Chapter 3 : The First Blessing

1416 Words
*** Tidak terasa sudah tiga tahun sejak kali pertama Brigitha bergabung (2018) dengan Tim Investigasi Empat (TI-4) : Kekerasan dan Kriminal. Tahun pertama merupakan masa awal kerja yang sangat menyenangkan dan penuh tantangan bagi Brigitha. Meskipun mengatasi kasus kekerasan secara langsung bukanlah hal yang cukup ‘menenangkan’, tapi sungguh saat itu Brigitha tidak pernah tahu bahwa ia bisa merasa sangat b*******h dalam bekerja. Baru di tahun ke-dua Brigitha menyadari bahwa menjadi polisi bukan sesuatu yang bisa ia temukan nikmat suka dan dukanya. Dunia kejahatan tidak berisi pelangi dan kuda poni. Sama sekali tidak. Hilangnya Panji menjadi titik balik semua keyakinan yang ada pada diri Brigitha, ia mulai mempertanyakan setiap keputusan yang pernah ia buat. Mungkin seharusnya Brigitha tidak terlalu yakin dengan apa yang ia kejar? Tidak seharusnya begitu yakin pada diri sendiri. Haruskan ia menyisakan setidaknya sedikit keraguan diri? Sudah tak terhitung berapa kali Brigitha berdiri di depan rumah Panji. Setiap kali, ia tidak bisa membawa dirinya untuk langsung masuk dan hanya membiarkan dirinya untuk berdiri mematung. Sampai akhirnya seorang wanita tua selalu menghampiri dan menariknya untuk segera masuk. “Apa kamu ndak cape berdiri terus disana?” Brigitha dibawa langsung ke dapur, aroma kolak pisang menyerbu penciumannya. “Kalau emak cape harus bawa kamu masuk terus.” Brigitha membawa tangannya dan menggenggam tangan Emak lembut, tersenyum melihat raut khawatir yang sangat jelas di hadapannya. “Emak bikin kolak? Sekarang kan belum masuk puasa?” “Kamu ini, memangnya bikin kolak harus pas ramadhan?” Emak mematikan kompor dan mengambil empat buah mangkuk untuk diisi hidangan yang baru saja selesai dibuat. Namun seperti baru mengingat sesuatu, Emak menyimpan kembali satu mangkuk dan hanya membawa tiga buah bersamanya. Brigitha ingin menangis melihatnya. “Sini Mak, biar Brigitha aja.” “Hmm jangan, kamu...tolong panggilkan Abah saja di kamar.” Brigitha mengangguk dan segera bergegas mencari Abah. Rumah ini memanglah bukan kediaman Brigitha ataupun keluarganya, Emak dan Abah juga bukan miliknya. Tapi, satu hal yang membuatnya merasa terikat begitu erat dengan semua itu. Perasaan sayang mereka pada Panji, dan rasa sakit yang dirasakan saat kehilangan pria baik itu. Saat Panji masih… disini, Brigitha pernah dibawanya ke rumah ini, bertemu Emak dan Abah. Brigitha sedikit terkejut saat melihat bahwa keluarga ini begitu hangat dan segar, sangat berbeda dengan apa yang Brigitha alami tiap pulang kerumah. Tapi Panji seperti membawa itu semua pergi bersamanya, sekarang rumah ini terasa lebih dingin. “Abah…” Brigitha memanggilnya dari ambang pintu, tidak berani masuk sebelum Abah melihat dan mengijinkannya. Abah sedang duduk di ujung kasur, pandangannya terjebak di halaman rumah yang bisa terlihat dari jendela kamar. Perlahan Abah menoleh ke belakang dan memandang Brigitha, butuh beberapa waktu untuk Abah mengenalinya, dan Brigitha dengan sabar menunggu. Hingga akhirnya pria tua itu tersenyum padanya dan beranjak dari duduk, berjalan menghampiri. “Sudah lama sekali kamu tidak kesini.” Suara Abah sedikit berat dan serak. “Brigitha rutin kesini tiap minggu, Abah.” jawabannya sangat lembut dan halus, sampai rasanya tidak terdengar. “Oh ya?” Abah berhenti berjalan karena terkejut. “Hmmm, kamu datang pas Abah tidur pasti. Lain kali bangunin Abah ya.” Brigitha menangguk. Meski percakapan ini selalu persis terjadi di setiap minggu kunjungannya, Brigitha tidak pernah bosan. Dan Brigitha tidak pernah mengubah jawabannya tiap kali. Mereka berdua berjalan perlahan menuju dapur, Abah menggenggam lengan Brigitha sebagai penyeimbang langkahnya. Emak sudah duduk rapi dengan tiga buah mangkuk berisi kolak pisang di atas meja. *** 2021 “PAGI !!!!!!!!” “hei hei bawa apa itu? Sini, sini simpen disini!” “hehe… tau aja pak saya bawa oleh-oleh.” “hmm hmm, buka.” “ini jambal roti, khusus saya beli untuk dibawa kesini.” Pembuat keributan itu Joso, hari libur kemarin (Minggu) dia gunakan untuk pergi ke pantai bersama keluarganya. Terbayang tidak menyenangkan menghabiskan liburan ke pantai kurang dari satu hari, ditambah jarak yang lumayan jauh untuk ditempuh, apa yang bisa dinikmati? Tapi ternyata Joso menikmati waktu singkat berliburnya, dia post banyak sekali poto-poto dirinya bersama keluarga dan pemandangan indah ke akun i********: miliknya. Dan juga ke grup chat mereka, untuk memanas-manasi. Dan sekarang semua anggota tim memandangnya kesal dan cemburu. “Tunggu,” Joso menarik kembali bingkisan oleh-olehnya. “uh Pak, hari ini saya…” “Terlambat.” Pak Yazi menebak dengan tepat. Merasa telah dimengerti, Joso tersenyum dan mengulurkan bingkisannya kembali sambil mengangguk dengan semangat. “Hehe, mohon bantuannya Pak.” tersenyum malu. Pak Yazi mengambil bingkisan itu, melihat isinya dan mulai mengelilingi ruang kantor mereka. Beliau mengambil satu pack ikan jambal roti dan opak kemudian memberikannya kepada Brigitha yang menerimanya dengan senang hati. Kemudian sampai pada mejanya sendiri untuk menyimpan hal yang sama. Dan pemberhentian terakhir di meja Puji, kali ini Pak Yazi berhenti lebih lama sambil mengatakan. “Kamu ambil kartu absensi Joso, catat jam berapa dia masuk, terus kasih cap merah di samping tanggalnya. Cepet.” Puji berdiri dengan semangat dan memberikan hormatnya sambil menahan tawa, “Siap laksanakan!” Kemudian berlari secepat kilat menuju ruang absen. Joso menyaksikan semua itu dengan kecewa dan kembali berusaha merayu Pak Ketua. “Pak, ayo dong… saya ga sempet tidur sama sekali. Saya bener-bener berusaha banget biar ga telat.” Pak Yazi meremas kantong plastik yang sudah tidak ada isinya dan melemparnya ke Joso. Sambil menjepit kepala Joso tepat di bawah ketiaknya ia berkata “Bisa-bisanya kamu mau suap saya dengan oleh-oleh murah?! Harga ketua-mu ini cuma kamu anggap segitu?! Kurang ajar!” Kekuatan lengan polisi memang tidak main-main. Meski Pak Yazi tidak sepenuhnya serius dengan ‘pencekikan’ ini, Joso tetap merasa nafasnya sedikit tercekat dan meminta ampun dengan menepuk-nepuk punggung Pak Yazi. Adegan penyiksaan itu dihentikan oleh bunyi telepon masuk. Brigitha menyapu serbuk kering opak yang sedang ia nikmati ke celana jins-nya sebelum menjawab telepon tersebut. “Tim Investigasi Empat, ada apa?” Telepon yang ada tepat di samping pintu masuk kantor mereka merupakan berupa interphone, jika ada telepon masuk maka artinya ada ‘pekerjaan’ yang harus diselesaikan. Brigitha mendengarkan dengan seksama semua informasi yang diberikan oleh si penelepon dan terlihat sesekali menuliskan sesuatu pada kertas kecil yang tersedia tepat di samping interphone. Panggilan berakhir. Brigitha menarik nafas panjang sebelum menyampaikan apa yang baru saja ia dengar. “Pembunuhan, guru SD Cahaya Bulan daerah Jalan Merak.” Kalimat itu cukup dapat membuat isi ruangan yang semula berisik menjadi hening. Tidak ada satupun dari mereka yang merasa baik saat mendengar berita seperti ini, itu tetaplah berita buruk bagaimanapun bentuknya. “Ck! SD?!” Pak Yazi bertolak pinggang sehabis mendengar kabar itu. “Brigitha cek TKP dengan Puji. Tim forensik pasti sudah disana, seperti biasa Jos kamu komunikasi dengan mereka. Kita lembur.” Semua berpencar dan melaksanakan tugas masing-masing. Puji yang baru saja kembali, Brigitha tarik kembali keluar bersamanya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa saat Brigitha jelaskan kasus yang TKP-nya akan segera mereka kunjungi. Puji juga tidak menolak saat Brigitha bilang bahwa ia yang akan mengemudi, padahal Puji selalu bersikeras untuk mengemudi kemanapun dan dengan siapapun ia pergi. SD Cahaya Bulan terletak tepat di sisi jalan lalu lintas yang tidak terlalu besar dan berada di samping pasar tradisional kecil. Brigitha menduga area sekolah akan ramai oleh murid-murid dan warga sekitar yang penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Sejujurnya ia juga sedikit berprasangka bahwa para ‘penonton’ juga akan mengeluarkan smartphone masing-masing dan merekam apapun yang menarik untuk disebarkan. Namun apa yang saat ini ia lihat dari balik kaca mobil adalah sesuatu yang jarang sekali terjadi. Memang ada kerumunan warga yang mengacungkan smartphone setinggi mungkin, tapi mereka semua hanya berkumpul di luar lingkungan sekolah. Gerbang sekolah ditutup dan dijaga dengan ketat. Brigitha dan Puji menunjukan kartu pengenal mereka dari dalam mobil kepada polisi yang menjaga gerbang masuk dan kemudian memarkirkan mobil tepat di samping pos satpam. Mereka diantar oleh salah satu polisi menuju TKP. Dalam perjalanannya, Brigitha melewati beberapa kelas berisi anak-anak dengan kisaran umur 7 sampai 10 tahun, saling berdesakan menempelkan diri pada jendela, berebut pemandangan lalu-lalang manusia berseragam dan orang-orang asing yang mereka tidak ketahui profesinya. Di setiap pintu kelas dijaga oleh seorang guru untuk memastikan tidak ada satu anak pun yang keluar. Masih pukul 10 pagi, jam paling produktif di sekolah. Brigitha mengernyitkan kedua alisnya atas gambaran besar yang saat ini sedang terjadi. Di tempat yang penuh harapan, keceriaan dan masa depan, terjadi sesuatu yang semengerikan ini. Brigitha penasaran, apakah anak-anak ini tahu apa yang telah terjadi pada mungkin salah satu guru kesayangan mereka? Apa mereka juga tahu, bahwa siapapun yang ada di sekolah ini bisa menjadi tersangka? Apa ini akan menjadi mimpi buruk pertama mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD