BAB SATU: TRAGEDI

1402 Words
"Selamat sore, Pemirsa! Kita kembali lagi menyaksikan Breaking News, Gendis TV. Kembali lagi bersama saya, Larasati." Fai baru saja sampai di area lobby pendaftaran rawat jalan online ketika pendengarannya mendengar sapaan pembawa acara berita. Awalnya, Fai sama sekali tidak ingin mengetahui apa yang terjadi. Hanya saja, entah mengapa perasaan di dalam hatinya seperti sangat ingin tahu. Jadi, Fai akhirnya berhenti di samping meja security. Dia menatap ke arah televisi besar yang tergantung cukup tinggi itu dengan lekat. "Pemirsa, pesawat Wolf Air dengan nomer penerbangan WJ 106 dikabarkan hilang kontak. Pesawat dengan tujuan Bandara Supadio, Pontianak, ini hilang kontak tidak begitu lama setelah meninggalkan Bandara Soekarno-hatta ...." Fai, yang berdiri untuk menonton sejenak, hanya bisa terdiam. Matanya menatap ke arah layar televisi dengan tidak percaya. Dengan cepat, Fai mengambil ponselnya yang berada di dalam kantong seragam dokter jaganya. Tangannya sibuk mengutak-atik ponsel hadiah dari kampus. Dan tangannya berhenti ketika apa yang dicarinya ketemu. Itu adalah foto yang dikirimkan oleh dokter Yisma tadi pagi. Di mana sebagai tanda bukti pembelian tiket pesawat secara online. "WJ 106," gumam Fai dengan tergagap. Dia benar-benar merasa dunianya tiba-tiba berputar dengan cepat. Pandangan Fai beralih dari layar ponsel ke layar televisi. Lalu menatap ke arah security paruh baya yang sudah dikenalnya. "Pak—" "Faiya!" Fai tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yang dia rasakan hanyalah dunianya berputar dengan cepat, lalu berhenti dengan sangat mendadak. Membuat pandangannya tiba-tiba memburam lalu hitam. Bahkan suara keributan yang berada di sekitarnya tiba-tiba menjadi samar-samar. Seolah-olah semuanya semakin jauh dan berubah hening. Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan. "Faiya!" Gina dan Kak Yumna, yang berniat mengejar Fai, melihat orang yang dikejarnya sudah tergeletak tidak sadarkan diri di brankar. Untungnya, setiap area rumah sakit memiliki brankar dan tabung oksigen untuk pertolongan pertama. Tidak harus berlari jauh terlebih dahulu untuk mengambilnya. "Ini ada apa, Pak Asep?" tanya Gina dengan panik. Dia tahu bahwa kemungkinan Fai akan seperti ini, tapi tidak menyangka bahwa akan secepat ini. Setidaknya mungkin sudah lima menit sejak Fai pingsan. "Kita bawa ke IGD dulu," jawab Pak Asep. Sebenarnya sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari Gina. Pak Asep sendiri berpikir bahwa Gina mungkin juga sudah tahu. Karenanya sampai mengejar ke sini pasti alasannya khawatir. Padahal, ruang poli untuk anak sedang ramai-ramainya. Sebagian dari keluarga pasien rawat jalan itu pasti sudah protes. "Biar aku saja yang ke sana. Gina kembali ke poli, di sana sudah ada Kak Sekar. Selesai poli dan visit, kamu bisa menyusul ke IGD," perintah Kak Yumna. Gina mengangguk dengan setuju. Dia khawatir dengan Fai, tapi tugasnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Dengan ini, Fai masih bisa mencontoh nantinya. Jika mereka berdua tidak berada di tempat secara bersamaan, yang akan rugi tetap mereka berdua. Fai adalah anak disiplin dan pekerja keras. Meski sekarang dia sedang dalam kondisi yang buruk, dia pasti tetap akan memikirkan pendidikannya. Terutama setelah nanti dia berhasil menata hati dan mentalnya kembali. "Tolong bantu, Pak Asep," pinta Kak Yumna setelah melihat Gina kembali ke ruangan poli mereka. Fai harus dibawa ke unit gawat darurat secepatnya. Karena takutnya akan ada komplikasi dari kejutan yang tiba-tiba ini. *** "Saka sialan! Aaaa, b******k!" "Runa, mulutnya!" "Saka mulai duluan, Ma!" "Kalian udah dewasa loh!" "Saka loh, Pah!" Suara berisik dari segala arah membuat Raka, lelaki dengan rambut cepak, menutup buku yang sedang dibacanya dengan kasar. Dia menatap sekeliling sebelum menghela napas dengan gusar. Rumahnya selalu ramai seperti ini. Bagi Raka, lebih enak hidup di barak bujangan, yang meski isinya berbagai macam, setidaknya ada sudut sunyi untuk orang-orang seperti dirinya. "Kalian itu sudah dewasa. Waktu yang lain gak di rumah, saling kangen," ucap Lisa, wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu. Dia meletakkan sepiring kue kacang buatannya sendiri di atas meja. Memandang ke salah satu anak lelakinya yang terlihat gusar. Wajah lelaki yang merajuk itu membuat Lisa merasa gemas. "Yang ribut biasanya Saka sama Runa. Bukan aku, Ma," sangkal Raka. Dia tidak ingin di sangkut pautkan dengan dua orang yang merupakan kembarannya itu. Ya, Saka, Raka, dan Runa, adalah kembar tiga yang dilahirkan oleh Lisa dua puluh lima tahun yang lalu dengan penuh perjuangan. "Tidak usah menyangkal, kalian itu yang paling sering ribut, Bang. Tandai loh, kalian bertiga," ucap Rayden, anak lelaki ke tiga pasangan Lisa san Satrya. Setelah melahirkan Triplet, Satrya dan Lisa cukup lama untuk menunggu kehamilan yang lain. Lisa sendiri sudah merasa cukup dengan tiga bayi kembarnya. Sudah merasa sangat sempurna memiliki mereka bertiga. Namun, Lisa tetap senang menerima dua kehamilan yang lainnya. Rayden hadir ketika Triplet sudah berumur tujuh tahun. Karena ke tiganya sudah cukup besar dan sangat pengertian, Lisa tidak terlalu kesulitan untuk membesarkan Rayden. Bahkan bisa dibilang, Lisa sangat nyaman. Selain karena dibantu oleh Simbok, Satrya juga sudah berubah menjadi suami yang sigap. Bocah ini sekarang berumur delapan belas tahun sekarang. Satrya melihat bahwa dia sangat menyukai bisnis, jadi Rayden sekarang adalah seorang mahasiswa baru di salah satu universitas terkenal di Indonesia. Lisa tidak ingin Rayden kuliah ke luar negeri begitu cepat, meskipun Bude dari anak-anak, Angel, sudah meminta Rayden untuk pergi ke Perancis. "Yang paling enggak sering ribut sebenarnya memang Bang Raka. Cuma dia sering kebawa aja," ucap Sachita. Dia sangat memuja abang pertamanya itu. Meski Saka selalu mengeluh karena Sachita menganggapnya sebagai abang ke dua. "Sachita memang adik Abang yang terbaik!" ucap Raka. Dia memeluk adik perempuan bungsunya ini dengan erat. Padahal Sachita baru saja pulang sekolah dan langsung duduk di sofa sebelah Raka. "Chita, ganti seragam dulu!" pekik Runa. Dia mendelik ke arah Sachita dengan galak. Sachita hanya bisa merengut. Dia lalu beranjak dari duduknya untuk segera pergi ke kamarnya di lantai dua. Siswi kelas sepuluh sekolah menengah atas itu masih merengut saat menaiki tangga. "Kamu selalu mengganggu," dengus Raka. Runa baru saja akan membalas ketika dirinya mendengar suara dering ponsel. Bukan hanya satu buah ponsel yang berdering, tapi lima buah. Dari nadanya, semua orang tahu siapa pemilik ponsel tersebut. Orang pertama yang mengangkat panggilan telepon adalah Raka. Sebagai seorang tentara, Raka tidak pernah membiarkan ponselnya jauh dari badan. Sama dengan Saka yang berprofesi sebagai polisi mereka berdua hampir bersamaan dalam hal mengangkat telepon yang berdering. "Rayden, pindah channel televisinya," perintah Raka. Rayden yang baru saja ingin protes, menelan kembali semua kata-katanya saat melihat wajah tegas Raka. Dia mengambil remote televisi dan memindah channel televisi seperti yang Raka katakan. Hidup selama delapan belas tahun bersama Raka, Rayden sangat tahu apa yang Abang pertamanya itu inginkan. Itu adalah channel televisi yang menayangkan berita. Meski agak sulit mencarinya karena ini adalah jam istirahat. Di mana kebanyakan channel menyiarkan acara keluarga. "Oh, pesawat jatuh!" pekik Rayden. Dia baru saja membaca tagline berita sebelum suara penyiar terdengar. "Raka sepertinya harus kembali ke barak." "Saka juga sepertinya harus kembali." "Runa harus ke kantor." Suara Triplet terdengar secara bersamaan. Raka dan Saka sudah pasti harus melapor karena ada bencana seperti ini. Tugas mereka sebagai abdi negara membuat mereka tidak bisa berpangku tangan. Sedangkan Runa, yang berprofesi sebagai reporter, memang sering mendapatkan tugas untuk melaporkan dari tempat kejadian. "Papa biar antar Runa. Saka dan Raka bisa bawa mobil sendiri," ucap Satrya dengan tegas. Dia baru saja mendapat telepon dari Fajar, teman seperjuangannya Satrya dalam merintis semua bisnisnya. Fajar melaporkan bahwa ada tiga karyawan mereka yang berada di dalam pesawat tersebut. Sebagai pemimpin, Satrya harus mencari tahu informasi secara terus menerus. Sedangkan Lisa, dia mendapatkan kabar dari Airine dan juga Agatha. Semuanya terkait dengan yayasan yang akan memberikan bantuan. "Kondisi di sana pasti ricuh banget. Kalian harus terus sabar dan jangan terpancing amarah. Mereka adalah keluarga yang kehilangan. Perasaan mereka tidak menentu. Terlebih belum ada kepastian tentang apakah pesawat ini jatuh atau tidak," nasehat Lisa dengan lembut. Dia menyentuh kepala Raka dan Saka dengan lembut. Anaknya yang dulu kecil, sekaramh sudah mengemban tugas yang begitu besar. "Baik, Ma. Kami akan mengingatnya," jawab Raka. Saka mengangguk dengan cepat. Seolah setuju dengan apa yang Raka katakan. "Runa juga. Jangan membahayakan diri sendiri. Mencari berita boleh, tapi jangan sampai membuat orang lain kesulitan. Jangan juga bertanya sesuatu yang sensitif kepada keluarga. Kamu paham apa yang Mama katakan, bukan?" "Runa tahu, Ma. Mama sudah sering mengatakannya," ucap Runa dengan manja. Dia memeluk sang Mama dengan erat. Merasakan hangatnya pelukan sang Mama sambil menatap ke arah televisi yang masih menyala. "Pergilah." Lisa memandang ke tiga anak kembarnya yang sudah mulai berpencar. Dia tetap berada di tempatnya sambil melihat ke arah layar televisi. Di mana Lisa merasa bahwa tragedi jatuhnya pesawat ini, di masa depan menjadi benang merah untuk keluarganya. Entah untuk apa benang merah takdir ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD