2014
“Kamu janji sama Ayah, Githa.”
“Maaf, Yah..”
Makan malam yang paling tidak nyaman menurut Brigitha. Bukan karena makanan yang tidak sesuai dengan selera, atau Ayah dan Ibu yang sedang perang dingin. Brigitha merasa tidak nyaman untuk duduk lebih lama karena atmosfer tidak menyenangkan ini dia lah penyebabnya. Brigitha menyesalkan keputusannya memilih waktu ini untuk membuat sedikit kekacauan.
Bagaimana kalau semua orang kehilangan selera makan karena ini? Brigitha menundukkan kepalanya lebih dalam.
“Kalau kamu menyesal, lakukan seperti yang sudah kita sepakati sebelumnya.”
Brigitha sontak mengangkat kepalanya lagi dan memohon pada Ayahnya, “Yah… please.” Tapi Ayah tidak bergeming, tidak berhasil, Brigitha meminta bantuan Ibu.
“Ibu… setuju dengan Ayah. Kamu sudah janji nak.”
Tapi bukan Brigitha namanya jika ia menyerah begitu saja, dia harus mendapatkan apa yang ia mau, selain itu dia sudah membulatkan tekadnya. Karena perempuan itu sudah memulai, maka ia harus berhasil saat ini juga. “Maafin Githa yang ingkar janji, tapi Githa bener-bener sudah bulat. Githa udah yakin.”
Pernyataan Brigitha itu tidak langsung dijawab baik oleh Ayah maupun Ibu. Suasana meja makan sunyi sesaat sampai akhirnya satu lagi penghuni rumah memutuskan untuk bicara. “hm… Aku ke kamar duluan ya, sudah gak lapar.”, Giyas, anak tertua dari dua bersaudara alias kakak Brigitha.
“Gak ada yang boleh meninggalkan meja ini. Kamu tahu aturannya, Giyas.”
Brigitha merinding dan menelan ludahnya cemas, Ayah benar-benar dalam mood yang tidak baik sekarang, dia baru saja mengeraskan suaranya. Meskipun Brigitha penyebab situasi tidak mengenakkan ini, tapi rasanya Brigitha ingin menghujat Giyas.
Giyas kembali ke tempat duduknya.
“Kamu tahu alasan kenapa kami tidak setuju?” Ayah bertanya pada Brigitha. Putri bungsu itu tahu, ‘kami’ yang Ayah maksud adalah Ayah dan Ibu. Giyas tidak pernah mencampuri keinginannya.
Brigitha mengangguk dan menjawab, “Ayah khawatir, dan aku… perempuan.” Brigitha ingin menolak dan mengatakan bahwa ia tidak setuju beribu kali dengan apa yang baru saja ia sendiri katakan. Tapi ia tahan, bagaimanapun juga, Brigitha sangat menghormati orang tuanya.
“Perjelas. Kamu mahasiswa, bicara layaknya mahasiswa.”
Brigitha duduk tegak dan menarik nafas dalam, “Ayah dan Ibu khawatir. Menjadi seorang polisi punya resiko dan beban kerja yang besar. Kriteria intelijennya kompleks lalu… kemampuan fisik juga penting banget, khususnya bela diri.” rasanya Brigitha tidak ingin melanjutkan. Dalam hati Brigitha dengan tulus bertanya ‘Memang kenapa kalau aku perempuan? Apa salahku?’, dia sangat ingin Ayah menjawab pertanyaan hatinya, tapi lagi-lagi diurungkan niatnya. “Aku… pekerjaan yang Githa mau ini, bisa membahayakan diri sendiri di kemudian hari. Pekerjaan ini tidak-- kurang cocok untuk perempuan.”
Brigitha bisa mendengar Ayah menggumam setuju, puas dengan semua yang ia katakan. Bukankah Brigitha juga seharusnya merasa sedikit lega karena berhasil menjawab sesuai dengan yang Ayah harapkan? Tapi, kenapa dadanya malah terasa semakin sesak?
Ayah mengambil gelas dan meminum hampir setengah dari isinya. “Kamu jelas mengerti alasan Ayah dan Ibu. Kalau kamu belajar seni bela diri untuk melindungi diri, itu bagus, kami tidak keberatan. Tapi, jadi seorang polisi, kemampuan bela diri bukan hanya untuk melindungi kamu sendiri Githa. Kelak kamu akan pakai itu untuk mengejar penjahat. Istilahnya, dengan profesi itu, bukannya kamu akan terhindar dari kejahatan tapi kamu-lah yang akan mendekati mereka. Kekhawatiran kami, apa salah?”
Brigitha sudah tidak percaya lagi dengan suaranya, maka ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Ayah masih ingat kamu bersikeras ingin memilih jurusan kriminologi dan janji tidak akan memilih profesi yang berbahaya. Meskipun bagi Ayah, jadi jurnalis khusus kriminalitas itu sama saja bahayanya.” Ayah tidak melihat Brigitha, pandangannya terpaku pada gelas yang setengah isi. Ayah mendesah nafas panjang, seolah-olah dia sudah menyesali apa yang akan dikatakan kemudian. “Sekarang jelaskan, kenapa Brigitha ingin jadi polisi? Detektif? Buat Ayah mengerti tentang apa yang kamu mau. Kita lihat, kamu bisa meyakinkan Ayah atau ga.”
Ibu memandang Ayah dengan tidak setuju terlihat jelas diraut wajahnya.
Brigitha melihat Ayah dengan pandangan tidak percaya, matanya panas, perasaanya juga campur aduk. Meski belum pasti apakah pada akhirnya Ayah akan mengijinkannya atau tidak, setidaknya Brigitha melihat harapan. Ayah memberikannya kesempatan menjelaskan, dan Brigitha tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja.
Maka Brigitha kembali memperbaiki duduknya, menelan ludahnya lagi, dan menghadapkan badannya pada Ayah. Harus mulai dari mana Brigitha menjelaskan? Memikirkannya saja sudah membuatnya senang.
Lalu Brigitha menjelaskan banyak hal termasuk bagaimana ia berencana akan mengikuti tes masuk pelatihan kepolisian dan penyelidikan, bagaimana ia akan dilatih bela diri juga sehingga Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir tentang keselamatannya. Tentu saja itu semua baru akan terjadi jika Ayah mengijinkan. Baru sampai akhirnya Brigitha menyampaikan alasan dibalik keinginannya, “Githa ingin paham alasan di balik kejahatan yang mereka buat. Alasan yang bukan hanya disimpulkan dari teori dan kebiasaan yang selama ini Githa pelajari, Yah. Tapi alasan yang benar-benar keluar dari hati dan pikiran mereka. Githa ingin mengerti dan memahami mereka.”
"Gimana caranya kamu akan ngerti mereka?" Ibu bertanya.
"Nanya langsung ke mereka Bu. Jadi detektif, aku akan punya banyak kesempatan untuk bisa interaksi dengan mereka secara langsung dan berusaha memposisikan sudut pandangku dari kacamata mereka.”
Reaksi Ibu diluar dugaan. Ibu mengelus dadanya sambil melihat Brigitha seperti habis melihat hantu. Apa ada yang salah dengan ucapannya? Sepertinya tidak, bagaimanapun Brigitha memikirkannya, ia merasa ucapannya baik-baik saja. Setidaknya memang itu yang ia rasakan.
Jantung perempuan berusia 20 tahun itu berdegup sangat kencang, tidak ada satupun orang yang memberikan tanggapan setelah itu. Ayah, Ibu maupun Giyas diam.
Brigitha tiba-tiba merasa tidak nyaman. "Yah?"
Ayah tidak menjawab.
***
Awalnya Brigitha ingin menutup pintu kamar dengan sangat keras kemudian menguncinya. Tapi seperti baru tersadar, Brigitha langsung mengurungkan niatnya dan menahan ayunan pintu dengan sekuat tenaga. Hufft, dia bisa mati kalau benar melakukan itu. Ayah pasti akan langsung mendobrak pintu kamarnya dan memarahi Brigitha habis-habisan. Terbayang jelas kata-kata yang akan dilontarkan.
'Ini anak ga ada rasa sopan sama sekali ke orang tua! Hidup masih numpang lagaknya sudah sombong! Mau jadi apa kamu kalau sikap saja ga bisa dijaga!'
Brrrr! Membayangkannya saja sudah bikin bergidik. Brigitha terduduk canggung di atas kasurnya sendiri. Isi kepalanya penuh dengan…
Ayah… tega banget ngasih aku harapan palsu! Kalau memang ga akan ngasih ijin, ngapain minta aku jelasin panjang lebar!
Gadis itu teringat bagaimana emosional dan semangatnya dia mencoba mengambil hati Ayah dengan pidato panjangnya. Lebih parahnya lagi, Brigitha ingat kalau dia hampir nangis tadi. Sial! Meskipun dia melakukan itu semua di depan keluarganya sendiri, tetap saja Brigitha malunya bukan main.
Rasanya ingin teriak saja dia sampai serak, tapi tidak bisa! Kalau mereka dengar, mereka akan tahu Brigitha sedang mengalami mental breakdown saat ini.
Gak bisa! Mereka ga boleh tau kalau Aku kesel.
Brigitha berbaring dan kemudian menendang udara dengan anarkis. Kalau udara benda berwujud dan padat, sudah hancur pasti oleh tendangan gila gadis itu. Setelah lelah dengan 'olahraga' yang ia lakukan, Brigitha kembali mengisi pikirannya. Dia mulai berencana untuk tetap memilih peminatan yang ia mau tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu, baru saja ia menyusun skenario supaya tidak ketahuan jalan pikirnya diganggu oleh suara ketukan pintu kamar.
"Brigitha, ini Ayah."
"Ya Yah? Masuk aja…"
Ayah masuk dan mendudukan dirinya di atas kasur tepat di samping Brigitha berbaring. Ayah menepuk lutut Brigitha dua kali. Dengan malas Brigitha bangun dari tidur dan duduk 'baik'.
"Mau tau kenapa Ayah tetap ga ijinkan? Bukan tentang seni beladiri serius deh…" Ayah tersenyum dan mengacak rambut Brigitha yang memang sedari awal tidak rapi. Brigitha menggelengkan kepalanya, ia tidak tertarik untuk tahu alasan Ayah. Pria yang belum terlalu tua itu mendesah pasrah, “Pengertian tidak selalu merupakan hal yang baik Githa. Ada kalanya lebih aman jika kamu melihatnya sesuai dengan apa yang dengan jelas terlihat.”
Brigitha memandang Ayah, ia berusaha memproses maksud dari perkataan Ayah.
"Kalau kamu mencoba mengerti alasan apa yang dimiliki seorang penjahat, apa kamu tidak akan jadi 'mentolerir' kejahatan mereka?"
"Bukan itu maksud Githa."
"Memang bukan, tapi garis pembedanya hanya sehelai benang. Robin hood, dia mencuri banyak dari orang-orang kaya yang menurutnya tidak baik, kemudian memberikan semua hasil curiannya kepada orang miskin dan tidak mampu. Kita semua sepakat kalau mencuri itu kejahatan kan?"
Brigitha mengangguk.
"Tapi kamu mengerti alasan Robin hood mencuri itu baik sekali ya?" Brigitha mengangguk lagi.
Brigitha tahu maksud perbincangan Ayah kemana. Ayah tidak mau pengertian yang ingin Brigitha miliki membuatnya terkecoh atau keliru dalam membedakan perilaku kejahatan. Tapi Brigitha rasa, Ayah malah mengkhawatirkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Tentu saja Brigitha tidak akan terkecoh, "Tetap aja, Robin hood harus dihukum, Yah."
Ayah tersenyum lagi, "Tapi pengertian yang kamu punya itu sudah menghilangkan kejahatan lainnya yang dia lakukan. Akhirnya berkurang-lah beban hukumannya.."
Brigitha mengerutkan keningnya. Menghilangkan kejahatan? Apalagi memang yang Robin hood lakukan? Semua orang tahu dia itu pencuri. Memang apa lagi?
"Penyerangan dan pembunuhan kepada penjaga rumah bangsawan. Apa salah penjaganya? Mereka cuma pekerja biasa, melakukan tugas mereka. Tapi kamu tahu apa yang lucu? Hampir semua orang yang tahu cerita Robin hood hanya melihat kejahatan pencuriannya dan kebaikannya terhadap orang miskin. Kita semua hampir tidak bisa melihat kejahatan dia yang lainnya."
Brigitha merasa seperti habis melakukan bucket ice challenge, disiram air penuh es! Sebagai mahasiswa yang setiap hari mempelajari berbagai jenis kejahatan dan hukum bagaimana bisa Ayah lebih jeli dibanding dirinya sendir? Ia tertunduk.
Ayah kembali mengacak rambut Brigitha dan kemudian beranjak pergi.
"Ayah.." Panggil Brigitha. "Ini-kan cuma peminatan perkuliahanku. Belum tentu juga nanti apa aku bakal beneran jadi detektif atau ga. Kenapa?"
Kenapa Ayah bersikeras menolak dan berusaha biar Aku berhenti?
Ayah membalikkan badannya dan menghadap Brigitha, pintu kamar sedikit terbuka. “Ayah ga tahu bagaimana kamu akan memproses ucapan Ayah ini nanti. Tapi Ayah harap kamu menangkap maksud baik Ayah. Ayah kenal anak-anak Ayah. Tentu tidak ada yang tau pasti apa isi suratan takdir. Tapi, Ayah yakin kalau kamu tidak Ayah cegah sejak awal dari peminatan ini, kemungkinannya makin besar kamu bisa jadi apa yang kamu mau."
Ayah menekan tombol power lampu kamar Brigitha yang tepat di samping pintu. "Yang setidaknya bisa Ayah lakukan saat ini itu memperkecil kemungkinannya, Ya kan?”
Ayah menutup pintu dengan pelan dan meninggalkan Brigitha sendiri dalam gelap.
Entah sudah berapa lama Brigitha berbaring sambil menatap lekat langit-langit kamarnya. Perbincangannya tadi dengan Ayah membuka banyak hal dalam pikiran Brigitha, dan ia bersyukur akan hal itu. Sampai akhirnya ia sampai pada;
Kalau gitu, yang cuma bisa aku lakukan itu memperbesar kemungkinannya
Ya kan Yah?