Grup Chat Rahasia
Yakin masih mau bertahan dengan perempuan udik dan kampungan itu, Yudha?
Mata Haifa mengerjap. Mbak Meri berfikir jika Yudha suaminya yang tengah on line.
Serr. Deg.
Pesan Mbak Meri tampak menonjol diantara pesan anggota Brahma squad lainnya. Mbak Meri, Mbak Shila, Mas Andri, Mas Raka dan Yudha suaminya, Meri dan Sila adalah mantu Putri di keluarga Yudha, selain dirinya. Sedangkan Andri dan Raka adalah suami mereka, kakak dari Yudha. Erika sendiri adalah anak perempuan satu-satunya keluarga Pak Brahma dan Bu Intan,putri bungsu diantara empat bersaudara.
Sudah udik, kampungan, pemalas pula.
Lanjut Mbak Meri, ditimpali emot tawa oleh Mbak Shila , membuat wajah Haifa makin panas.
Jadi selama ini, grup itu tidak segan menghina dan mencaci dirinya. Pantas dia tidak dimasukan anggota grup. Pantas juga Yudha terlihat begitu merahasiakan keberadaannya dan selalu menghapus sisa chat mereka.
Haifa menyeka sudut matanya yang terasa panas, menyesal dia membuka-buka gawai suaminya. Pantas gawai Yudha selalu bersandi dan tidak pernah ditaruh sembarangan. Kalaupun hari ini dia bisa leluasa membukanya, karena Yudha lupa membawa ponselnya ke tempat kerja.
Menyesal Haifa mengintip sandi gawai Yudha, menyesal juga dia nekat membuka pesan di dalamnya. Lebih baik dia tidak mengetahui apapun di dalamnya, jika dengan mengetahui dirinya menjadi sakit.
Mas Yudha, kok diam sih?
Mbak Meri menulis pesan kembali yang ditujukan untuk suaminya
Biasanya Mas paling rame, kalau sudah bahas Haifa.
Wait.
Haifa menegang.
Biasanya Mas paling bawel ngatain Haifa jelek dan kampungan.
Sekarang Mbak Shila yang menimpali.
Deg
Haifa merasa dadanya ditusuk sembilu. Apa mungkin, Mas Yudha tega menghinaku pula? desis hatinya, risau.
Sudah jangan pura-pura, nanti kita pertemukan dengan calon yang lebih kaya dan level. Iya kan, Shil?
Tulis Mbak Meri kembali tanpa ampun.
Pastilah. Lagian, ngapain juga bertahan dalam biduk yang hampir karam. Menikah itu buat happy bukan buat menyiksa diri Yudha,
timpal Mbak Shila.
Astaghfirullah.
Lunglai sudah lutut Haifa. Terkuak sudah tabir, kebencian Mbak Meri dan Mbak Shila kepada dirinya.
Haifa ingin melempar gawai yang berada dalam genggamannya. Saat terlihat layar ponselnya ada gerakan seseorang tengah mengetik pesan.
Lagi rame nih? Kok gak ngajak -ngajak akoh ?
What, Erika? Haifa lagi-lagi menegang. Menunggu tulisan berikutnya.
Mbak, aku sampai manjat, lho.
Erika menekan emoticon tawa.
Gimana, Erika?
Akoh sependapat Mbak-mbakku yang cantik. Haifa memang tak layak ada diantara kita.
Miskin dan jelek.
Tulis Mbak Shila semangat
Kampungan dan sok alim
lanjut Mbak Meri tanpa ampun.
Pantas ditendang, wkwk,
balas Erika disambut emot suka cita dan ngakak dari dua kakak iparnya.
Air mata Haifa tak kuasa lagi ditahan. Lolos sudah laksana sungai ditengah musim hujan.
Dia tahu, pernikahannya dipaksakan. Tapi selain Yudha tak mencintainya, dia tidak menduga kalau dirinya begitu hina di hadapan Erika dan ipar-ipar suaminya.
Meski lunglai, Haifa memaksakan menscrol percakapan di grup itu. Dengan mata basah dan mulut bergetar, dia terpaku di salah satu pesan yang ditulis Yudha, suaminya .
Aku lelah dengan perkawinan yang dipaksakan ini. Kenapa aku yang dijodohkan Bapak dan Ibu pada Haifa?
Karena hanya kamu yang masih sendiri.
Aku muak.
Langit di atas kepala Haifa berputar sudah. Tak terasa gawai suaminya lepas dari genggaman.
Haifa tersedu.
***
Sejak tak sengaja membaca obrolan di Brahma Squad, ada yang berubah dengan Haifa. Tak ada lagi binar rindu di matanya setiap menunggu kedatangan Yudha, tak ada rona bahagia saat Yudha memanggil namanya atau sekedar bertanya sesuatu.
Semua terlihat hampa dan sunyi. Meski tak ada yang berubah jelas dan nyata, tapi jelas ada yang hilang di sudut hati seorang Haifa.
Cinta dan pengharapan.
"Mas, berangkat kerja dulu, Fa," pamit Yudha seperti biasa. Jam sudah menunjukan pukul Tujuh lewat sedikit.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan."
"Ok. Aku pulang besok hari," jelas Yudha berusaha terlihat wajar.
"Ada meeting perusahaan terkait proyek baru."
Haifa hanya mengangguk. Menatap dusta yang dipertontonkan suaminya tanpa ragu.
Aku menunggumu, Mas. Jangan lupa, kita akan berangkat selepas kamu pulang kantor. Kita akan menikmati malam romantis ini dengan penuh cinta.
Ah, Haifa tersenyum getir. Pesan yang dibacanya semalam di gawai Yudha, menjelaskan kalau pria didepannya sedang berbohong.
"Haifa."
"Iya, Mas." Suara Haifa pelan.
"Aku pergi." Yudha mengulang pamit. Sedikit termenung melihat wajah datar istrinya yang biasanya sangat teliti dan cerewet.
"Mas, baju hangatnya dipakai."
"Mas, jangan banyak minum kopi. Jangan lupa sarapan dan minum vitamin.
"Mas, hati-hati di jalan."
"Mas, hubungi aku jika sudah tiba."
"Mas, aku pasti rindu ..."
Yudha menatap bibir Haifa yang membisu.
"Mas, berangkat." Suara Yudha salah tingkah.
"Jaga diri baik-baik." Yudha berbasa-basi.
Haifa hanya tersenyum.
"Pergilah, aku akan baik-baik saja."
Yudha menatap wajah Haifa, sedikit tertegun.
"Tidak biasanya kamu tidak memintaku pulang cepat." Yudha tampak sedikit penasaran.
Haifa menggeleng. Sekuat tenaga menyembunyikan luka di balik senyuman.
"Mulai hari ini dan seterusnya, kamu merdeka. Maafkan jika selama ini, aku pernah memintamu menjadi suami yang baik untukku. Pergi dan kembalilah sesuka yang kau mau."
"A-apa, maksudmu?"
Haifa kembali hanya menggeleng.
"Sepertinya mulai hari ini dan seterusnya, Aku tidak akan menangis lagi untukmu. Aku tidak akan berharap lagi pada pria yang tidak pernah sedikitpun menulis namaku di hatinya."
"Maksudmu?"
Haifa kembali hanya tersenyum. Menelan luka, sakit dan harapan pada Pria di depannya sekuat tenaga. Jika Yudha menganggap pernikahan ini memuakkan, untuk apalagi dia berharap pada mahligai yang hanya menunggu waktu untuk karam dan kandas.
"Pergilah, raih bahagiamu dengan wanita yang kau cintai. Aku tahu semuanya."
"Kamu?"
"Betul Mas, aku tahu kepalsuan mu selama ini. Pun, dengan semua pengkhianatan dirimu yang kau sembunyikan dalam setiap pesan rahasia mu."
Yudha makin menegang.
"Kamu tahu banyak hal?"
"Ya aku tahu banyak hal, juga tentang grup chat rahasia mu. Grup yang kalian buat hanya untuk menghina dan mencaci aku." Haifa tersenyum sendu. Matanya memanas.
Yudha terkesiap.
"Kau akan melapor pada, Ibu?"
Haifa tersenyum kecut.
"Kita lihat saja nanti."
"Haifa." Yudha mendekat, wajahnya dingin dan penuh ancaman. Haifa melengos.
"Aku tidak akan melaporkanmu. Aku tahu tidak mudah meyakinkan sekumpulan lalat kalau bunga lebih indah dari sampah," desis Haifa lirih.
"Tapi lebih Sulit meyakinkan dirimu, kalau istri sah lebih berharga dari seorang perempuan Jahan*m bergelar pelakor. Jadi pergilah, apapun tentang perasaanmu padaku, aku tidak perduli lagi," lanjut Haifa lagi lirih dan hampir tidak terdengar diterbangkan angin pagi, namun saat sosoknya perlahan berlalu di hadapan Yudha, menegaskan terlalu banyak luka dan air mata yang disimpan Haifa diam-diam selama ini.
Yudha terdiam, ada yang berdesir tidak karuan di sudut hatinya yang paling dalam, saat menyadari kalau mahligai perkawinannya dengan Haifa hanya menunggu waktu untuk kandas dan karam.