9 | Karin dan Rasa Gengsinya

1746 Words
Tiga bulan bukan waktu yang sebentar untuk Damar. Menghadapi Karin dan segala dramanya itu cukup membuat pening. Menguras emosi, waktu, bahkan gara-gara itu dirinya jadi sedikit kurang fokus bekerja dan menyebabkan performanya menurun. Untung, papa mertua memaklumi itu semua disebabkan oleh ulah anak semata wayangnya. Damar selalu memilih menahan diri dan berusaha memahami sifat istrinya yang kadang-kadang membuat dia sakit kepala. “SAYANG!” “Hati-hati, Rin, kandungan kamu lho.” Damar was-was saat istrinya langsung menabrakkan diri setelah dia membuka pintu kamar dan mendapati sang suami baru pulang kerja. Lelaki itu langsung membalas pelukan istrinya dan mengecup kening Karin singkat. Sampai sekarang, ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan Karin. Dia selalu suka saat mendengar pintu kamar diketuk dan Damar ternyata pulang. Perut Karin sudah agak buncit, pertanda kalau anak mereka tumbuh di dalam sana. Karin makin hobi makan sampai timbangannya naik beberapa kilo. Dia sempat cemas dan sedikit insecure karena takut Damar selingkuh. Jadi dia suka menangis karena overthinking, padahal Damar sudah sering bilang dia gak akan bahkan gak sekali pun kepikiran untuk selingkuh dari Karin. “Kangen sama kamu,” katanya yang masih mengalungkan kedua tangan di leher Damar kemudian berjinjit sedikit supaya bisa mengecup pipi suaminya. “Aku belum mandi, mau sama Kakak aja kaya kemarin.” Akhir-akhir ini dia jadi malas mandi, bahkan pernah gak keramas empat hari sampai akhirnya Damar yang mencuci rambut Karin di kamar mandi. Karena istrinya mengeluh gatal-gatal. Kalau kata ibu mertua, kemungkinan anak yang dikandungnya adalah laki-laki. “Ya sudah.” Setelah makan malam dan sebelum istirahat, keduanya memilih duduk di sofa dekat jendela. Karin mengobrol dengan suaminya sambil memakan potongan buah apel yang dipotong oleh Damar. Damar sendiri juga punya kopi hitam yang menemaninya berbincang dengan sang istri. “Besok Minggu aku mau kumpul sama temen-temenku. Kak Damar ikut ya, temenin aku,” katanya sambil memerhatikan suaminya yang memotong buah apel kedua. Sebelum ini, Damar pernah bertemu dengan teman-teman Karin … mungkin sekitar tiga kali. Ya, dia kurang suka dengan sikap teman-teman Karin yang suka seenaknya, asal, dan merendahkan orang lain. Menurut Damar, istrinya ini termasuk polos dan gampang dipengaruhi. Damar ingin bilang pada istrinya untuk menjaga jarak, tetapi dia gak mau dicap sebagai suami tukang mengekang kebebasan istri. Damar juga kurang suka dengan jokes-jokes mereka yang bahkan gak punya sopan santun memanggilnya dengan sebutan : sugar daddy. Damar tahu, saat dia jalan bersama Karin dan teman-temannya maka dia akan terlihat sangat timpang karena umur yang agak berbeda jauh … tetapi Damar tidak suka dengan attitude anak-anak itu. “Ke mana?” “Faye mau ajak kita makan di kafe saudaranya sih.” Karin mengedikkan bahu. “Dia bilang gratis.” “Oke.” Damar yang malas membahas teman-teman Karin, memilih menyetujui dengan cepat. “Oh ya, hari Sabtu nanti setelah saya antar kamu periksa ke dokter kandungan kita langsung pergi ke rumah baru, ya? Ada beberapa barang yang datang jadi saya harus stay untuk memasukkan dan menata semuanya.” Rumah yang diinginkan Damar berhasil dia beli satu minggu lalu setelah tabungannya tercukupi. Damar sudah bilang papa kalau mulai bulan depan dia akan membawa Karin dan ibunya tinggal di rumah baru—setelah semua barang datang, tertata, dan siap ditinggali. Karin sedih, dia harus meninggalkan rumah besar ini, membiarkan papa sendirian, juga harus tinggal di rumah minimalis tanpa asisten rumah tangga. Dia juga sedikit malu kalau harus membawa teman-temannya ke sana untuk main. Mereka pasti akan meledek Karin habis-habisan karena dianggap gak mampu membeli rumah mewah seperti rumah papa. Padahal Karin selalu membangga-banggakan pencapaian Damar di hadapan teman-temannya supaya mereka iri dan ingin seperti Karin. Huh, Karin mau protes pada Damar waktu itu untuk mencari rumah lain … tetapi dia gak bisa berbuat apa-apa. Dia yang mau menikah dan hidup bersama Damar, jadi dia harus ikut ke mana pun suaminya pergi. *** Jam Sembilan pagi di hari Sabtu, Damar membawa Karin untuk periksa kandungan yang sudah memasuki bulan keempat. Perempuan hamil berambut sebahu dan akhir-akhir ini lebih suka pakai dress bumil tampak bahagia saat tahu kalau calon bayinya nanti berjenis kelamin perempuan. Karin merasa Tuhan berbaik hati karena telah mengabulkan keinginan dia waktu itu, bahkan Damar pun mengetahuinya. Damar sempat mampir sebentar ke salah satu outlet di dekat sana untuk membeli burger dan beberapa camilan sebagai teman di perjalanan. Istrinya cepat lapar, jadi Damar suka membeli stok makanan-makanan ringan untuk dimakan Karin. Sampai di sana, Damar menyuruh Karin masuk lebih dulu ke dalam karena dia akan menelpon toko tempat di mana dia memesan barang untuk mengantarkan pesanannya. Toko mereka gak jauh dari perumahan di daerah sini. Karin melihat isi dalam rumah, masih terasa kosong karena belum terisi apa-apa. Di kamar depan, baru ada satu tempat tidur yang datang. Damar waktu itu sudah sempat ke sini dan menatanya supaya Karin bisa istirahat di sana. Dia mengajak Karin karena perempuan itu belum pernah ke sini, mengenalkan rumah baru pada istrinya. Ukuran kamar ini seperti ukuran kamar supir dan pembantunya di rumah, setengah dari luas kamarnya. Karin yang biasa tidur di ranjang besar dan memiliki kamar luas, merasa kurang nyaman di sini. Kasurnya gak seempuk yang di rumah, rasanya dia mau pulang. “Gimana rumahnya?” tanya Damar yang duduk di sebelah istrinya yang tengah memakan kentang goreng di pinggir ranjang. “Suka, kok. Mungil gitu.” Karin pua-pura senang. “Tapi nanti kalau udah di sini kita bakalan sering main ke rumah papa kan, Kak?” “Pasti.” “Kak Damar mau?” Karin menyodorkan kentang goreng yang baru dia ambil dari wadah ke dekat mulut suaminya. Saat Damar membuka mulut, Karin terkekeh dan langsung memasukkannya ke dalam. Dia sempat mengecup pipi suaminya, kemudian kembali memakan kentang goreng bersama lelaki yang merupakan ayah dari anak yang dikandungnya. *** Jam empat sore, Karin terbangun dari tidur. Dia sempat bingung kenapa berada di kamar karena sebelumnya duduk di sofa dan menemani suaminya merapikan barang-barang—Karin gak boleh membantu apa-apa. Tetapi kemudian Karin ingat kalau dia ketiduran di sofa ruang tamu karena mengantuk. Sepertinya Damar yang memindahkan dia ke sini.    Karin melirik kearah jendela yang belum terpasang gorden dan mendapati kalau di luar hujan deras. Pantas saja suasananya menjadi lebih dingin. Untuk kamar depan—kamar yang dia tempati sekarang, jendelanya menghadap ke halaman rumah depan. Sementara kamar satunya, jendela menghadap ke halaman belakang. Damar bilang dia memang ingin punya kamar yang memiliki jendela supaya pencahayaannya cukup. Meski sebenarnya nyaman berada di sini karena cuaca dingin dan memang malas berpisah dengan tempat tidur, tetapi Karin tetap mengubah posisi menjadi berdiri dan berjalan ke luar kamar untuk mencari suaminya. Ternyata Damar masih menata barang-barang. Yang awalnya bagian depan berantakan, sudah mulai rapi. “Kakak gak capek? Mau Karin bantu?” tanya perempuan berambut sebahu dan berpipi tembam ini sambil menghampiri Damar yang baru saja menarik meja kayu sedikit ke tengah supaya lebih pas dilihat. “Sebentar lagi selesai.” Dia sempat melirik istrinya sebentar, kemudian kembali fokus dengan kerjaannya. “Di dapur udah ada teh atau kopi? Mau Karin bikinin minuman apa?” “Mm, teh manis hangat boleh. Area dapur udah saya rapikan kok, buat gula dan teh ada di lemari.” “Oke.” Selesai membuat teh untuk dia dan suaminya, Karin kembali duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Dia sempat memoto Damar diam-diam dari belakang kemudian menulis caption sebelum dimasukkan ke snapgram : Beres-beres rumah baru, mau dibantu cuma dia bilang gak boleh capek-capek. Semangat sayang! Beberapa temannya menanggapi snapgram Karin dengan berbagai respons. Intinya iri karena ingin mendapatkan sugar daddy macam Damar juga. Dasar, mereka semua mimpi terlalu jauh! Lagipula dia dan Damar hanya beda 8 tahun. Bukan yang terpaut sampai belasan tahun jadi suaminya bukan daddy-daddy-an. Faye : Waduhhh, jadi gak sabar mau main nih Karin : Hehehe, soon ya! Cuma ya gituuu, suami aku sukanya tipe rumah minimalis jadi dia beli rumahnya gak sebesar papa:( Karin : Mungkin kamu gak akan betah di sini, aku juga sih Faye : Bujuk aja suami kamu buat beli rumah yang lebih besar Karin : Udah, cuma ya gitu gak mempan Faye : Kalo aku jadi kamu aku gak mau pindah, suruh aja dia pindah sendiri Karin : Huh, gak mungkin aku nolak pindah ke sini Karin : Aku gak mau terlalu sering berantem sama dia Faye : Ya udah terserah kamu, aku sih cuma kasih saran aja ya sebagai bestie kamu Faye : Oh ya say, beli dong dagangan aku, ini aku jual tas bantu tante aku Faye : Dia udah bosen katanya, tapi masih bagus-bagus kaya baru karena emang cuma dipake satu atau dua kali Faye : Jual rugi aja katanya gak apa-apa Faye : Tadi Celine juga udah beli, dibeliin pacarnya langsung pas main ke rumah aku hihihi Karin : Iyakah? Faye : He’em, jangan mau kalah dong say, cuma 25 juta kok Karin : Mana tasnya? Mau liat Faye : Wait Karin melihat dua tas yang tersisa yang dikirimkan fotonya oleh Faye. Ada warna maroon dan hitam. Perempuan itu langsung tertarik dengan warna maroon, kelihatan cocok dengannya. Tetapi kalau dia bicara langsung pada Damar dan minta dibelikan tas seharga segitu, Karin yakin suaminya keberatan. Apalagi sedang banyak pengeluaran untuk membeli perabotan di rumah baru. Faye : Gimana? Minat? Kalo enggak sih sayang banget ya, harga asli itu 80 jutaan tau Karin : Kata suamiku boleh, aku ambil yang maroon Faye : Oke sayang, nanti kukirim nomor rekeningku ya, thanks babe Karin sempat menyesap teh manis hangat yang ada di atas meja. Dia melirik kearah suaminya yang baru saja duduk di sebelah dia. Damar ikut meraih cangkir satu lagi yang masih berisi penuh, kemudian meminumnya. “Kak Damar, mm … tadi Faye nawarin Karin beli tas. Kakak beliin buat Karin, ya?” lirihnya sambil menggigit bibir bawah. Dia agak takut, apalagi saat melihat kalau wajah lelaki itu berubah menjadi tanpa ekspresi. “Dua hari lalu kamu baru beli tas baru, kan? Memang buat apa beli banyak tas?” Mendengar reaksi suaminya, Karin cemberut. “Temen aku beli di Faye, dibeliin sama suaminya, jadi aku juga mau. Gengsilah kalau aku gak beli.” “Berapa?” Karin gak menyebutkan nominal 25 juta. Dia cuma minta sedikit dari Damar, untuk sisanya biar dia minta diam-diam sama papa. “Lima juta. Abis ini enggak deh. Aku janji gak banyak belanja lagi.” Damar sempat menghela napas, sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, nanti saya transfer ke kamu. Janji ini terakhir kamu belanja tas di bulan ini, ya? Kamu harus belajar mengatur uang mulai sekarang.” Kedua sudut bibir Karin terangkat ke atas. “Iya. Makasih, Sayang.”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD