bc

Karma's Blessing

book_age18+
3
FOLLOW
1K
READ
HE
decisive
police
gangster
tragedy
bxg
secrets
like
intro-logo
Blurb

Bandung dengan cuacanya yang cenderung sejuk, penduduknya yang terkenal penuh dengan ide cemerlang, siapa sangka akan menjadi tempat semua mimpi buruk bangkit kembali. Setidaknya demikian bagi Brigita.

Dalam upayanya menata karir yang diharapkan akan cemerlang, Brigitha tidak pernah menyangka akan kehilangan orang terpenting di tahun pertama ia telah resmi menjadi seorang detektif. Bukan hanya sosok berpengaruh dalam Tim Investigasi 4 : Kekerasan dan Kejahatan, Panji merupakan seseorang yang Brigitha yakini akan menemaninya di setiap waktu makan malam.

Brigitha kehilangan Panji saat tengah melakukan pengintaian. la pikir hal itu merupakan bagian terburuk dan resiko dari profesi yang telah ia pilih. Tapi resiko seperti itu apakah normal ?

Di tengah upayanya untuk merelakan Panji, sebuah kasus pembunuhan harus segera ditangani Tim Investigasi 4 : Kekerasan dan Kejahatan. Brigitha tidak pernah mengira bahwa kemudian hal itu bermetamorfosis menjadi rentetan mimpi buruk dan malapetaka yang terus mengejarnya tiada akhir. Apa ia masih berani untuk berharap seseorang datang meraih dan menyembunyikannya dari tangan - tangan mengerikan yang kerap kali menarik dan merobek jiwanya? Harapan terakhir yang Brigita pernah miliki adalah dia yang telah hilang .

Tapi, Panji tidak mungkin kembali.

chap-preview
Free preview
Chapter 1 : Bad Omen
2019 Suara air hujan bergemuruh membasahi seluruh permukaan mobil sedan abu yang parkir sembarang depan sebuah toko kelontong, tutup. Mobil ini jelas bukan milik yang punya toko kelontong, tapi kendaraan asing bertengger di sisi jalan ini juga bukanlah pemandangan yang aneh. Sudah hampir empat hari parkir di tempat yang sama, dan selama itu pula tidak ada satupun warga yang menghampiri sedan merk Toyota Corolla Altis itu. Siapa yang sangka jika dilihat lebih seksama dan agak susah payah, mungkin seseorang bisa melihat dua siluet pria yang duduk di kursi depan. Pria berumur 43 tahun, duduk di belakang setir, baju hangat ala kadarnya sedikit membantu menghangatkan diri. Misting bekal makanan dibiarkan tidak habis di dashboard mobil. “woi!” Pria itu menendang pelan kaki seseorang di sampingnya. “awas ya kamu kalau sampai tidur..” Satu lagi penghuni mobil, mendesah kesal. Terlihat jelas dari raut wajahnya, pria ini sedang dalam kondisi hati yang tidak bersahabat. “Si Panji mana sih, Pak? Telat nih dia ah!” Namanya Puji, pria 31 tahun. “Ck sabar… ini hujan, ya susah kesini-nya.” Pria yang tidak terlalu berusaha keras menenangkan keluhan Puji merupakan senior sekaligus kepala tim detektif tim 4, Yazi Wijaya. Sejujurnya, ia juga sedikit kesal. “Lagian, bukan cuma Panji yang telat.” Suasana dalam mobil sunyi lagi, mereka kembali bergulat dengan isi kepala masing-masing. Meski begitu, pandangan keduanya tertuju pada satu bangunan yang sama. Rumah sederhana berlantai dua. Sederhana? Untuk sebuah rumah berlantai dua, bangunan ini memang terlihat sederhana. Warna cat yang sudah berubah jadi sedikit coklat, pagar yang tidak terlalu tinggi, tanaman liar tidak terurus, terlebih lagi secara kasat rumah ini hanya seluas 3m x 4m. “Udah empat hari, ga ada yang masuk atau keluar dari sana.” Puji mulai bicara, seolah lupa rasa kesal yang sedari tadi menggodanya. “Yakin Pak ini Ice house?” Ice House istilah yang Pak Yazi gunakan sebagai samaran untuk rumah atau tempat yang mereka akan intai. Dan sekarang semua anggota tim sudah terbiasa menggunakan nama-nama menggelikan sebagai ‘samaran’. “Baru empat hari, saya pernah ngintai rumah hampir dua minggu.” Puji menoleh kaget ke arah seniornya. “Kasus pesta obat di perumahan elit.” Jelasnya tanpa ditanya. Pak Yazi memang sudah lama berkecimpung dan terlibat dalam dunia penyidikan, tak terhitung berapa kasus yang pernah ia campuri. Meskipun Tim 4 adalah tim pertama yang ia pimpin, fakta itu tidak membuatnya menjadi ciut untuk menyombongkan diri sebagaimana biasanya kebanyakan senior lakukan. “Woah~ dua minggu?!” Puji bertepuk tangan tanpa menghasilkan suara. Dia baru ingin bertanya lebih lanjut lagi ketika suara ketukan datang dari jendela kaca di samping kirinya. Tuk Tuk! Puji sedikit terlonjak kaget, namun begitu ia lihat siapa pelakunya rasa kaget itu berubah dengan cepat menjadi kesal dan gemas. Puji menekan tombol yang menempel pada pintu mobil dengan tidak sabar untuk menurunkan jendela secara otomatis, belum juga turun sepenuhnya si kaca yang menghalangi, Puji cepat-cepat menekan tombol kebalikannya. Puji mengeluh kesal lagi, “Sial…”. Dia lupa kalau di luar sedang hujan deras. Sekarang wajahnya basah kuyup. Puji menyapu kasar wajahnya dengan tangan, dan menyusutkan-nya ke celana jeans hitam yang ia kenakan. Kunci pintu mobil dibuka oleh Pak Yazi dan membiarkan dua orang yang sedari tadi di tunggu mengisi bagian belakang mobil. Suasana mobil kini jauh dari sunyi. “Woooohh…. basah semuaaa!” Selamat datang Panji, pria 28 tahun, andalan tim. “Maaf terlambat, hujannya besar banget..” Brigitha, perempuan 25 tahun, baru satu tahun bergabung di tim 4 Divisi Kejahatan dan Kekerasan. “Ck! Sekalian aja besok baru dateng.” Puji mengambil handuk kecil dan lap kanebo dari laci dashboard kemudian melemparnya ke kursi belakang. “Hadeuuh, awas ya nanti kalau minta saya back up shift kalian.” Panji dan Brigitha sibuk menggunakan lap untuk mengeringkan tubuh mereka. Tidak banyak yang bisa diselamatkan, sepertinya mereka harus membiarkan panas tubuh mengeringkannya secara alami. “Di bawah kursi ada tas isi beberapa kaos bersih.” Panji dengan sigap meraih tas di bawah kursi yang ia duduki dan menarik ransel berwarna hitam. Dia mengambil satu kaos pria berwarna putih dan memberikannya pada Brigitha, dan yang berwarna hijau army untuk ia pakai. “Hmmm… bapak leader satu ini memang terbaik!” serunya sambil menyimpan kembali ransel tersebut ke bawah kursi. Sumber cahaya dalam mobil hanya berasal dari senter hp milik Puji, itu pun baru dinyalakan untuk membantu Panji mengambil kaos dan berganti baju. Setelahnya, mereka membiarkan Brigitha berganti baju dalam gelap. Cahaya dari dalam mobil bisa berisiko membuat pengintaian mereka disadari, apalagi di malam hari. Maka dari itu, sebisa mungkin jangan menggunakan cahaya terlalu lama atau sering. “Gimana?” Pertanyaan ini Panji lontarkan sembarang, membiarkan siapa saja di antara Puji dan Pak Yazi untuk menjawabnya. Sambil mendengarkan penjelasan hasil dari pengintaian, Panji membentangkan sarung milik Puji dan membuat sekat untuk menutupi Brigitha yang hendak berganti baju. Meskipun gelap, Panji tidak mau mengambil resiko seseorang melihat sesuatu… yang tidak seharusnya dilihat. Setelah selesai, Panji melempar sarung itu ke atas kepala Brigitha berupaya mengeringkan rambut ala kadarnya tapi kemudian menyerah dan membiarkan Brigitha melakukannya sendiri. Tim penyidik tim 4 kini sedang melakukan penyelidikan berkenaan dengan kasus pembunuhan terhadap beberapa orang mahasiswa. Sebenarnya menemukan pelaku dari kasus ini tidak terlalu rumit, Pak Yazi bisa saja secara langsung mengajukan surat penahanan dan meminta polisi untuk langsung menangkap pelaku. Tapi kasus ini tidak hanya berkenaan dengan kasus kekerasan dan kejahatan semata. Penyelundupan dan kepemilikan senjata api tanpa izin, dan kemungkinan bahwa ini juga merupakan kejahatan yang terorganisir, membuat Pak Yazi dan tim harus mengumpulkan lebih banyak bukti. “Tha, tadi ketemu Jos?” Satu lagi anggota tim ini, Joso Raharjo, 35 tahun. Joso merupakan anggota yang paling jarang ikut serta dalam pengintaian, bukan karena ia enggan, tapi Pak Yazi lebih membutuhkan pria itu untuk kepentingan lain. “Hmmm” , Brigitha mengiyakan. “Jenis senjatanya udah dapet, sama dengan yang kita temuin. Tapi harus nunggu paling lama 36 jam untuk info asal nomor seri.” “Semoga nomor serinya gak ada.” Setiap kepala dalam mobil mengiyakan dan mengamini dalam hati. Selain pejabat dan petugas yang berwenang, warga biasa tidak diperbolehkan memiliki senjata api jenis apapun. Senjata api baik yang diproduksi dalam negeri maupun hasil impor akan diberikan nomor seri yang dilaser disetiap senjata, sebelum akhirnya bisa digunakan. Nomor seri itu yang kemudian akan menjadi alat ‘lacak’ asal senjata, digunakan untuk kepolisian daerah mana, tempat penyimpanan, hingga pengguna akhir. Kalau ternyata nomor seri ini terdaftar secara resmi, kelalaian aparat mana yang berulah? Alangkah lebih baik jika nomor seri itu cuma hiasan, dan kasus ini hanya berkenaan dengan senjata ilegal atau penyelundupan. Sehingga mereka tidak perlu berurusan dengan 'pejabat' manapun. Jam menunjukan 22.54 malam, sudah hampir satu jam melewati pergantian shift dan Puji sudah tidak sabar untuk segera sampai merebahkan tubuhnya di atas kasur. Meskipun masih sedikit hujan setidaknya tidak sederas sebelumnya. “Pak, ayo. Saya nginep di kantor.” “Ckck, hari keberapa ini?” Panji tertawa kecil sambil membuka pintu mobil untuk pindah dan mengisi tempat duduk Puji. “Pulang, mama nanti khawatir.” “Diam kamu! Kurang ajar ya!” Puji yang masih berada di dalam mobil sedikit mengeraskan suaranya. Meskipun cuacanya sedikit dingin, ditambah lagi rambut dan sebagian dari pakaiannya yang masih basah, Brigitha merasa hangat memperhatikan ‘percekcokan’ ini. Meskipun Brigitha baru satu tahun bergabung dengan tim ini, meskipun kasus-kasus yang mereka tangani kebanyakan mengerikan dan sering menghiasi tidurnya, meskipun mereka lebih sering adu mulut daripada serius membahas pemecahan masalah, ia merasa mendapatkan satu keluarga baru. “Ack!” Panji seketika menghilang dari pandangannya. Cipratan darah mewarnai jendela samping Puji. Untuk sepersekian detik, Brigitha merasa waktu berhenti berjalan bertolak belakang dengan degup jantungnya yang berdebar kencang. “Suppressor 1” bisik Brigitha pada dirinya sendiri. “Arah tembakan dari Ice-house.” Kami ketahuan. “Brigitha, cek Panji.” Pak Yazi mulai memberikan instruksi. Tanpa harus diperintah dua kali Brigitha bergerak, ia membuka pintu yang sebelumnya digunakan Panji. Wanita itu menyiapkan diri, apapun yang terjadi pada Panji pada detik ia membuka pintu ini, Brigitha harus terus berpikir logis. Sedetik saja ia kehilangan akal, tidak hanya dirinya yang akan dalam bahaya, seluruh anggota tim juga terancam. Senjata api G2 Combat digenggam kuat oleh masing-masing kepala, tapi senjata ini sangat tidak mampu melindungi mereka dalam ‘pertarungan’ jarak jauh. Lawannya tidak seimbang, jika ingin selamat mereka harus cerdik dalam mengambil setiap gerakan. Brigitha menghela nafas berat saat ia melihat Panji bersandar di sisi mobil. Sebenarnya, keadaan Panji jauh lebih baik dari apa yang ia bayangkan. Jika bukan karena noda merah yang ada di lengan atas kirinya dan cara pria itu mengambil setiap udara untuk memenuhi paru-parunya, Brigitha akan menganggap pria itu tidak terluka sama sekali. Brigitha duduk di samping Panji, turut bersembunyi di sisi mobil. Pandangannya tidak pernah lepas dari lengan Panji yang terluka. “Jarak kita dengan rumah itu sekitar empat puluh meter,” Brigitha memutuskan untuk mengalihkan rasa cemas dengan melontarkan analisanya pada Panji, meski besar kemungkinan pria itu tahu lebih banyak darinya. “Terlalu jauh untuk melawan. Ini cuman bisa jarak dekat, at least dua puluh-an meter.” Brigitha menunjuk pistol di tangan Panji dengan dagunya. “Ditambah, meski jelas darimana asal tembakan itu, kita gak tahu posisi pasti si penembak ” Malam hari ditambah dengan rintik hujan yang tidak kecil, Brigitha membentur pelan kepalanya ke mobil. “Mereka bahkan punya sniper.” Brigitha mengangguk setuju, sedikit memalukan jika melihat hanya dari apa yang sedang terjadi saat ini. Brigitha adalah seorang detektif, ia bekerja untuk negara dibawah naungan kepolisian negara. Tapi para penjahat itu malah memiliki dan menggunakan senjata yang lebih bagus daripada petugas resmi? Ironi. “Pan.. luka kamu” Seperti yang baru menyadari bahwa ia terkena tembak, Panji mencoba mengangkat tangannya sedikit. Ia mendesis sakit dan mendesah tertahan. Brigitha menyobek ujung kaos yang ia pakai dan mengikat kain tersebut pada luka Panji untuk menghentikan pendarahan. Setelah itu ia baru teringat untuk merapikan rambutnya dengan asal. Pergerakan tangan Brigitha sedikit terhenti setelah mendengar suara ketukan dari dalam mobil. Ketukan yang dihasilkan berirama dan menyita perhatian kedua orang yang saling duduk berdampingan. Brigitha segera menyelesaikan ikatan rambutnya dan kembali fokus kepada bunyi ketukan tersebut. Kode Morse. Seseorang berusaha mengatakan sesuatu kepada mereka, mungkin Puji atau Pak Yazi yang saat ini masih berada di dalam mobil. Apa yang disampaikan sebenarnya tidak terlalu banyak, hanya saja orang itu mengulang-ngulang kata itu. Panji dan Brigitha bertukar pandang. ‘Datang’ Ada yang datang? Siapa? Dari mana? Brigith mendengar suara kendaraan datang dari arah jalan asal mereka datang semula. Panji memaku pandangannya pada benda kotak berjalan di belakang Brigitha, entah apa yang ada dalam pikirannya, apapun itu membuat Brigitha merasa harus memperhatikan kendaraan itu juga. Mobil blindvan berjalan menuju ke arah mereka, sekitar lima meter lagi mobil itu akan melewati mobil penyamaran Pak Yazi dan tim. Brigitha sempat yakin bahwa mobil itu merupakan mobil bantuan yang dikirim untuk mereka, tapi keyakinannya pudar. Seingat Brigitha, plat nomor yang terpasang di mobil van itu tidak pernah ada di gudang mobil milik kepolisian. Brigitha baru akan memberitahu Panji bahwa sepertinya mobil itu milik warga biasa, tapi suaranya terpaksa ia telan kembali dengan paksa. Panji sudah tidak ada di sampingnya. Degup jantung Brigitha yang baru saja tenang dipaksa untuk berdebar lebih cepat lagi. Ia panik saat menyadari Panji tengah berlari dan bersembunyi di balik kendaraan yang kini terus berjalan melewatinya dan maju menuju Ice-house. Brigitha dapat menebak ide gila apa yang Panji rencanakan, dan itu membuatnya takut setengah mati. Pada saat itu, Brigitha yang baru saja satu tahun menjadi seorang detektif, meskipun sudah melalui tes dan pelatihan yang tidak terhitung jumlahnya, saat itu, saat Panji ia lihat berlari memasuki pagar rumah setan, Brigitha hilang kendali. Malam itu, yang kau lihat dalam mata perempuan itu hanyalah rasa takut. Rasa takut yang sepatutnya sudah ditinggal jauh sejak ia memutuskan melakoni peran ini. Yang kemudian membuatnya semakin ketakutan tidak bisa bangun dari mimpi mengerikan ini. Maka Brigitha harus berlari, supaya terbangun, ia harus menggerakkan seluruh badannya dan berlari secepat mungkin. Lari! Meski saat pandangannya berubah menjadi kabur, ia sudah putuskan untuk berlari. Figur Panji kemudian menghilang di balik pagar rumah, Brigitha beranjak dari tempatnya semula bersembunyi. Belum sempat tubuhnya meninggalkan sisi mobil, beberapa peluru ditembakan kembali, meskipun tidak ada satupun peluru yang berhasil menggores kulitnya, Brigitha tetap dipaksa kembali meringkuk. Kali ini tanpa berhenti, peluru itu terus menghujam mobil yang di dalamnya masih ada dua pria lagi. Brigitha tidak tahu pasti bagaimana keadaan Pak Yazi dan Puji, tapi dia yakin mereka akan baik baik saja, bertolak belakang dengan seseorang yang baru saja masuk ke kandang singa. Di tengah tembakan peluru yang terus datang, terdengar suara letusan senjata api dari Ice-house. Suara tembakan itu sangat lantang membuat sakit telinga yang mendengar. Entah bagaimana, Brigitha tahu kalau suara itu berasal dari senjata yang Panji punya. Semuanya kacau, peluru-peluru yang dengan bengisnya terus mencoba melukai siapa saja yang ada di mobil sedan abu itu, letusan senjata api Panji yang terus menerus bekerja, dan sirine bantuan kepolisian yang akhirnya datang. Semuanya terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari delapan menit. Singkat, tapi terasa begitu lama. Keadaan dapat diambil kendali oleh kepolisian tidak lebih dari lima belas menit, seluruh senjata api ilegal yang digunakan dan disembunyikan dalam Ice-house sudah disita. Jumlah pelaku kejahatan yang tertangkap ada lima orang, mereka semua berhasil ditangkap hidup-hidup, dengan hanya luka tembak. Itu semua bagus, tapi bukan hanya itu yang Brigitha ingin tahu. Brigitha dengan rekan satu timnya yang lain berpencar memeriksa seisi bangunan rumah, semenjak bantuan datang Panji belum terlihat sama sekali. Hal ini sangat aneh mengingat bahwa Ice-house hanya memiliki satu akses pintu yang sama untuk keluar dan masuk. Jadi, seharusnya jika Panji memang keluar, siapapun akan melihatnya. Namun hingga akhirnya langit terlihat lebih cerah pun keberadaan Panji masih belum ditemukan. Satu hari.. Dua minggu.. Satu bulan.. Panji menghilang disapu angin malam, terbawa aliran dari rintik hujan. Pria itu menghilang diiringi alunan letusan senjata api. Hilangnya seorang detektif menggemparkan kepolisian, segala upaya dikerahkan untuk mencegah bocornya informasi kepada pihak media. Tapi apa yang terjadi hari itu terlalu menarik perhatian banyak orang, terlalu banyak saksi mata yang kemudian berubah menjadi sumber informasi. Hilangnya Panji menjadi headline news selama hampir tiga bulan, tapi posisi berita tidak membantu kemajuan dalam penyelidikan. Panji masih menghilang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

My Secret Little Wife

read
97.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook