga dikaruniai seorang anak. Namun mereka tetaplah berbahagia. Raja sedikitpun tidak menaruh kecewa pada Ratu. Mereka tetap berusaha dan mendatangkan berbagai tabib agar yang mulia Ratu bisa segera hamil.”         “Hingga akhirnya setelah empat tahun pernikahan mereka. Sang Ratu akhirnya mengandung Tuan Putri. Seluruh negeri begitu gembira dengan kabar kehamilan Ratu. Raja bahkan mengadakan pesta selama 3 hari berturut-turut karena sangat bersyukur atas kehamilan Ratu.” Raut wajah Ruly berubah sendu. Tampak kepedihan yang tertahan di kedua bola matanya.         “Namun... Kondisi Ratu semakin hari semakin melemah. Semakin bertambah usia kehamilannya, Ratu menjadi semakin menderita. Tapi... Tak ada seharipun yang terlewat tanpa kebahagiaan. Raja yang awalnya begitu terpukul mendengar kondisi Ratu akhirnya bisa menerima dan berbahagia bersama. Ratu sangatlah menyayangi Tuan Putri. Bahkan dari sebelum Tuan Putri lahir. Meski kepayahan dan kesakitan terus di derita Ratu, tak pernah sekalipun Ratu mengeluh ataupun bersedih. Beliau begitu menikmati saat-saat kehamilannya dengan gembira. Meski akhirnya beliau meninggal saat melahirkan Tuan Putri. Saya yakin, tidak ada penyesalan di dalam hati Ratu.” Hening. Ruly tampak menahan gejolak di dalam dadanya.         “Jadi.. Tuan Putri juga harus bahagia. Saya tahu terkadang Tuan Putri menyalahkan diri sendiri atas kematian Ratu. Namun, itu semua tidak ada kaitannya dengan Tuan Putri. Memang kondisi Ratu lah yang sudah sangat lemah. Dan Tuan Putri harus ingat, Tuan Putrilah sumber kebahagiaan Ratu.” Ruly kembali membelai rambut Aphrodite dengan lembut.         Aphrodite memandang Ruly. Air matanya kembali meleleh. “Apa benar seperti itu? Apa benar bukan Aphy yang membuat Ibu meninggal?” Tanya Aphrodite dengan mata yang memerah.         “Benar Tuan Putri.” Jawab Ruly.         “Syukurlah... Aphy selalu takut kalau Ayah akan menyalahkan Aphy atas kematian Ibu.” Kata Aphrodite yang kembali terisak.         “Tidak Tuan Putri. Raja sangat menyayangi Tuan Putri. Hal itu tidak akan pernah terjadi.” Kata Ruly. Aphrodite mengangguk lega. Seperti sebuah beban berat baru saja terangkat dari kedua bahunya.         “Sekarang Tuan Putri harus kembali tidur. Saya akan menemani sampai Tuan Putri tertidur.” Kata Ruly.         “Baiklah.” Aphrodite dengan patuh memejamkan matanya. Ruly dengan setia menemani dan membelai rambut Aphrodite dengan sayang. Tak berapa lama Akhirnya Aphrodite kembali tertidur lelap. -to be continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD