Chapter 5 : Speculation's Traps

1435 Words
Perjalanan dari SD Cahaya Bulan ke kantor kepolisian Bandung hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit, dalam kondisi lalu lintas yang lancar. Tapi Bandung akhir-akhir ini terasa semakin padat, khususnya di hari Senin. Hari pertama dalam satu minggu, dimana mayoritas aktivitas kembali dimulai. Brigitha dan Puji harus bersabar terkurung dalam kendaraan tanpa AC ini selama lebih dari setengah jam. Hebat sekali rasanya mereka jika hal ini tidak merusak suasana hati. Selama perjalanan, tidak ada satupun yang membuka suara lagi hingga akhirnya mereka sampai di kantor. Keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing, hingga akhirnya Puji selesai memarkirkan mobil patroli, Brigitha bergegas keluar dari kendaraan tersebut. “Kamu duluan ya, aku ada urusan bentar aja.” Ucap Brigitha lewat pintu mobil yang sudah ditutup rapat oleh-nya. “Tha! Laporannya gimana?!” Seru Puji ketika melihat Brigitha terburu-buru memasuki gedung kantor. “Lima menit!” Brigitha memasuki gedung kepolisian sambil berlari kecil ke arah lift. Ia cepatkan langkah kakinya ketika dilihat pintu lift mulai tertutup. Kecil harapannya untuk Brigitha dapat masuk lift, ia sudah siap mengumpat tak karuan ketika kemudian kedua pintu otomatis itu kembali terbuka. Rupanya seseorang dari dalam lift melihatnya dan membantu menekan tombol untuk membuka pintu lift kembali. Dengan nafas yang sedikit terengah, Brigitha menyelipkan ungkapan terima kasih pada penghuni lift. Kemudian suasana menjadi hening. Brigitha dan tim investigasi lainnya bekerja di lantai tiga, dimana Unsur Pelaksana Tugas Pokok berkumpul. Terdapat tim reserse kriminal umum sampai khusus, dan segala hal urusan yang bertugas untuk melayani dan berhubungan langsung dengan masyarakat bertempat. Tapi, bukan itu lantai yang ia akan tuju saat ini. Di lantai empat merupakan tempat Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan berada. Dari sanalah tim investigasinya mendapat perintah untuk menangani kasus yang terjadi di SD Cahaya Bulan ini. Ada beberapa hal yang Brigitha rasa perlu ditanyakan secara langsung oleh-nya. “Ada kasus baru ya?” Seseorang bertanya pada Brigitha. Ketika ia lihat, pertanyaan tersebut datang dari wanita cantik yang terlihat tidak asing baginya. Jika Brigitha tidak salah ingat, namanya adalah Putri. Saking tergesa-gesanya Brigitha, ia baru menyadari siapa saja yang berada dalam lift ini. Putri lanjut bertanya, “Pembunuhan?” Putri berpakaian sangat rapi dan memiliki perawakan yang sangat anggun ditambah dengan rambut yang dibiarkan panjang dan terurai. Cantik. Jika harus dibandingkan dengan Brigitha, sangat berbeda. Maksudnya bukan berarti Brigitha tidak memiliki paras yang cantik, bukan. Hanya saja gaya berpakaian Brigitha memang sesuai dengan pekerjaan lapangannya. Celana jeans biru, sweatshirt kuning saffron yang sedikit longgar dimasukan ke dalam dan dibiarkan terlipat sana sini. Lalu rambut hitam shaggy low yang jadi andalannya dari jaman kuliah. Brigitha hanya membalas pertanyaan Putri dengan sedikit senyuman. Seingatnya, ia tidak cukup dekat dengan Putri hingga membicarakan kasus yang sedang ia selidiki sebagai bahan gosip seperti ini. Untungnya Putri tidak menanggapi serius sikap Brigitha yang tidak terlalu antusias untuk berbincang dengan dirinya. “Aku mendengar percakapan Ratih saat menelpon tim empat pagi ini. Kamu di tim empat itu kan?” Mendengar kalimat ini Brigitha langsung menaruh perhatiannya pada Putri. “Ratih?” tanya-nya. “Iya, meja dia sebelahan banget dengan Aku. hehe, Aku gak sengaja deng-” “Kamu dari Pusat Tugas?” Putri mengangguk. Nah, benarkan? Mereka tidak sedekat itu, Brigitha saja tidak tahu wanita ini bertugas di bagian apa. “Kalau begitu, bisa tolong antar aku ke Ratih? Ada beberapa hal yang harus aku tanyakan.” “Berkaitan dengan kasus itu?” Kasus yang baru saja terjadi pasti sudah tersebar beritanya di seluruh gedung kepolisian ini. Rasanya tidak ada gunanya bagi Brigitha untuk bersikap rahasia atau diam-diam akan kasus ini. “Iya.” Divisi humas dan teknologi informasi dan komunikasi memperkerjakan banyak sekali anggota. Salah satu tugas mereka sedikit banyak seperti customer service, menerima panggilan dari orang-orang yang memiliki tujuan berbeda-beda. Salah satunya, laporan tindak kejahatan. Setelah menerima panggilan itu, mereka akan menghubungi bagian yang bertugas untuk menanganinya. Sesampainya mereka di lantai empat, Putri dengan sigap mengajak Brigitha untuk mengikuti menuju meja kerja miliknya. Disanalah Brigitha bertemu dengan Ratih. Ratih memiliki rambut keriting yang eksentrik, membuatnya mudah terlihat di antara pekerja-pekerja yang lain. Saat Putri menepuk pundaknya dan memberitahukan keberadaan Brigitha, pandangan wanita itu langsung berbinar dan menyambutnya dengan ramah. “Hai!” Ramah sekali, tiba-tiba Brigitha merasa tidak nyaman dan tidak terbiasa berada dalam kulitnya sendiri. Tapi sepertinya Ratih tidak menyadari reaksi spontan Brigitha, dan dengan keramahan yang tidak berkurang kembali bertanya pada Brigitha. “Ada yang bisa kubantu?” Brigitha tertawa canggung, entah kenapa dikelilingi banyak perempuan begini malah membuatnya sedikit kikuk. Mungkin karena dia merupakan satu-satunya wanita dalam timnya, jadi ia lebih terbiasa berada disekitar kumpulan pria. Meski ia memiliki geng wanita sendiri, tapi semenjak lulus kuliah dan mulai bekerja, semuanya jadi sibuk dengan kehidupan masing-masing sehingga jarang berkumpul. Brigitha menyapu rambutnya ke belakang dan membiarkannya jatuh sembarang dengan indah tanpa ia sadari. “Tentang telepon tugas tadi pagi…” “Oh oh! Woah merinding banget waktu Aku dapet panggilan itu.” Sangat bersemangat, Ratih memeluk dirinya sendiri dan memasang ekspresi seakan ia sedang menceritakan sesuatu yang menyeramkan sekaligus menyenangkan. “Suara si penelpon deep banget, dia gak memberikanku kesempatan bicara sama sekali. Dia bilang… uh sebentar, kalau gak salah aku tulis pesannya. Dimana ya... Oh ini! Dia bilang ‘Pemb--” “HAH?! Tulis...” Putri mencondongkan badannya ke arah Ratih dan kemudian berbisik dengan nada sedikit ketakutan. “Ratih, kamu gak rekam perbincangan kalian?” Seperti baru tersadar apa yang baru saja ia tidak sengaja ungkapkan, Ratih menutup mulutnya terkejut dan kemudian menundukkan kepalanya. Wanita itu tidak berkata apapun bahkan tidak melakukan pembelaan apapun dan terus diam. Putri bertolak pinggang, sangat jelas tergambar di raut wajahnya bahwa ia sedang menahan marah dan sedikit takut. Brigitha menghela nafas panjang, ia tidak punya waktu untuk ini. “Lanjutkan dulu ya Ratih.” Bukannya menceritakan isi pembicaraan, Ratih menyodorkan selembar sticky note pada Brigitha. Bertuliskan ‘Pembunuhan SD Cahaya Bulan, hubungkan ke Tim Investigasi Empat Bagian Kekerasan dan Kriminal. Yazi Wijaya.’ Brigitha menggelengkan kepalanya, “Ceritakan dengan lengkap pembicaraan kalian.” Ratih menelan ludahnya dengan gugup, “Seperti yang ku bilang si penelepon itu tidak memberikanku kesempatan bicara sama sekali. Dia langsung mengatakan persis apa yang sudah kutulis di situ. Dan setelah itu dia langsung menutup teleponnya.” Jika ia tidak sedang berfokus pada kasus ini, Brigitha sudah bergidik dengan cara Ratih memilih kata pengganti untuk dirinya sendiri. Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja benar-benar membuatnya ingin segera berhenti berbicara dan pergi. Akan lebih baik jika ia bisa dapatkan file rekaman perbincangan mereka, tapi sayangnya Ratih harus memilih untuk tidak mengerjakan tugasnya dengan tepat untuk kasus ini. “Aku minta data penelepon dan lokasinya bisa?” Ratih mengangguk dan segera mengerjakan apa yang diminta. Brigitha bersyukur ia hanya perlu menunggu waktu lima menit hingga Ratih mendapatkan apa yang ia mau. Tapi dari ekspresi yang tersirat di wajah ‘teman’ barunya ini, sepertinya hasilnya tidak terlalu memuaskan. Dan benar saja, “Nomornya baru diaktifkan hari ini, jam 8 pagi. Dia hanya melakukan satu panggilan, yaitu kesini jam 10.16.” Nomor baru? “Lokasi… masih satu area dengan SD Cahaya Bulan. Jenis ponsel--” “Oke.” Brigitha memotong pembicaraan. "Kamu bisa cari lokasi tepatnya dimana dia aktifkan nomor itu dan lokasi saat dia telpon kesini?" Ratih mengangguk. "Identitas yang dia pakai untuk registrasi nomor?" Ratih sedikit mengernyit, tapi akhirnya dia menyanggupinya juga. "Good. Kirim secepatnya semua info itu ke Pak Joso dari tim investigasi empat. Oke?" Ratih membuat lingkaran dari telunjuk dan ibu jari-nya. Brigitha kemudian segera meninggalkan Putri juga Ratih dan kembali ke ruangannya. Namun, belum sampai sepuluh langkah ia buat, detektif wanita itu menghentikan langkahnya. Brigitha berbalik menghampiri Ratih lagi. Ia mengambil sticky note berwarna hijau dan menuliskan sesuatu dengan tergesa. "Gausah kirim ke Pak Joso. Langsung aja kirim semuanya ke email ini. Semua." Di kertas itu tertulis alamat email pribadi milik Brigitha. Setelah yakin bahwa Ratih paham dengan apa yang Brigitha maksud, ia kini benar-benar pergi. Seperti yang Brigitha duga, bahwa ada yang aneh dengan si penelpon ini. Membeli nomor baru, dua jam sebelum tragedi ini terjadi. Kemudian membuat laporan untuk ditujukan langsung pada tim Pak Yazi. Rasanya seperti, si penelepon sudah tahu apa yang akan terjadi. Dan dia jelas ingin Pak Yazi untuk menangani kasus ini. Kenapa? Kalau terus ditelusuri polanya, rasanya logis untuk membuat dugaan bahwa si penelepon juga tahu apa yang sebenarnya terjadi pada korban. Dan juga siapa pelakunya. Atau… dia pelakunya? Brigitha menggelengkan kepalanya cepat dengan tujuan agar pikirannya kembali netral dan tidak mengambil kesimpulan dengan gegabah. Jika Brigitha sudah menduga siapa pelakunya sedini ini, ia bisa terjebak dengan spekulasi yang dibuat olehnya sendiri. Hal itu bisa beresiko membuatnya buta akan kemungkinan dan juga bukti-bukti yang akan muncul nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD