Brigitha melewati garis polisi, yang dipasang tepat di ambang pintu toilet khusus guru. Toiletnya cukup besar dan terdapat empat kamar kecil. Ruang toilet diisi sekitar lima petugas forensik, dua orang memotret beberapa gambar, dua orang memeriksa keadaan korban dan satu orang lagi berdiri diam mengamati seluruh area dan sewaktu-waktu memberikan instruksi. Puji menghampiri petugas itu dan mengajukan beberapa pertanyaan. Brigitha diam turut mendengarkan, hingga akhirnya seluruh detail area TKP sudah diambil gambarnya, barulah detektif wanita itu berani ‘berkeliling’ area.
Toilet ini sangat bersih, kontras sekali dengan toilet yang dipakai oleh murid, hanya lewat saja bisa tercium bau tak sedap. Setiap bilik toilet memiliki peralatan lengkap mulai dari tempat sampah, tissue, dan pewangi ruangan yang digantung di setiap samping kiri bilik. Toilet duduknya juga bersih. Bahkan Brigitha sempat melihat daftar absen pegawai piket kebersihan yang di paku di pintu masuk toilet, kebersihannya sangat terjaga.
Brigitha melihat dengan seksama korban yang terduduk di atas Toilet Duduk, tidak berdaya masih dengan seragam dinas yang melekat pada tubuhnya. Yang menarik perhatian Brigitha adalah adanya alat suntik yang tergeletak di lantai toilet dan tidak jauh dari itu terdapat sebuah box kecil berwarna putih biru. Brigitha tidak bisa melihat lebih dekat karena dalam bilik toilet itu sudah ada dua petugas forensik yang sedang mengumpulkan dan melindungi barang bukti.
“Tha…” Brigitha menoleh ke arah Puji dan mengangkat alisnya. Rekan prianya itu memberi sinyal padanya untuk keluar ruangan dengan menunjuk ke arah pintu menggunakan ibu jari. Setelah mereka berdua keluar Puji langsung menyalakan rokoknya.
“hey…” Brigitha mencolek lengan Puji dengan sedikit keras hingga ia mendesis sakit. “Ini masih di lingkungan sekolah.”
“Oh..” Dengan ekspresi kesal ia memasukan kembali batang nikotin itu ke dalam kotak khusus.
“Gak ada tanda-tanda kekerasan atau paksaan di area sekitar korban.” Puji mulai menyampaikan apa yang ia dapat dari hasil perbincangannya dengan salah satu anggota forensik. Brigitha mengangguk setuju.
“Aku lihat ada alat suntik, kalau disimpulkan hanya dari beberapa petunjuk ini, kayanya korban memasukan cairan entah apa itu ke dalam tubuhnya sendiri dan akhirnya…” Brigitha mengernyitkan keningnya, ada sesuatu yang janggal dari semenjak ia menerima kasus ini. “Ini malah lebih kelihatan seperti bunuh diri. Ya, kan?”
“Kita harus tunggu hasil otopsi dulu. Pak Dedi bilang dia bisa usahakan hasilnya keluar cepat.”
“Cepet gimana? Orang korban aja masih ada di dalem, belum diangkat.” Brigitha memutuskan untuk meninggalkan TKP dan pergi ke arah lain. Puji mengejarnya, “Kemana?”
“Minta rekaman CCTV. Tadi aku lihat beberapa titik dipasang kamera.” Puji bergumam mengiyakan dan menyamakan irama langkahnya dengan Brigitha.
“Kalau gitu aku coba cari info lain.”
Dengan begitu Brigitha dan Puji berpisah untuk mengerjakan tugas mereka masing-masing. Brigitha kembali menghampiri ruang pos satpam dan bertanya mengenai kamera dan rekaman CCTV. Terdapat sekitar lebih dari lima puluh kamera yang dipasang di bangungan SD Cahaya Bulan, lebih dari yang diperlukan sebenarnya bagi Brigitha. Ditambah lagi bahwa semua kamera itu berjalan dan berfungsi dengan baik. Ia penasaran untuk apa saja kamera sebanyak itu.
Brigitha tidak bisa berkata apapun begitu sampai pada ruang kendali. Ia disambut dengan layar LED ukuran 86 inch yang ditempel di tembok sana dan di bawahnya terdapat meja panjang dengan beberapa alat kendali juga dua orang petugas yang mengawasi. Tempat ini bukan sembarang sekolah, fasilitas dan teknologi yang tersedia menggambarkan jelas latar belakang murid-murid yang bersekolah disini. Meskipun ini adalah hal wajar karena SD Cahaya Bulan adalah sekolah swasta, tapi tetap saja ini kali pertama Brigitha menyaksikan sekolah seperti ini.
Jika memang ini pembunuhan, orang bodoh seperti apa pelakunya?
Setiap ruangan dipasang kamera termasuk ruang kelas. Hanya toilet yang ‘bersih’ dari intaian, itupun sudah terpasang kamera di koridor depan toilet. Brigitha menanyakan apakah ada satu tempat saja yang tidak dipasang kamera atau menjadi blind spot, setelah tiga menit Brigitha tidak menerima jawaban apapun. Jika begini, artinya segala kegiatan penduduk sekolah ada dalam rekaman, dan itu menjadi kabar baik dan buruk bagi Brigitha. Kabar baik, akan lebih mudah membaca apa yang terjadi. Kabar buruknya, ia harus lembur dan memeriksa semua file video satu per satu.
“Sigana eta eweuhan da.” Salah satu petugas kepada rekannya yang lain. Telinga Brigitha berkedut mendengar bahasa yang ia tidak mengerti. (‘Sepertinya itu tidak ada.’)
“Ah maenya! Cing cek heula, urang asa pernah ningali.” Petugas itu melakukan sesuatu pada alat kendali di hadapannya dan kemudian layar di depan Brigitha berpindah-pindah ‘scene’. Dari Cam 1 sampai Cam 58, berganti dengan cepat. “Oh he’euh eweuh ningan.” (‘Ah masa sih! Coba cek terlebih dahulu, sepertinnya Saya pernah lihat.’) (‘Oh iya tidak ada ternyata’)
“Ceuk urang ge naon ah sia mah.” Dari intonasi yang digunakan, sepertinya orang itu habis memenangkan suatu perdebatan, tebak Brigitha. “Ada satu tempat yang ga ada kameranya, teh.” (‘Apa kataku! Ah kau ini!’)
Brigitha sedikit terkejut ketika petugas itu mengubah bahasa bicaranya dalam satu detik dan berdialog dengannya dalam Bahasa Indonesia. Brigitha berdehem, “Ekhm, oh ya? Bisa tolong anterin saya, Pak?”
Tempat yang tidak terdapat kamera pengintai ternyata adalah tempat pembuangan sampah yang ada tepat di belakang bangunan kelas yang menjulang tinggi. Brigitha bisa mendengar suara celoteh murid-murid yang ada dibalik tembok. Pembuangan sampah ini tidak kecil dan tidak terlalu besar juga, banyak sekali kantong sampah yang ditumpuk disini. Tidak heran, seluruh sampah yang ada di SD Cahaya Bulan akan berakhir disini.
“Kapan biasanya ini diangkat, Pak?
“Hari Selasa, Kamis, Sabtu.”
“Jam?”
Petugas yang diketahui namanya Mamat itu melihat sesuatu di belakang, dan Brigitha mengikuti arah pandangnya. Dari jauh terlihat sebuah truk sampah mendekat dan berhenti di balik gerbang. Seorang petugas keamanan membuka gerbang itu lebar dan membiarkan beberapa orang masuk untuk mengambil sampah-sampah itu.
“Kabeneran pisan euy! Jam gak pernah tentu, sedatangnya saja, yang penting sesuai dengan jadwal harinya.” Pak Mamat tersenyum. Brigitha membalas senyum itu. Mereka menunggu hingga mobil truk sampah sudah dengan aman memarkirkan bak mobilnya dekat dengan tumpukan sampah yang siap diangkut. Setelah mesin mobil dimatikan, satu orang penumpang dan pengemudi mobil truk tersebut turun dari mobil. Brigitha menyatukan kedua telapak tangannya dan mengangguk kepada pak sopir untuk memberi salam.
“Dibawa kemana Pak ini?” Pak sopir hanya melihatnya dengan tatapan aneh dan tak menjawab sama sekali. Mungkin tidak terdengar, maka Brigitha hendak mengulang pertanyaannya lagi. Tapi, belum sempat Brigitha berucap, Pak Mamat menyela untuk membantunya.
“Dicandak kamana cenah euy?”
Seperti baru tersadar dan mengerti apa yang dikatakan, Pak sopir mengangkat kedua alisnya dan barulah menjawab. “Oh… Cibatu.”
Brigitha menoleh pada Pak Mamat dan dengan senang hati beliau membantunya menerjemahkan pertanyaan yang kemudian ia ajukan pada pak sopir kedalam Bahasa Sunda.
Brigitha memang bukan penduduk asli kota Bandung, ia lahir dan dibesarkan di Depok sampai akhirnya lulus kuliah dan mengikuti pelatihan kepolisian selama satu tahun lebih. Kemudian ia dapat promosi dan ditunjuk untuk bergabung dengan tim reserse di Bandung ini. Sudah dua tahun di kota Bandung, Brigitha masih belum bisa menggunakan dan mengerti Bahasa Sunda dengan sempurna. Bisa sedikit sih, tapi… ah anggap saja dia tidak bisa. Pak Yazi sudah mengingatkannya bahwa bahasa ini akan sangat membantunya saat melakukan penyelidikan, tapi Brigitha benar-benar tidak bisa belajar apapun. Jangan salah sangka bukannya bodoh, Brigitha menguasai setidaknya empat bahasa asing, hanya saja untuk menambah satu bahasa lagi ke dalam otaknya, rasanya ia tidak akan sanggup.
Dan setelah menghabiskan waktu dua tahun di kota ini, dapat disimpulkan bahwa Bahasa Sunda merupakan bahasa yang sulit dipelajari. Setidaknya bagi Brigitha secara personal.
Sudah mendapatkan file CCTV dan beberapa informasi tambahan lainnya Brigitha berpamitan dengan Pak Mamat, hendak menunggu Puji di mobil. Tapi, belum jauh ia melangkah, Pak Mamat memanggilnya, “Neng Itha!”
“Kenapa, Pak?”
“Saya teh mau nanya, itu si Bu Sarah jadi kenapa?”
Brigitha menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Bukannya ia enggan memberi jawaban, tapi hingga saat ini Brigitha memang belum bisa menyimpulkan apapun. “Sayang banget si ibu teh, masih muda, belum sempat menikah sudah dipanggil sama yang di atas. Padahal baik orangnya, teh.”
Brigitha hanya bisa tersenyum mendengarnya, “Ya, doakan biar saya bisa cari tahu jawabannya ya, Pak Mamat.”
Pak Mamat hanya mengangguk dan menepuk pundak Brigitha sebelum ia pamit untuk pergi dan mempersilahkan detektif wanita itu melanjutkan pekerjaannya. Dengan langkah cepat Brigitha telah sampai di mobil yang terparkir di halaman sekolah. Kali ini ia tidak duduk di belakang setir, biar Puji yang menyetir nanti saat mereka kembali ke kantor.
Setelah mengirimkan pesan singkat bahwa ia menunggu di mobil pada Puji, Brigitha membuka kembali buku catatan kecil yang telah diisi dengan banyak informasi penting. Termasuk nama-nama yang didengar oleh-nya hari ini. Sedang fokus membaca dan menganalisis beberapa skenario Brigitha dikejutkan dengan ketukan di jendela mobil. Ia buka kunci mobil dan Puji masuk membawa beberapa kertas di tangannya.
Keduanya saling mengulas apa yang baru saja masing-masing dari mereka temukan. Puji menjelaskan singkat apa saja yang ia dapat tadi. Tidak ada yang dapat disimpulkan, belum ada. Mereka masih harus membawa informasi ini kepada Pak Yazi dan anggota yang lainnya. Kemudian menunggu apapun hasil yang didapat dari tim forensik untuk kemudian dapat melakukan penyidikan dengan baik.
Dalam perjalanan kembali ke kantor, ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu pikiran Brigitha.
“Ji, lets say kamu yang nemuin korban, apa yang bakal pertama kamu lakuin?”
Tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban, Puji dengan cekatan menyebutkan langkah-langkah yang memang seharusnya ia lakukan jika menemukan seseorang yang tak sadarkan diri. “Cek nadi, kalau masih hidup panggil ambulan. Kalau udah meninggal… cek area--”
Tapi, bukan itu jawaban yang Brigitha ingin cari. “Ih bukan sebagai polisi, um anggap aja kamu orang biasa gak tau apa-apa. Hal pertama yang bakal kamu lakuin apa?”
Sambil menyetir Puji memandang penasaran ke arah Brigitha. “Telpon ambulan?” Jawab pria itu, terdengar tidak yakin.
“Ya, kan? Apapun kondisinya, hal pertama yang akan orang awam lakukan adalah panggil ambulan. Atau, lari ketakutan, manggil siapa saja yang sekiranya ada di sekitar TKP.” Respon Brigitha, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Bisa juga telpon polisi sih. Kalau kamu pilih telpon polisi, kamu mau lapor apa?”
“Okay say it already, saya males mikir.”
Brigitha merubah posisi duduknya dan menghadapkan badan kepada Puji yang masih fokus menyetir.
“Orang biasa gak akan tau apa yang sebenarnya terjadi pada korban hanya dengan sekilas lihat. Please, Pak Yazi aja belum tentu bisa tau dalam sekali lihat. Kita belum bisa mastiin apapun seenggaknya sampai hasil forensik keluar, kan? Apalagi orang biasa!”
Puji mengangguk, “Terus?”
“Kenapa pusat tugas langsung nelpon kita dan bilang kalau ini kasus pembunuhan? Saat itu pasti belum ada satupun petugas yang udah sampai di TKP. Tim forensik aja belum ada.” Puji terdiam terus fokus menyetir. “Memang, waktu kita datang, baik tim forensik ataupun polisi lapangan sudah pasang badan dan mengamankan TKP. Artinya, ketika pusat tugas dapat laporan, kita bukan orang pertama yang mereka hubungi. Tapi, dari mana mereka tahu ini… pembunuhan?”
Brigitha tidak mendesak Puji untuk memberikan respon apapun. Brigitha tahu Puji pasti merasakan ada yang ganjal dengan ini juga.