He is Gay?!

1656 Words
   Untuk kesekian kalinya Andira mematut penampilanya didepan cermin besar dikamarnya. Tubuhnya yang ramping kini tengah berbalut dress rumahan berbahan kaos. Wajahnya yang terlihat bersih karena semakin rutinnya perawatan yang dia lakukan, dia poles dengan make up tipis dan bibirnya dia poles dengan warna pink natural. “  Bunda. Mana tupperware yang katanya mau di kasih ke tetangga sebelah?” todong Andira didepan sang bunda yang sibuk membuat kue. “ Kamu mau kemana?” alis sang bunda menukik. Pasalnya akhir- akhir ini sang anak gadis yang umurnya lebih dari seperempat abad itu sedikit berubah. Senang dandan lebih tepatnya, aslinya sang bunda tidak keberatan tapi sayang ada minusnya kalau disuruh mencuci baju atau mencabut rumput pasti sekarang dia tidak mau. Alasannya nanti make up nya lunturlah, keringetan  dan nanti bajunya jadi kotor. “ Itu sudah bunda siapkan diatas meja makan. Ingat bawa balik Tupperwarenya!” “ Ok!” dengan riang Andira langung mengambil Tupperware diatas meja dan keluar dari rumah. Sang Bunda hanya mengawasi anak gadisnya itu dengan geleng- geleng kepala. Semoga saja jodoh! Dia tidak bisa membayangkan andai saja pemuda tampan disebelah rumahnya itu sudah punya tambatan hati yang lain atau bukan jodoh anaknya. Dia hanya takut sang putri jadi stress nantinya. *   Andira mengetuk pintu jati yang berukir indah didepannya, tak lama kemudian pintu terbuka dan wanita paruh baya yang Andira ketahui sebagai Aunty dari Enrico itu tersenyum dan menyambutnya untuk masuk kedalam.  “ Sore aunty.” “ Sore Andira.” “  Ini Bunda mencoba resep baru dan bagi- bagi sama tetangga.” Tangan Andira menunjukkan Tupperware ditangannya. “ Duh jangan repot- repot. Ayo masuk kedalam kita minum teh  bareng. Sudah lama aunty susah sekali dapat teman minum teh sejak anak- anak aunty tumbuh besar.” Dua wanita berbeda generasi itu masuk kedalam, mendudukkan Andira di halaman belakang yang kini disulap sangat cantik nan asri, bayangan Andira soal rumah yang seram dan tak terurus hilang sudah . Dengan telaten wanita itu meracik teh hijau  dan menata kue diatas piring. “ Ayo. Mumpung masih hangat.” “ Terima kasih aunty.” Andira menghirup aroma teh yang menangkan itu sebelum meminumnya. “  Sebelumnya aunty terimakasih sekali sama kamu dan keluarga. Kalian baik sekali pada kami mengingat kami ini orang asing di lingkungan ini. Sudah hampir sepuluh tahun aunty tinggal sendiri setelah semua anak- anak aunty menikah dan memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Dan Enrico yang ikut aunty sejak beberapa tahun terakhir. Tapi kamu tahu sendirikan, pria muda itu sibuk dengan pekerjaannya.”  Andira hanya mengangguk dan kembali menyeruput tehnya. Hari demi hari hubungan Andira dan Enrico makin dekat seperti mereka tengah kenal lama. Mirip ulat dan kepompong. Sering hangout bareng bahkan hal sepelepun sering mereka lakukan berdua.  Banyak yang berspekulasi tentang kedekatan keduanya tapi yang paling parah adalah bundanya Andira, ia senang bukan main mengetahui hal itu. Dikepalanya telah tersusun rencana yang sangat apik. Menikahkan keduanya secepat mungkin. Tapi bagi Andira sendiri, ia merasa biasa saja tak ada yang istimewa dari hubungan mereka berdua. Tak ada lagi tatapan terpesona seperti waktu pertama kali ia  bertemu dengan Enrico . Bahkan tak ada lagi usahanya untuk menarik perhatin Enrico. Dan kini Andira berdiri didepan kaca kamarnya bagai orang bodoh ia bicara sendiri. “Andi, Enrico gimana dimata kamu...” tanyanya pada bayangan dicermin “ Tampan. Tapi biasa saja tidak ada yang istimewa.” Jawabnya lagi “Kamu deg-degan tidak kalau ketemu sama dia?” “ Tidak. Detak jantung normal.” Jawabnya lagi “Berarti kamu tidak suka dong sama Enrico?” “ Aku nggak tahu!”teriaknya didepan kaca. Ia lalu menghempaskan diri kekasur dan menutupi mukanya dengan bantal dan selimut. “Andira!” teriak bundanya dari halaman “Apaan sih bun? Jangan suka teriak- teriak ,ah! “ Andira langsung keluar masih dengan celana kolornya yang berwarna hitam dan kaos berlengan pendek warna kusam. “ Kamu dicari sama Enrico.” Alis sang Bunda bergerak- gerak seakan menggodanya. Enrico! Ok. Andira tarik nafas yang banyak. Pikirkan! Enrico itu tampan, pasti jantung kamu bakalan berdetak tidak karuan lagi seperti waktu dulu.  Andira langsung pasang senyum seribu lima ratus watt. “Hai ,Ndi. Kamu kosong sore ini? Bisa ikut saya sebentar.” Kata Enrico yang tengah berdiri dibelakang punggung bundanya. Penampilannya rapi seperti biasa, tapi terlalu rapi malah dan wangi. “Sekarang?” “Iya.” “Aku ganti baju dulu ,yah.”Andira berbalik badan dan tangannya langsung dipegang oleh Enrico,”Lima belas menit, ok!” Andira menatap tangannya yang dipegang Enrico dan menunggu debaran jantungnya lebih keras tapi tak ada reaksi dari organ tubuh yang satu itu. Dan itu sedikit membuat Andira kesal. “Kalian romantis ,deh.” Kata bunda Andira dengan wajah yang mulai bersemu merah. “Allamak apa lagi nih emakku, pegangan tangan doang seperti lihat film india gitu. Dasar emak-emak!” gerutu hati Andira seraya bergegas masuk kedalam unutk ganti baju yang sedkit pantas. Tak sampai lima belas menit kemudian ia mengikuti langkah Enrico menuju mobilnya. “Bunda kamu lucu ,ya.” Kata Enrico sambil menyembunyikan tawanya. “Harap maklum! Aku kan tidak pernah dekat sama orang , eh.. sekali dekat,dekatnya sama model seperti kamu. Bagaimana tidak seperti  nonton film india tuh bunda aku.” Cibir Andira “Eh memang kita mau kemana?” tanya Andira saat mobil yang mereka tumpangi mulai keluar kompleks dan menuju kepusat kota. Tapi yang ditanya hanya diam seribu bahasa seperti anak ABG hilang arah. Andira hanya mencibir. Sekitar 15 menit kemudian mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah caffe dan Enrico mengajak Andira turun. “Ric, serius kamu ngajakin aku kesini? “ kata Andira panic, dia sama sekali tidak membawa uang dia lupa tadi. “Iya. Udah ayo keluar! “Enrico! Kamu nggak lihat penampilan aku kayak gini, aku kayak pemulung tahu kalau masuk kesana.” Rengek Andira hampir menangis. Please deh, ini caffe kalangan atas. Sedangkan dia hanya dandan dengan asal tadi. Tanpa  basa-basi Enrico langsung menarik tangan Andira dan membawanya masuk kedalam. Spontan Andira langsung menggerai rambutnya yang ia kuncir kuda tadi untuk menutupi mukanya, ia malu menjadi tontonan orang yang berlalu lalang disana. Tidak pantas, ditam bah lagi Enrico yang menggandeng tangannya seperti ini, ia bagaikan anak pembatu yang diajak majikannya untuk jalan –jalan tapi sayangnya si pembantu tidak punya selera yang  lebih baik. Enrico memaksa agar mereka duduk didepan pintu masuk. Keduanya diam, Andira mengamati keadaaan sekeliling yang lumayan ramai dan ia melirik Enrico lagi. Ia diam terlihat panik dan gelisah. “Apaan lagi nih orang satu, harusnya yang panik dan gelisahkan aku tapi kenapa malah dia. Aneh.” Gerutu Andira. 15 menit berlalu dan Enrico masih diam, ia fokus memandang pintu masuk.  Dan 20 menit berlalu, Enrico masih sama dan yang lebih menjengkelkannya lagi, Andira tak dianggap sama sekali dan tak ada pesanan sama sekali diatas meja mereka. Andira mana mungkin memesan sesuatu, ia tak membawa dompet nanti kalau ia pesan dan Enrico tidak bersedia membayar, kan malu.  “Henz..please?”suara Enrico pelan tapi masih bisa tertangkap oleh telinga Andira dan terdengar sekali kalau suara itu adalah suara penuh harap dan rindu. Wait! Rindu. Ehem kita tebak siapa coba?Henza..henzi..Henz emm...hena..wuah itu nggak ada Z nya. Henzu..Hendro ..Hendrik.. wuah makin ngaco. Kikik Andira “Kamu dimana, honey?” Enrico terlihat panik, ia kini tengah sibuk menelepon seseorang dan terlihat pula yang dihubungi tak sudi mengakat panggilan. Honey? Pacar dong. Dasar Enrico sarap ! Mau ketemu sama pacar ngajak cewek lain , ngamuk ngamuk deh nanti pacarnya. Tak lama kemudian , Enrico terlihat lega dan dalam  sekejap wajahnya yang tadi gelisah langsung berubah takala melihat pintu masuk tapi yang membuat Andira syok adalah yang masuk seorang lelaki dengan wajah tertutup masker. Dan lelaki itu duduk didepan mereka. “Henz..terima kasih sudah mau datang menemui aku. Aku...” suara Enrico yang biasanya nyaring kini berubah jadi sendu.Dan diluar dugaan Andira sama sekali saat Enrico menggenggam erat tangan orang yang kemungkinan besar bernama Henzky itu. Mata Andira hampir loncat keluar melihat mereka berdua. Andira mencium sesuatu yang ganjil diantara kedua orang itu. Pikirannya ngelantur kemana- mana. “Sudah  tak ada yang perlu kita bicarain lagi. Semua sudah jelas dimataku”. Kata lelaki yang dipanggil Henzky itu. “Tapi ..Aku tidak bohong sama kamu..Aku dan Hermawan itu tidak ada hubungan sama sekali. Percaya sama aku. Dia hanya orang suruhannya Papa supaya mereka bisa memisahkan kita.  Sungguh aku sama sekali tidak berbohong.” Apakah pikiran kalian sekarang sama dengan apa yang Andira pikirkan sekarang? “Dari mana kamu tahu aku ada di Malang?” tanya lelaki itu dengan nada dingin. “ Aku memerintahkan orang untuk mencari kamu tanpa sepengetahuan Papa dan saat aku tahu kamu di Malang. Aku memutuskan untuk pindah kesini dengan alasan aku ikut aunty yang juga pindah ke Malang waktu itu.”  Sedangkan Henzky hanya diam dan menatap  Enrico mencari kejujuran di matanya. Lama sekali mereka tak bersuara hingga akhirnya Henzky menganggukkan kepalanya pelan. “Aku maafin kamu kok.” Katanya manja. Ya ampun?! Jabang baby! “Oh ya ini perkenalkan, Andira, tetanggaku dan orang yang dekat denganku sekarang.” Kata Enrico memecah lamunan Andira. Henzky menatap Andira dan menyulurkan tangannya yang Masya Allah sangat halus. “Andira.” kata Andira “Henzky...”Suara Henzky bagai penyanyi Seriosa di telinga Andira. Lembut sekali  tapi kalau boleh tahu seperti apa wajah dari Henzky ini. “....pacar Enrico.” Ya Andira dan para hadirin sudah tahu melihat seperti apa percakapan kalian berdua tadi. Tapi entah kenapa rasa tak ikhlas menggerogoti diri. Kenapa? Kenapa setiap pria tampan dan mapan harus dimiliki oleh seorang pria lain. Apa salahnya dengan kaum hawa? Tidakkah kalian melihat wahai kaum Adam, kaum Hawa itu melimpah ruah diseluruh dunia. Lalu kenapa kalian memilih kaum yang sama dengan jenis kalian sendiri?! Dan kamu! Seorang Enrico.. Pria maskulin, tampan, mapan, macho, metroseksual dan sempurna,  seorang GAY. Andira menarik nafas panjang dan lesu. Pantas saja, sinyal - sinyal ketertarikan yang sempat dia rasakan diawal bertemu langsung hilang dengan cepat dibawa hujan. Andira salah server ternyata! Sekali kirim langsung mental. Oalah Andira... Hiks..! Nasibmu kok jelek banget to?!                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD