bc

AWAS, JANGAN JATUH CINTA!

book_age18+
260
FOLLOW
1K
READ
HE
arranged marriage
heir/heiress
drama
bxg
brilliant
polygamy
addiction
like
intro-logo
Blurb

"Pa, jangan kebangetan. Jodoh bukan dari hompimpa atau batu, kertas, gunting!"

Saka dan Raka, yang memiliki wajah bagai pinang dibelah dua, akhirnya merasakan dunia mereka yang santai seperti di pantai, berubah menjadi gonjang-ganjing.

Semua ini berawal dari jatuhnya sebuah pesawat yang meninggalkan tragedi bagi sebagian orang. Seorang wanita muda, yang mungkin lima tahun lebih muda dari mereka berdua, datang mengetuk pintu. Meminta Satrya, papa dari duo pembuat masalah itu, untuk memenuhi janji.

***

"Tanda tangani. Setelah kamu mapan, kita bercerai!"

"Oke. Awas, jangan sampai jatuh cinta!"

***

Jadi, siapa yang akan kalah dan menerima perjodohan ini? Saka atau Raka? Lalu, siapa gadis itu yang tiba-tiba datang dan meminta janji? Akankah mereka benar-benar tidak akan terjebak dalam cinta dalam pernikahan? Ataukah kisah cinta Satrya dan Lisa kembali terulang lagi?

Ini tentang Raka, si tentara pendiam yang hits di sosial media.

Tentang Saka, si polisi yang paling sering suka tebar pesona.

Dan tentang Runa, si reporter cantik yang suka memcari tantangan.

Siapa gadis yang membuat porak-poranda kedamaian keluarga kembar tiga?

(Secuel dari Make Me Love You. Kisah ini tentang perjalanan cinta dari si Kembar Tiga)

chap-preview
Free preview
PROLOG
"Mama harus kembali ke sekarang. Lagi pula, adik-adikmu di rumah sendirian. Kamu di sini harus benar-benar menjalanin tugasmu. Cepet jadi dokter." Wanita paruh baya dengan senyum menyejukkan itu tersenyum kepada gadis berpakaian dokter jaga atau disebut dokter scrub berwarna merah. Saat ini, wanita paruh baya itu menghampiri ke rumah sakit di mana sang anak sedang menjalankan praktek. Alasannya adalah karena sang Anak tidak bisa mengantarkannya ke terminal bus. Di mana bus itu akan menemaninya untuk menyeberang ke pulau seberang. "Mamak seharusnya tidak perlu datang ke sini. Ongkosnya juga mahal, kan? Fai di sini baik-baik saja," ucap gadis cantik bernama Fai itu. Dia tersenyum menatap sang Ibu yang sudah mulai menua. Matanya yang berkaca-kaca membuat pandangannya buram. Sudah sejak memasuki perkuliahan, sekitar hampir empat tahun tidak pulang ke rumah. Inilah mengapa Fai sangat sadar mengapa sang Ibu sampai datang menemuinya. Fai sendiri juga merasa sangat rindu dengan kampung halaman. Hanya saja, biaya yang besar untuk pulang kampung membuat Fai menahan rasa rindu yang membuncah di d**a. Lagi pula, Fai sendiri tahu bahwa biaya kuliahnya ini sangat tidak sedikit. Meskipun sudah terbantu dari berbagai beasiswa yang bisa Fai dapatkan. Jika Fai bisa memilih, mungkin dia ingin langsung pergi merantau ke negeri orang seperti teman-teman sebayanya. Membantu sang Ibu membiayai pendidikan adik-adiknya. Karena sejak sang Ayah meninggal dunia, hanya wanita paruh baya inilah yang menanggung semua beban di pundak. Bahkan sekarang, beban itu membuat tubuhnya membungkuk. Menjadi seorang dokter yang mengabdi adalah keinginan sang Ayah. Juga merupakan cita-cita dari Fai sejak kecil. Sang Ayah yang waktu itu juga seorang dokter, merasakan bahwa terlalu sedikit dokter yang mengabdi di pedalaman. Jadi, sang Ayah berharap bahwa Fai bisa menjadi dokter dan kembali ke kampung halaman untuk mengabdi. "Kamu jangan memikirkan yang lain. Mamak masih bisa menghidupi adik-adikmu. Uang yang kamu dapatkan dalam kerja part time, jangan dikirimkan kembali. Kamu lebih butuh. Di rumah, kami masih bisa makan meski tidak pegang uang," ucap wanita paruh baya itu. Namanya Khotimah. Wanita asli dari salah satu desa pedalaman di kalimantan sana. "Fai tahu. Mamak tidak perlu pergi ke terminal. Fai sudah belikan tiket pesawat agar lebih cepat sampai. Nanti, Fai akan bilang pada Afif untuk menjemput Mamak di bandara," ucap Fai sambil tersenyum. Dia bersiap untuk mengambil tasnya dan mengantarkan Bu Khotimah untuk pergi ke bandara. Fai sudah meminta izin kepada Konsulennya. Agar bisa meminta cuti sebentar untuk mengantar Bu Khotimah ke bandara. Lagi pula, ini pertama kalinya Bu Khotimah naik pesawat. Fai tidak mau Bu Khotimah kebingungan dan akhirnya ketinggalan pesawat karena takut bertanya. "Mamak bisa loh naik bus saja. Nanti nyeberang pakai ferry. Pesawat terbang itu mahal," tolak Bu Khotimah dengan cepat. Dia berpikir untuk mengembalikannya. Uangnya bisa untuk makan Fai selama sebulan atau lebih. "Ini murah. Ada diskon dan voucher juga. Dokter Yisma yang ngasih juga. Beliau dokter yang baik. Selama ini, dokter Yisma yang menjaga Fai. Dokter sekarang sedang ada seminar, jadi enggak bisa nemuin Mamak. Mamak harus terima ini, nanti dokter Yisma marah," sangkal Fai. Dia tidak mau sang Mamak memiliki lebih banyak argumen untuk menolak. "Mamak belum pernah naik pesawat. Dulu Ayah ingin mengajak Mamak ke Jawa untuk bertemu dengan Nenek dan Kakekmu. Sayangnya, Ayah pergi terlebih dahulu. Setelah itu—" "Mamak jangan bicarakan itu lagi. Fai tidak mau Mamak sedih. Nanti, Fai antar Mamak ke bandara sampai check in. Setelah itu, nanti Mamak tinggal tanya sama security dan menunggu. Semuanya akan baik-baik saja," ucap Fai memotong semua ucapan Bu Khotimah. Wanita belia ini tahu bahwa sang Mamak akan mengingat masa-masa sedih dan terhina dulu. Di mana keluarga Ayah sama sekali tidak menerima mereka. "Mamak enggak mau ganggu kamu," lirih Bu Khotimah. "Enggak. Bandara ke rumah sakit sangat dekat. Fai enggak akan lama izinnya. Sebelum Mamak naik pesawat, Fai pasti sudah sampai rumah sakit lagi," ucap Fai dengan cepat. Bu Khotimah tidak bisa lagi mengatakan apapun. Dia dengan cepat mengangguk dan mengikuti sang anak ke tempat parkiran motor. Rumah sakit menyediakan motor untuk para karyawannya yang tidak memiliki kendaraan. Meski tidak bisa dibawa pulang, ini sangat membantu jika salah satu karyawan membutuhkan transportasi. Tidak harus naik angkutan umum yang memakan waktu lama. "Mamak harus sehat-sehat terus. Jangan mikir macem-macem di rumah sana. Fai di sini akan bekerja dan belajar dengan baik. Fai akan jadi dokter kebanggaan seperti Ayah," ucap Fai saat mereka sudah berada di bandara. Mereka baru saja selesai check in dan Bu Khotimah baru saja bersiap untuk masuk ke dalam ruang tunggu. "Mamak tahu. Fai juga di sini jaga kesehatan. Jangan sampai telat makan. Dan jangan sampai meninggalkan Sholat. Ingat, ibadah adalah yang utama. Sesibuk apapun Fai, jangan lupa untuk membaca Al-qur'an. Ini yang terpenting," pesan Bu Khotimah. Fai mengangguk berulang kali. Dia belum beranjak dari tempatnya hingga Bu Khotimah tidak lagi terlihat. Air matanya mengalir dengan sangat deras. Sebisa mungkin, Fai mengusapnya dengan ujung lengan jaket. Berusaha untuk bersikap tegar. Lagi pula, ini bukan perpisahan terakhir dengan Mamak. Mereka akan bertemu kembali saat Fai nanti wisuda. Ya, tinggal setahun lagi. Saat magang, Fai akan memilih yang terdekat dengan rumah. Agar bisa terus berada di samping Mamak dan ikut menjaga adik-adiknya. *** "Fai, lu kenapa?" Gina, salah satu koas yang juga merupakan sahabat Fai, memandang Fai dengan ketakutan. Terutama saat melihat Fai yang sedang meringis sambil memegangi dadanya. Padahal baru saja, sahabat Gina itu baik-baik saja. Kakak perawat yang sedang menjaga ruang poli anak juga memandang Fai dengan khawatir. "Dia enggak kena serangan jantung, kan?" tanya Gina dengan nyleneh. "Kamu udah mau jadi dokter masih aja bikin diagnosa kayak gini," sungut Kak Yumna sambil mendelik. Lalu memandang ke arah Fai dengan khawatir. "Coba kamu atur pernapasan kamu secara perlahan, Fai. Jangan tegang. Aku gak tahu apa yang bikin kamu tegang, tapi sekarang, kamu harus menenangkan diri. Ini bukan pertama kalinya kamu berada di poliklinik anak," ucap Yumna dengan lembut. "Aku juga gak tahu, Mbak. Tiba-tiba sakit aja d**a ini," jawab Fai dengan pelan. Dadanya sudah tidak lagi terasa nyeri, hanya napasnya yang masih terasa berat. "Kalau gitu, kamu minum dulu. Biar nanti ke laboratorium digantikan dengan Gina saja," ucap Kak Yumna. Dia menerima uluran gelas dari Gina, lalu membantu Fai untuk minum teh hangat sedikit. Minuman ini harusnya untuk dokter, tapi bisa nanti diganti. "Enggak perlu, Mbak. Ini udah baikan. Biar Fai saja yang ambil," ucap Fai sambil bangkit dari duduknya. Rasa sakit di dadanya belum menghilang, tapi tidak sesakit tadi. Setidaknya dia sudah bisa berdiri meskipun rasanya cukup lemas. "Yakin?" "Iya, Mbak. Fai baik-baik saja. Jangan khawatir." Melihat Fai yang sudah biasa meski wajahnya sedikit pucat, Kak Yumna hanya bisa membiarkannya. Wanita yang berusia lima tahun lebih tua dari Fai itu berpikir bahwa Fai seperti ini mungkin karena Ibunya sudah kembali ke kampung halaman. Jadi, Kak Yumna sendiri mencoba untuk maklum. Karena memang, Kak Yumna sendiri sudah mendengar kisah Fai dari beberapa koas yang satu kampus dengannya. "Kak Yum," bisik Gina. Saat Kak Yumna menoleh dan ingin memarahinya, dia melihat wajah Gina yang memucat. "Kamu kenapa? Jangan bilang kalau kamu ikut sakit juga," tanya Kak Yumna sambil tersenyum. Dia merasa bahwa Gina mungkin ingin ikut sakit untuk bisa beristirahat. "Bukan, Kak. Aku serius. Ini," ucap Gina sambil memberikan ponselnya. Kak Yumna akhirnya menghilangkan senyum dari wajahnya. Karena sekarang, dia tahu bahwa Gina sedang tidak bercanda. Jadi, dia langsung mengambil ponsel Gina untuk melihat apa yang terpampang di sana. "Ini—bagaimana bisa?!" pekik Kak Yumna. Dia bahkan merasakan darahnya berhenti beredar ke kepala.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.9K
bc

My Secret Little Wife

read
96.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook