Chapter 2

1218 Words
Kevin baru saja selesai bertemu klien di Mall dan saat ia pulang untuk bersiap pergi ke perjamuan makan malam rekan kerjanya, Kevin justru berpapasan dengan Almira, wanita yang pernah sangat Kevin cintai saat SMA sebelum perjodohan sialan itu membuat hubungannya berakhir dengan Almira. “Kevin,” dengan ramah Almira menyapa Kevin, “apa kabar?” tanya nya. Kevin melihat lelaki yang ada di samping Almira, “Aku baik. Bagaima denganmu? Lama gak ketemu,” kata Kevin basa basi padahal ia ingin marah melihat orang yang hingga saat ini masih ia cintai justru berjalan bersama pria lain. Almira mengangguk, ia menggandeng tangan lelaki yang ada di dekatnya, “Kenalin ini suami aku, Ilyas, maaf aku gak undang kamu pas acara nikahan, soalnya aku gak tau rumah kamu di mana dan kita juga lose kontak.” Ucap Almira. Debaran jantung Kevin berdetak jauh lebih kencang, sudah terbukti bahwa Almira bukan jodohnya dan Kevin tidak akan mendapatkan cinta pertamanya itu lagi, terlihat perut Almira yang membesar. “Senang deh kalau kalian bisa hidup bahagia, oh ya semoga anaknya nanti lahir sehat ya.” Kevin lalu pura-pura melihat jam tangannya, “aku masih ada yang mau di kerja, kayaknya lain kali boleh deh reunian bareng.” Kata Kevin. Almira mengangguk. Kevin pun lantas pergi dengan kekesalan memuncak di pikiran, ia tidak pernah merasakan semarah ini, tapi gejolak dalam diri Kevin tak bisa di kendalikan, ia masih mencintai Almira tapi wanita itu sudah bahagia dengan keluarganya. Jika saja perjodohan itu tidak ada pasti Kevin lah yang akan menjadi suami Almira, perjodohan yang di terima Kevin pun juga akhirnya gagal karena pasangan Kevin memilih lelaki yang dia cintai, Kevin tidak mempermasalahkan hal itu tapi yang ia permasalahkan adalah hatinya yang tidak bisa move on dari cinta pertamanya sampai sekarang. Kevin tidak kembali ke hotel setelah dari Mall, ia melupakan jadwal pertemuannya dengan mitra bisnisnya demi hanya meluapkan kemarahan dengan meneguk alkohol, ponselnya berdering berkali-kali tapi di abaikan. Kepalanya saat ini sangat pusing, melihat Almira dengan perut buncitnya membuat Kevin iri, harusnya ia yang membuat Almira mengandung bayinya bukan dari lelaki lain, tapi selalu saja penyesalan ada di belakang. Beberapa tegukan di habiskan oleh Kevin, kepalanya sampai terasa tambah pusing tapi setidaknya bisa mengurangi sedikit beban pikiran mengenai sosok Almira. Kevin membayar lalu pulang ke hotel menggunakan taksi, dengan kondisi mabuk tidak memungkinkan Kevin mengemudikan mobil. Ketika tiba di hotel di mana kamar yang ia pesan berada, ada seorang perempuan berdiri di depan pintu, awalnya perempuan itu mengajak Kevin berbicara tapi suaranya bahkan tak bisa Kevin dengarkan. Pintu Kevin buka, perempuan tadi pun ikut masuk, otak Kevin yang di penuhi dengan Almira justru melihat perempuan itu adalah sosok Almira, masih sangat cantik seperti saat SMA dulu. Kevin kehilangan Kendali, rasa cintanya masih cukup besar untuk Almira sehingga perempuan yang ia anggap sebagai Almira menjadi pelampiasan Kevin untuk nafsunya yang tiba-tiba muncul. ___ Pagi hari Kevin terbangun, kepalanya pusing luar biasa saat ia bergerak untuk duduk. Kondisinya dalam keadaan kacau, tak ada sehelai benangpun yang ia pakai di tubuhnya saat turun dari tempat tidur. Kevin bergegas masuk ke kamar mandi, menghabiskan beberapa menit di dalam sebelum keluar dan ia di kejutkan dengan bercak darah di atas tempat tidur. Ponsel juga berdering, segera Kevin mengambil ponsel yang tergeletak di bawah tempat tidur. “Ada apa Rin?” ucap Kevin pada adiknya. “Kak, semalam ada cewek yang bawa bajunya kakak gak?” “Siapa?” tanya Kevin tak paham, Kevin mulai mencari sesuatu di kamar hotel nya karena tidak ingat siapa yang mengatarkan bajunya sampai ke sana, sebuah tas tergeletak di dekat pintu. “Karyawanku yang nganterin baju kakak semalam, tapi sampai sekarang belum balik ke butik, kak Kevin beneran gak tau dia di mana?” “Yang nganterin cewek atau cowok?” tanya Kevin, ia benar-benar tidak ingat apapun dengan kejadian semalam. “Cewek, masih muda terus imut lagi kayak bocah smp.” jawab Karin. Kevin melihat ke atas tempat tidur, tangan nya menyugar rambut ke belakang, kepalanya terasa berkali lipat tambah pusing. “Jadi semalam bukan mimpi?” batin Kevin ketika melihat ada bercak darah di atas tempat tidur, tapi sungguh ia tidak melihat dengan jelas siapa perempuan yang ia tiduri semalam karena ketika bangun sudah tidak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri di kamar tersebut. “Kak! Kamu sama karyawan aku gak!” seru Karin. “Aku gak tau!” jawab Kevin lalu mematikan panggilan dan duduk di sofa dengan perasaan tidak karuan, Kevin memijit keningnya yang terasa nyut-nyutan saat semalam yang ia kira adalah Almira ternyata adalah karyawan Karin. Kevin berdiri menarik selimut yang ada di atas tempat tidur lalu membuang selimut itu ke lantai. “Bagaimana kalau cewek itu nanti minta tanggung jawab?” batin Kevin. _____ Di lain itu, hujan sudah turun sejak pukul setengah delapan tadi. Langkah kaki Liora yang sempoyongan berjalan ke arah sebuah pemakaman, menghampiri gundukan tanah yang belum lama ini di buat untuk menjadi peristirahatan terakhir sang ibunda. Tangis Liora bercampur dengan hujan, matanya sudah merah sejak berjalan memasuki area pemakaman, Liora duduk di dekat makam, mengusap pusara dengan tangis sesegukan. “Maafin Liora, bu. Liora gak bisa jaga kesucian Liora sampai hari pernikahan.” Katanya di sela isakan tangis. Liora memeluk pusara, menangis bercampur hujan, tidak ada tempat mengadu yang bisa membuat Liora nyaman, semua segala keluh kesal Liora akan di ceritakan pada sang ibu tapi beliau sudah tiada. Satu-satunya keluarga yang masih Liora miliki juga pergi untuk selamanya, Liora memeluk pusara seolah sedang memeluk ibunya. Rasa sakit dari perlakuan Kevin semalam masih di rasakan oleh tubuh Liora, ia sudah kotor, tidak bisa di anggap suci lagi. Membayangkan perlakukan Kevin semalam semakin membuat Liora tambah menangis. Pemakaman yang sepi membuat Liora tak peduli akan raungan tangisnya, ia menumpahkan kesedihan di depan makam sang ibu sampai perasaannya lebih baik. Entah sudah berapa lama Liora berada di makam itu, hujan juga masih belum reda, jari-jari tangan Liora sampai berkerut karena terlalu lama terkena air. Setelah lama di dekat makam sang ibu, akhirnya Liora memberanikan diri untuk kembali ke butik. Butik adalah satu-satunya tempat yang membiarkan Liora tinggal secara gratis saat bekerja menjadi salah satu karyawan di sana, rumahnya sudah di jual untuk melunasi hutang, kini Liora benar-benar hanya sebatang kara. Saat kembali ke butik, tanpa sengaja Liora berpapasan dengan Karin dan calon suaminya, wajah Karin sangat khawatir melihat penampilan Liora yang basah kuyup. “Liora kamu dari mana aja kenapa telpon aku gak kamu angkat, terus kenapa kondisi kamu basah kuyup kayak gini?” ujar Karin. “Maaf mbak, saya tadi ke makam ibu terus hp nya habis daya jadi gak bisa jawab panggilan mbak Karin.” ucap Liora. “Syukurlah kalau gak apa-apa, bikin cemas aja, yaudah kamu masuk cepat ganti baju nanti bisa masuk angin loh,” kata Karin lagi, Liora mengangguk lalu berjalan ke dalam butik lewat pintu samping. Liora berdiam di dalam kamar mandi, membiarkan pancuran air shower semakin membuat tubuhnya basah kuyup. Sakit, hal itulah yang masih saat ini Liora rasakan, sepertinya tidak ada obat yang bisa membuat rasa sakitnya cepat menghilang, setelah mandi dan kembali berpakaian Liora membaringkan diri mencoba membuat tubuhnya rileks, setidaknya bayangan Kevin yang menyentuhnya semalam bisa menghilang. Namun percuma, Liora mencengkeram bantal sampai kusut menahan teriakan geram yang ia rasakan, tapi apa yang sudah terjadi tak bisa di ulang kembali, hal itulah yang membuat Liora kembali menangis. _____ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD