Chapter 02

1137 Words
Aro masih diam, ekspresinya datar, namun pandangannya tak beralih sedikitpun dariku.   'Manusia satu ini maunya apa, sih?' batinku bingung.   "Kami gak pacaran! Kamu gak percaya sama aku?" ujarku lagi pada Kendric.   Drrrt-drrttt-drrtttt! Ponsel Kendric bergetar di atas meja, sebuah panggilan masuk dari kakaknya.   "Ah, aku lupa harus jemput kakakku," ujarnya bahkan sebelum ia mengangkat teleponnya.   "Tapi, Ken–"   "Kamu mau aku anter pulang?" Kendric menawarkan diri.   "Aku masih ada kelas satu lagi," jawabku bingung. Aku ingin pergi dari sini dan menjauh dari Aro.   "Aku gak akan macem-macem kok, pergilah!" ujar Aro pada Kendric, seolah mereka sudah dekat.   "Sorry, ya, Re! Aku harus jemput kakakku." Kemudian Kendric pergi dan meninggalkan kami.   Aku mengumpat sejadinya. Bisa-bisanya dia meninggalkanku berdua dengan orang aneh ini? Memang sih di sini masih banyak orang, Aro tak mungkin macam-macam. Bahkan tak perlu takut tempat ini sepi, karena food court ini buka sampai malam. Tanpa membuka mulut, aku membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas.   Dia tak melarangku atau menahan seperti waktu itu, namun kali ini lebih horor. Ia terus mengikutiku dan membuatku merinding.   Aku berhenti dan berbalik. "Kamu ngapain ngikutin aku?"   "Memang gak boleh?" tanyanya tanpa rasa berdosa.   "Sebenernya maumu apa sih?"   "Berdua sama kamu."   Ucapannya berhasil membuatku semakin merinding. Mungkinkah dia orang jahat? Atau orang mes*m?   "Aku mau ke kelas, mending kamu pergi ke kelasmu!" Sebisa mungkin aku tidak kasar padanya, sebab aku takut ia marah dan menjadi nekat. Sungguh bayangan yang sangat menyeramkan.   "Kelasku udah abis hari ini, jadi aku mau bareng kamu."   "Hah?" Aku masih tidak mengerti apa tujuannya.   "Aku gak akan ganggu, tenang aja!"   "Ba– Ah, terserahlah!" Kuurungkan niat untuk terus membantahnya, sebab itu tak berguna sama sekali. Sepertinya ia tak akan menjauh dariku sekuat apapun aku memberontak.   Aku kembali melanjutkan langkah ke kelas, tidak peduli dia mau mengikutiku atau tidak. Kurasa area kampus masih cukup aman untuk jam-jam sekarang.   Sesampainya aku di depan kelas, perasaan khawatir mulai muncul. Aku takut ia masuk kelas dan menimbulkan banyak pertanyaan. Ternyata tidak, dia tak masuk ke dalam kelas dan memilih untuk duduk di kursi yang disediakan di luar.   'Huh! Untung dia gak ikut masuk,' batinku.   Sayangnya, karena mengetahui ia ada di depan menungguku, aku menjadi tidak tenang. Fokusku terbagi, beberapa kali aku menengok ke belakang hanya untuk memastikan dia masih duduk di sana. Kebetulan jendela kelas cukup besar, sehingga siapa yang duduk di luar bisa terlihat dari dalam. Aku berharap ia bosan dan segera pergi dari sana.   Keberuntungan sepertinya sedang tidak berpihak padaku. Baru belajar dua puluh menit saja, Pak Dosen sudah keluar dan tak meninggalkan tugas apapun. Senang? Seharusnya iya, tapi kali ini tidak.   Senyumnya mengembang ketika melihatku keluar dari kelas, ia pun berdiri dan menyambutku. Sesaat aku terhipnotis, senyumnya; gaya rambutnya; gaya berpakaiannya; bahkan postur tubuhnya semua merupakan tipe favoritku. Namun kemudian aku sadar, dia sosok lelaki yang cukup menyeramkan. Tanpa alasan ia datang dan mengajakku berpacaran. Dia pikir aku wanita macam apa?   Sengaja aku tak menghampirinya dan berlalu begitu saja–seolah lupa kalau dia sedang menungguku. Tidak tahu dia mengikutiku atau tidak, karena aku tidak menengok ke belakang setelahnya. Bersama dengan teman yang lain, aku menuju ke tangga–kebetulan kali ini kelasku di lantai tiga.   Sepertinya pikiranku memang masih terbagi, aku tidak fokus pada langkahku sendiri. Baru saja menginjak anak tangga ke empat dari atas, seseorang menarikku dari belakang.   "Eh!"   Sontak aku terkejut. Orang itu memegang bahuku dengan erat hingga membuat tubuhku semakin rapat dengan dinding. Aku baru menyadari kalau di sebelahku ada dua orang yang sedang menggotong sebuah kotak yang cukup tajam di bagian sudutnya; mereka membawa kotak itu ke lantai atas. Aku menghela napas lega, bahkan sebelumnya aku tak menyadari kalau ada mereka di depanku.   "Jangan bengong! Kalo tadi kamu kena itu, gimana coba?" omel Aro yang masih berdiri di belakangku. Bahkan tangannya masih memegang bahuku.   Aku mendongak ke arahnya, wajah kami saling berhadapan. Lagi-lagi aku terhipnotis, bahkan di lihat dari dekat pun wajahnya tampak tak memiliki cela. Dan lagi, ia tersenyum begitu manis. Argh! Rasanya aku ingin teriak saat ini juga. Mengapa ada manusia sempurna seperti dirinya?   "Rea?" tegurnya.   "Hah? Iya. Kamu– Eh, makasih!"   Aku tergagap karena malu. Kulepaskan tangannya dari bahuku dan hendak kabur. Sayang, tangannya jauh lebih cepat. Seketika aku sudah berada dalam dekapannya, jantungku berdebar tak karuan. Sepertinya dia benar-benar gil*! Ralat, dia yang membuatku tergila-gila. Aku mematung, dia pun tak mengatakan apa-apa.   "Parfummu harum, aku suka," ucapnya.   Blush! Kali ini pipiku ikut merona. Rasanya aku ingin menghilang saja, aku tidak mengerti kondisi apa yang sedang terjadi saat ini. Bahkan rasa takutku hilang seketika. Apakah pemilik wajah tampan memang seberuntung itu?   "Lepasin, aku mau pulang!" ujarku dengan wajah yang tertunduk.   "Aku mau liat kamu sebentar, jangan nunduk dong!" ujarnya.   "Ini di kampus! Jangan sengaja jadi pusat perhatian!" omelku lagi sambil berusaha memberontak untuk keluar dari dekapannya.   "Sekarang belum jam keluar kelas, jadi belum banyak yang lewat," jawabnya santai.   "Aku mau pulang, lepasin!"   "Ssstttt! Jangan kaya gitu! Nanti pada ngira kalo aku nyakitin kamu."   "Makanya, lepasin sebelum aku teriak!" ancamku lagi.   Ia pun melepaskan dekapannya dariku. Tanpa melihat wajahnya lagi, aku langsung melanjutkan langkah dan segera pulang.   Kontrakanku tak jauh dari kampus, sehingga aku selalu berangkat dan pergi jalan kaki. Kupikir Aro sudah tidak mengikutiku lagi, ternyata salah. Aku masih bisa mendengar langkah kakinya di belakangku.   'Hadeh, orang ini! Kenapa sih dia semangat banget?' Aku hanya bertanya dalam batin, namun kemudian kuputuskan untuk menegurnya lagi karena sudah membuatku tidak nyaman.   "Ka–" Ucapanku terhenti setelah mendapati orang yang berjalan di belakangku ternyata bukan Aro, melainkan Masson–teman sekelasku. "Loh, kamu mau ke mana?" tanyaku dengan nada yang lebih halus.   "Aku mau pulang," jawabnya.   "Oh, rumahmu deket sini juga?" Sudah satu tahun aku tinggal di daerah sini, baru kali ini aku melihatnya lewat jalanan ini.   "Iya, kebetulan aku baru aja pindah. Biar lebih deket aja kalo ke kampus," jawab Masson lagi.   Aku mengangguk. "Hmm… gitu. Sebelumnya kamu tinggal di mana?" Kami pun mengobrol sambil jalan. Ternyata dia orang yang cukup ramah dan tak sekaku yang terlihat.   Sampai tibalah aku di depan gerbang kontrakan. "Aku udah sampe, kontakanmu di sebelah mana?" tanyaku basa-basi.   "Itu," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang letaknya tepat di seberang kontrakanku.   Aku cukup terkejut, sebab rumah itu cukup lama tidak digunakan. Hanya sesekali ada orang yang datang untuk membersihkannya.   "Kamu tinggal sendiri?"   "Sementara ini iya, tapi mungkin nanti aku cari temen lagi."   Jawabannya terdengar samar, aku pun meragukan itu. Sebab di kelas juga ia tak mempunyai banyak teman, ia memilih untuk menyendiri dan menyibukkan diri dengan ponsel serta earphone-nya. Entah mengapa kali ini earphone itu tidak terlihat di telinganya.   Aku pamit untuk masuk lebih dulu, ia hanya menjawab dengan anggukan kepala. Aku jadi penasaran, mengapa dia seolah menjadi orang yang berbeda? Tidak seperti Masson yang aku kenal. Pada dasarnya kami memang tidak pernah mengobrol seperti hari ini, namun... entahlah, mungkin perasaanku saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD