Karena sudah disuruh diam, maka Ta diam meski dalam sepinya itu penuh murka bergejolak. Ta tak tuli dari isak tangis Reda di sebelahnya, ia pun bangkit menggapai dasbor depan yang terdapat tisu di sana lalu meletakkannya di antara mereka. Reda mengambilnya, memangkunya pula. Ta berdecih karena sebal akan diri sendiri. Apa beda dirinya dengan Reda? Tak ada. Sama-sama mengkhawatirkan orang bodoh! Reda mengkhawatirkan Abifata. Ta mengkhawatirkan Reda. Jelas, dua-duanya bodoh. Jengah Ta kepada rasa malasnya yang agung, tersingkir oleh emosi sesaat. Akhirnya bangunan yang mereka tuju tepat di depan sana. Reda hendak turun, saat mobil pun menepi. “Kau akan ikut menjemputku pula?” tanya Reda ragu-ragu. “Naik taksi saja.” “Ta ...!” rengutnya masam. “Kau tidak boleh menolong setengah-seteng

