8 | Janji Damar Pada Diri Sendiri

1787 Words
Atas saran dari sang ibu dan sempat mengobrol dengan papa mertua, akhirnya Damar yang menurunkan ego lebih dulu untuk meminta maaf pada Karin. Baik Karin dan Damar sempat saling mendiamkan selama dua hari. Di hadapan ibu mertua dan papanya, Karin selalu bilang kalau Damar gak sayang sama dia karena lebih mementingkan perempuan lain. Dua hari ini bahkan dia sering menangis, stress dan bersikap seolah pernikahannya sudah di ujung tanduk. Tetapi saat mereka mendengar cerita dari sisi Damar, keduanya mengerti jika ini hanya salah paham. Mereka akhirnya memaklumi kondisi Karin yang mungkin cepat sensitif karena sedang hamil. Padahal, dari dulu dia memang seperti itu. Karin gak suka kalau seandainya orang yang dia sayang mengabaikan dia, juga membela dan mementingkan orang lain. Dia selalu ingin jadi pusat perhatian dan diutamakan oleh orang-orang yang dia sayang. Sekalinya ada orang baru yang membuat mereka teralihkan … Karin merasa terancam dan selalu berusaha menyingkirkan orang-orang yang berpotensi menggantikan posisi dia. Sebelumnya, papa juga sempat meminta maaf pada Damar atas sikap kekanakan Karin. Untuk masalah Riska ini … papa baru akan memindahkannya ke kantor cabang perbulan depan. Riska hanya diberitahu kalau akan dipindah ke sana dengan alasan kantor cabang butuh satu orang tambahan, padahal yang sebenarnya adalah karena ini kemauan Karin. Riska sempat bercerita di ruangan setelah dipanggil oleh bos—Papa Karin—kemarin. Dia merasa sedih karena memang sudah tiga tahun terbiasa ada di sini, juga karena kantor cabang letaknya lebih jauh dari di pusat. Kemungkinan besar dia akan memilih kos supaya biaya transport gak terlalu memberatkan dan gak perlu diburu-buru waktu setiap pagi. Damar sempat bilang pada papa mertua kalau dia merasa bersalah pada Riska, kalau tau begini jadinya … dia gak akan menawari perempuan itu pulang dua hari lalu. Tetapi papa mertua menenangkan Damar dengan bilang dia akan menaikkan gaji Riska saat ketika dia sudah dipindah ke kantor cabang. Setelah Damar meminta maaf, hubungan mereka kembali membaik. Karin gak lagi menjauh dan sering menangisi suaminya. Dia kembali lagi menjadi Karin yang suka menempel ke mana-mana. Kalau saat dia pergi ke luar dan melihat ada yang melirik kearah suaminya dan menatap Damar penuh kagum, perempuan hamil itu akan langsung melotot atau beberapa kali malah memarahi orangnya langsung. Damar yang selalu menenangkan emosi Karin dan memilih untuk pergi mengunjungi tempat-tempat yang memang sepi supaya gak mengundang keributan. “Sayang, kamu suka mobil apa sih? Ada rencana buat ganti mobil?” tanya Karin yang sekarang duduk di sebelah suaminya. Malam ini, Karin ingin ditemani makan di salah satu restoran yang tengah booming namanya akhir-akhir ini. Beruntung, mereka gak perlu susah payah harus menunggu antrian sampai berjam-jam karena memang tiga hari sebelumnya Karin sudah menelpon pihak resto dan memesan ruangan VIP. Ruangan VIP ini sebenarnya bisa untuk sepuluh orang, tetapi Karin hanya menggunakan untuk dia dan suaminya. Damar berpikir kalau apa yang dilakukan Karin berlebihan, tetapi dia gak mau mengutarakan langsung karena gak mau lagi bertengkar dengan istrinya yang super-duper sensitif dengan masalah sepele. Selama Damar bisa menuruti, dia akan melakukannya. “Sebenarnya dibanding mobil, saya lebih ingin punya rumah sendiri dulu,” katanya sambil mengunyah dan menatap Karin yang gak mau jauh darinya. “Ih, ngapain beli rumah lagi, sih? Rumah papa itu besar, Kak. Kita bisa tinggal di situ selamanya bareng-bareng. Mm, atau Kak Damar mau cari yang lebih besar lagi? Nanti Karin bilang papa.” Damar menggeleng. “Rumah itu besar, tapi tetap itu rumah papa kamu. Saya mau punya rumah sendiri meskipun gak sebesar rumah papamu, itu cita-cita saya dari dulu, Rin.” Karin yang baru saja menelan makanannya, kini kembali menyahut, “Terus nanti kalau Kak Damar udah beli rumah, Karin ikut sama Kakak?” “Tentu. Saya bawa kamu dan ibu.” Senyum terbit di wajah manis anak itu. Dia senang mendengar jawaban Damar. “Kapan Kak Damar mau beli rumah?” “Beberapa bulan ini sudah mulai cari, ada dua rumah yang menarik perhatian saya. Saya juga sudah sempat ke sana beberapa waktu lalu untuk melihat langsung. Tetapi menunggu uang saya cukup dulu. Tinggal sedikit lagi.” “Karin punya tabungan, pakai aja punya Karin buat tambahan beli rumah.” “Uang saya sebenarnya sudah cukup. Tapi saya memutuskan untuk menyimpan sebagian dana untuk kamu melahirkan nanti.” “Kan ada papa aku. Kak Damar jangan khawatir soal itu.” Setelah menelan makanan yang sudah dia kunyah dengan halus, Damar menjawab, “Kamu lupa kalau kita sudah menikah? Sekarang, semua yang berhubungan dengan kamu jadi tanggung jawab saya, Rin.” Ada jeda dalam ucapannya. “Saya gak mau membebani kamu atau papamu, biar urusan rumah ini menjadi urusan saya,” katanya. “Oke.” Karin mengangguk. “Katanya Kakak udah pernah ke sana langsung kan? Ada foto atau apa gitu? Karin mau lihat rumahnya dong!” “Ada, sebentar.” Senyum Karin memudar saat melihat beberapa jepretan Damar yang menunjukkan rumah idamannya. Karin gak suka kedua rumah itu, terlalu kecil dan sempit menurutnya. Rumah papa jauh lebih besar daripada ini. Tetapi karena dia gak mau mengecewakan sang suami yang bercerita dengan antusias malam ini—yang mana jarang dia lakukan—Karin berpura-pura kalau dia juga ikut senang karena akan tinggal di sana. “Selain dua itu ada yang lebih besar lagi gak sih, Kak?” pancing Karin, dia masih berharap kalau Damar akan berubah pikiran dan mencari tempat lain. “Ini sudah cukup menurut saya. Minimalis dan nyaman,” kata dia. “Ada sih yang lebih besar dari ini, cuma sepertinya saya harus menabung lebih lama untuk beli rumah itu. Harus menunggu tabungan terkumpul satu atau dua tahun lagi.” Itu bukan masalah bagi Karin atau papa. Coba saja kalau Kak Damar gak menolak diberikan bantuan, bahkan besok pun mereka bisa langsung membelinya secara tunai. Gak perlu menunggu sampai satu atau dua tahun lagi seperti yang suaminya bilang. Tapi ya sudahlah, Karin ikut saja. “Mm, balik lagi … untuk masalah mobil ini kira-kira Kak Damar tuh suka yang kaya gimana sih? Rumah kan udah, Kakak suka yang tipenya minimalis gitu. Kalau mobil?” *** Karin berhasil memancing suaminya untuk bercerita banyak. Makan malam mereka kemarin seru, Damar juga lebih terbuka soal masa depan dan gak cuma merespons dengan jawaban-jawaban singkat. Bahkan saat pagi ini Karin membuka mata dan melihat wajah tampan di hadapannya itu … dia langsung mengecup pipinya beberapa kali. Gak peduli kalau Damar terusik dan malah jadi terbangun karena ulahnya. “Jam berapa?” tanya Damar dengan suara khas bangun tidur. Lelaki itu sempat membuka satu kelopak mata, disusul kelopak mata yang lain beberapa saat kemudian. “Setengah enam,” jawab Karin, mendekatkan kepala ke d**a sang suami yang terbalut kaos hitam polos, kemudian menarik tangan besar lelaki itu supaya memeluk pinggangnya. “Jangan mandi dulu, nanti aja ya?” “Kok gitu?” Alis tebal Damar bertaut. “Mau tetep kaya gini, jangan dilepas dulu.” Damar gak menyahut apa-apalagi. Dia merasakan pelukan Karin lebih erat dari yang tadi. Lelaki yang sebentar lagi menginjak usia 27 tahun ini menempelkan wajah ke kepala Karin. Menghirup wangi sampo strawberry yang menguar dari rambut istrinya. Berkat bantuan kerabat papa, Karin berhasil mendapatkan mobil sesuai dengan kriteria suaminya. Dia sempat mencari tahu ke sana ke mari, tetapi gak juga kunjung menemukan yang cocok, untung ada papa yang membantu mengenalkan Karin dengan salah satu temannya yang juga memang paham dengan bidang ini. Mobil itu hampir menguras seluruh tabungan yang Karin punya. Tapi perempuan ini gak merasa khawatir. Pertama, papa masih mentransfer dia uang setiap bulan—tanpa sepengetahuan Damar—dan Karin gak menyesal mengeluarkan banyak uang untuk membahagiakan suami. Dia akan selalu berbuat apa pun supaya Damar mencintainya. Karin berencana akan memberikan mobil untuk Damar besok pagi, di hari Sabtu. Malamnya, Karin, ibu mertua, papa, beserta orang rumah yang lain sudah memberikan kejutan pertama yaitu membangunkannya di jam 12 malam untuk meniup lilin dan potong kue. Damar kelihatan sangat malu-malu, karena memang seumur hidup baru kali ini diberi kejutan dengan heboh seperti remaja. Ini semua adalah ide Karin, istrinya. Dia yang biasanya jarang mau berinteraksi banyak selain dengan papa atau ibu mertua, sekarang sampai mengajak seluruh pekerja di rumah. Selesai jogging pagi dan sarapan bersama keluarganya di ruang makan, Damar kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Karin sendiri masih di bawah, mengobrol dengan papa dan ibu mertua. Saat memastikan kalau Damar sudah benar-benar gak lagi muncul … Karin menelpon seseorang untuk memasukkan mobil baru Damar—yang sejak tadi terparkir gak jauh dari rumah itu—ke halaman rumah. Setelah mobil yang diberi hiasan berupa balon-balon dan ucapan selamat ulang tahun itu sudah ada di halaman, Karin naik ke lantai dua di mana kamarnya dan Damar berada. Lelaki itu tengah pakai baju saat Karin masuk. “Kak, abis ini ke bawah lagi ya. Ada sesuatu buat Kak Damar,” kata perempuan berambut sebahu berpipi tembam dan bermata bulat yang masih pakai piyama merah muda. “Apa lagi?” tanyanya setelah memakai kaos oblong berwarna biru tua. “Ada deh.” Karin gak mau memberi jawaban jelas, biar nanti suaminya yang melihat sendiri. Dia membuka lemari Damar dan mengambil satu dasi milik lelaki itu. Damar bertanya untuk apa, dan Karin menjawab untuk menutup mata Kak Damar di bawah nanti supaya gak bisa lihat kejutannya dulu. “Masih jauh?” kata Damar yang berjalan pelan-pelan dituntun oleh istrinya. Orang-orang yang sudah menunggu di teras untuk menjadi tim heboh, langsung bersiap-siap merapatkan diri dan mengikuti aba-aba Karin. “Sebentar lagi. Nah, udah, Kakak berhenti di sini.” Ada jeda dalam ucapannya. “Nanti di hitungan ketiga Kakak buka dasinya ya?” “Ya,” sahut Damar. Karin langsung menghitung sampai tiga, dan saat Damar membuka ikatan dasi yang menutup matanya—yang membuat pandangannya blur beberapa saat—dia mendengar Karin dan yang lainnya mengucapkan kata : surprise. Damar melihat ke arah depan, di sana ada satu buah mobil berwarna hitam yang masih baru dan sesuai dengan kemauan lelaki itu. Damar menatap papa mertua yang berdiri gak jauh darinya sambil mengucapkan terima kasih atas hadiah yang menurutnya sangat mahal ini. “Bukan, bukan papa yang belikan untuk kamu, tapi Karin,” ucap papa mertuanya sambil terkekeh. Kini, pandangannya teralih pada perempuan hamil yang berdiri di sebelahnya. “Kamu?” lirih Damar yang dibalas anggukan Karin juga senyumannya. “Saya ngerasa gak pantes buat dapetin ini, Rin,” lirih lelaki itu sambil menatap sang istri. Dia harus sedikit menunduk supaya bisa melihat wajah Karin. “Ini terlalu berlebihan.” “Gak kok. Kakak itu suami Karin, wajar kalau aku ngasih sesuatu yang jadi salah satu keinginan Kakak.” Kedua sudut bibir Damar terangkat, dia refleks memeluk istrinya dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Damar berjanji pada diri sendiri, mulai hari ini dia akan lebih bersungguh-sungguh lagi untuk mencintai Karin dan menjadikan dia sebagai satu-satunya orang yang dia cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD