Hari pertama di kastil (1)

1311 Words
            "Mataku tak bisa terpejam meski tubuhku terasa remuk." Aphrodite berguling guling di atas ranjang besar di kamar tidur bercat biru pucat di keseluruhan dinding dan biru gelap di dinding belakang ranjang.             Itu kamar Edmund, tidak banyak pernak-pernik di dalam kamar itu, hanya satu meja dengan kursi kecil. Satu sofa nyaman di pojok dinding dekat jendela. Kaca sebesar tubuh yang menggantung rendah di dinding dan potret senja, satu-satunya lukisan di ruangan itu.             Sekujur tubuh Aphrodite terasa sakit dan perih. Tubuhnya terluka di sana-sini. Entah tergores ranting atau terantuk batu. Berlari semalaman membuat kakinya lemas bagai tak bertulang. Harusnya begitu tubuhnya menyentuh ranjang dia bisa langsung terlelap. Tapi kejadian demi kejadian yang menimpanya dalam satu malam membuat pikirannya mengembara. Menolak beristirahat.             "Ruly..." Kesendirian membuatnya mengingat pelayan setianya. "Kuharap kamu selamat Ruly...." Aphrodite terisak pelan. Berusaha menahan suaranya agar tidak ada yang mendengar tangisannya. "Maafkan Aku Ruly, harusnya Aku tak meninggalkanmu sendiri." Aphrodite menutup wajahnya dengan bantal untuk menahan suara tangisnya.             "Apa bantal terasa lebih nyaman daripada dadaku Eve?" Edmund tiba-tiba sudah berada di samping Aphrodite. Duduk di sampingnya dengan perlahan dan mengambil bantal yang di gunakan Aphrodite untuk menutupi wajahnya.             Aphrodite memandang Edmund dengan bingung. Tangisnya masih belum berhenti. Edmund tersenyum menenangkan dan menarik kepala Aphrodite untuk bersandar di dadanya.             "Sekarang sudah ada Aku Eve. Jangan menangis sendirian seperti ini. Itu menyakitiku. Kamu tahu, Aku bahkan bisa merasakan perihnya hatimu meski kita berada ribuan mil jauhnya. Jadi, jangan mencoba menyembunyikan apapun lagi dariku. Kita ini satu. Kamu bagian dari diriku, begitu pula sebaliknya." Edmund mencium puncak kepala Aphrodite dengan lembut. "Mulai sekarang, bagilah perasaanmu padaku, Aku juga akan melakukan hal yang sama. Menangislah... Aku tidak tahu siapa Ruly, tapi sepertinya dia sangat penting bagimu." Edmund mengusap-usap kepala Aphrodite.             Aphrodite terisak-isak dipelukan Edmund, Meluapkan semua beban yang bercokol di hatinya. Menangis sampai lelah dan akhirnya tertidur lelap.             Edmund membaringkan Aphrodite, lalu menyelimutinya. "Wajah tidurmu benar-benar mempesona sayang." Edmund mengecup kening Aprodite pelan lalu beranjak keluar kamar setelah memastikan Aphrodite nyaman dengan posisinya.             Edmund berjalan pelan dari kamarnya menuju ruang tengah. Hatinya masih digelayuti perasaan tidak nyaman karena melihat gadisnya menangis sedih.             "Ed? Kenapa?" Sapa Roussel yang sedang membaca buku di pojok ruangan. Duduk di kursi bersandaran tinggi yang nyaman.             "Eve... Dia terlihat sedih dan tertekan. Sepertinya dia kehilangan seseorang bernama Ruly." Jawab Edmund tak semangat.             "Hemm, Aku juga penasaran kenapa dia berkeliaran di dalam hutan saat tengah malam? Lagipula Rafe si Werewolf itu bukannya sudah menjadi peliharaan penyihir? Kenapa dia masih berburu mangsa?" Roussel mengerucutkan bibirnya dengan sangat lucu. Kebiasaan uniknya saat sedang berpikir.             "Kamu benar Rou. Pasti ada sebuah alasan. Oh iya, bisakah kamu pulang ke istana sebentar? Minta pada Ibu beberapa pakaian wanita untuk dipakai Aphrodite. Sepertinya dia harus tinggal beberapa hari disini. Aku tidak mungkin membiarkannya pergi sendiri." Pinta Edmund dengan nada 'diktator'nya. Dia memang selalu mendominasi.             "Maaf Ed, tidak bisa. Aku harus ke “bank darah”. Persediaan kita sudah hampir habis." Roussel menutup bukunya dan beranjak berdiri. Vampire kerajaan memang jarang berburu, sudah ada yang menyediakan darah untuk makanan mereka. "Bukankah hari ini Irven dan Mavi akan melapor ke istana? Minta pada Irven saja." Jawab Roussel.             "Kamu benar. Aku akan menemui Irven." Edmund beranjak menuju kamar Irven yang terletak tiga pintu dari kamar tidurnya. "Ah, Rou. Bisakah kamu sekalian mencarikan makanan manusia saat kamu pergi nanti? Eve pasti akan sangat kelaparan saat bangun tidur." Edmund membalikan badan agar bisa menghadap Roussel.             "Tentu." Jawab Roussel.                                                                                 ********               "Iya, Aku akan melakukannya." Kata Irven begitu Edmund membuka pintu kamarnya. Dia sedang duduk di tepi ranjang memandang keluar jendela. Fajar mulai merekah di kejauhan. Melukis langit dengan warna-warna cantik yang mengibarkan semangat.             "Apa? Aku bahkan belum mengatakan apapun padamu Irven." Edmund menutup pintu di belakangnya dan berjalan menuju Irven. Berdiri bersandar pada tembok menghadap kakak sulungnya.             "Aku mendengar kamu berbicara dengan Roussel. Pendengaran kita sangat tajam dan kamu tidak pernah berbicara dengan suara pelan." Irven kembali menatap fajar di kejauhan. Menikmatinya.             "Benar juga. Terima kasih kalau begitu." Jawab Edmund acuh.             Jeda yang syahdu menyelimuti mereka berdua. Edmund tidak beranjak dari tempatnya, karena dia tahu kakaknya ingin mengatakan sesuatu. Edmund sudah terbiasa dengan sikap kakaknya.             Matahari sudah menyembulkan sedikit dirinya ketika akhirnya Irven membuka mulut. "Kamu yakin dia mate-mu Ed?" Irven memandang lurus ke dalam mata Edmund. Tenang, dewasa, dan... protektif.             "Kenapa? Karena dia manusia? Kak, kamu juga tahu ikatan jodoh untuk makhluk abadi seperti kita berbeda dengan manusia. Getaran perasaannya lebih kuat. Aku bisa merasakannya. Dan Aku tidak mungkin keliru kak. Aku belum pernah merasakan perasaan sedahsyat ini. Rasanya benar-benar..... lengkap. Menakjubkan." Mungkin ini kebiasaan aneh. Tapi hanya pada saat berdebat dengan Irven, Edmund memanggilnya kakak.             "Justru itu. Apakah dia yang manusia juga bisa merasakan getaran sehebat yang Kamu rasakan?" Irven bertanya sangsi.             "Aku tidak tahu. Yang Aku tahu dia mate-ku dan itu sudah cukup." Edmund tetap pada pendiriannya. Hening kembali terjalin diantara mereka.             "Jadi, bagaimana Aku harus mengatakannya pada Ayah dan Ibu? Jujur atau bohong?" Irven memecah hening.             "Tentang?" Edmund terlihat tidak paham dengan arah pembicaraan Irven.             "Mate-mu. Ibu pasti bertanya untuk siapa semua pakaian yang nanti Aku minta, kamu ingin Aku bilang Aphrodite itu manusia atau vampire?"             "Lebih baik jujur saja kak. Aku yakin Ayah dan Ibu tidak akan ada masalah dengan keberadaan Aphrodite sebagai manusia." Jawab Edmund mantap.             "Aku justru tidak terlalu yakin. Ini baru pertama kali terjadi." Irven terlihat khawatir.             "Aku akan hadapi apapun yang terjadi." Jawab Edmund tenang.                                                                         ******               Aphrodite terbangun saat matarhari sudah condong ke barat. Sinar matahari sore yang kemerahan membuat suasana di kamar itu semakin temaram. Aphrodite menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku.             Aphrodite meraba bagian-bagian tubuhnya yang penuh luka. Namun, semua luka itu sudah mengering dan tidak terasa sakit lagi.             "Wahh, lukanya juga sudah mengering. Ajaib..." Aphrodite tersenyum lebar, mempertegas kecantikan yang terpancar dari wajahnya.             "Sudah bangun ya putri tidurku? Bagaimana? Sudah tidak sakit lagi kan?" Aphrodite sedikit terkejut mendapati Edmund tengah duduk santai di sofa di samping ranjangnya. Dia tidak menyadari keberadaan Edmund.             "Apa kamu yang mengobati lukaku?" Tanya Aphrodite.             "Hemm, begitulah." Edmund berjalan maju menghampiri Aphrodite, diusapnya kepala Aphrodite dengan sayang. "Kamu bahkan belum menjadi vampire Eve, bagaimana bisa kamu terlihat semempesona ini?" Edmund memandang penuh takjub pada kekasih hatinya.             Aphrodite hanya bisa menunduk malu mendengar pujian yang 'sedikit aneh' itu.             Edmund mencubit pipi Aphrodite dengan gemas. "Cepat mandilah, setelah itu kutemani kamu makan. Sudah kusiapkan beberapa baju untukmu di lemari."             Aphrodite mengangguk patuh dan bergegas menuju kamar mandi.              Edmund sedang duduk santai di ruang makan bersama Roussel saat Aphrodite beranjak turun setelah mandi. Matanya terpaku menatap kekasihnya yang sangat menawan dalam balutan dress ringan berwarna hijau tosca pucat selutut yang sangat pas di tubuh Aphrodite.             Ya, Edmund terpesona lagi dan lagi pada mate-nya itu. Edmund berjalan dengan kecepatan vampire sehingga dalam sepersekian detik dia sudah berada tepat di depan Aphrodite. "Eve, bagaimana caramu mengacaukan hatiku seperti ini. Kamu membuatku tidak bisa menahan diri." Edmund mencium pipi Aphrodite ringan. Cepat tapi sangat posesif.             Aphrodite membelalakan matanya mendapat perlakuan seperti itu. Seumur hidup dia tidak pernah disentuh seorang lelaki kecuali Ayahnya. Itupun bertahun-tahun lalu. Dan sekarang, orang yang baru di temuinya semalam, tiba-tiba menciumnya. Oh! Dia bahkan bukan manusia.             "Ed, jangan sembarangan menyentuhnya. Selama ini dia hanya mengenal Ayahnya. Kamu membuatnya takut." Lagi-lagi si menyebalkan Wiley masuk ke dalam pikiran Aphrodite tanpa permisi.             Edmund hanya memandang Wiley sekilas, tidak mempedulikannya. Lalu kembali berfokus pada kekasihnya. Digenggamnya kedua tangan Aphrodite lembut. "Maafkan aku Eve. Aku menciummu karena aku sangat terpesona denganmu."             Aphrodite tersenyum menenangkan melihat Edmund yang gelisah melihat wajah takut Aphrodite. "Apa seharusnya Aku marah? Ini aneh. Aku selalu merasakan getaran aneh itu setiap Edmund menyentuhku. Apalagi ketika Ed menciumku barusan. Dadaku bergemuruh hebat. Desiran aneh yang sangat menyenangkan. Bahkan hanya berada di dekatnya saja sudah membuatku sangat nyaman. sangat.... Bahagia?"             Wiley cekikikan mendengar pikiran Aphrodite. Tapi kali ini dia memilih diam. Tersenyum geli memandangi sepasang kekasih itu.             Edmund menggenggam tangan Aphrodite dan menuntun gadis itu untuk duduk di salah satu kursi di ruang makan. Mereka tampak menikmati setiap momen yang mereka lalui bersama. Mereka baru bertemu kemarin, namun anehnya... mereka sudah seperti mengenal sejak bertahun-tahun lalu. Apakah itu karena ikatan mate yang dikatakan Edmund? Aphrodite sendiri merasa begitu aman berada di sisi Edmund. Tak ada keraguan sedikitpun terhadap kekasih yang baru ditemuinya kemarin itu. -to be continue-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD