Rasa Yang Hilang

1428 Words
Angin senja menerbangkan sisa kemilau perak berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Haifa kembali membetulkan letak hijabnya yang meriap di terpa angin. Hari hampir magrib. Entah mengapa Haifa tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Kalaupun saat ini dia berdiri di depan teras rumahnya yang sepi, dia tidak ingin menunggu siapapun. Semenjak Yudha pergi tadi pagi, tak sekalipun dia melihat gawai untuk mencari kabar suaminya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan selama ini, menunggu Yudha kembali dari tempat kerja, menanti kehadirannya dengan penuh rindu dan menyambut sosok imamnya dengan penuh cinta. Duh, kemana larinya semua rasa itu? Kemana perginya segenap penantian yang selama ini menemani hari-harinya? Rasa sayang dan cinta itu tidak hilang, hanya saja Haifa sadar, mungkin rasa itu tidak lagi pantas dia miliki. Haifa mengerjap. Menghalau sinar senja yang melimpahi penglihatannya dan membuatnya silau. Gegas, berlalu ke dalam rumah setelah menyiram aneka bunga yang tumbuh dalam pot yang berbaris di teras rumahnya dengan air yang dibawanya di dalam ember. Haifa menutup pintu dan bersiap mengambil Wudhu, Maghrib sebentar lagi berkumandang, saat suara notifikasi pesan terdengar di gawai yang terletak tak jauh darinya, membuat Haifa menghentikan langkah menuju kamar mandi. [ Fa....] Haifa tertegun, menatap pesan suaminya. [ Sedang apa? ] Haifa mengerjap. Tumben Yudha berbasa-basi. [Baik-baik, ya. Mas, besok pagi pulang.] Belum dibalas,Yudha mengirimkan kembali pesan. Haifa menghela napas, tak ada sedikitpun semburat bahagia di hatinya mendapati pesan manis seperti itu. Ah, harusnya aku bahagia. Bukankah jika Yudha melakukan hal seperti ini luar biasa? Bukankah aku selalu merindukan hal seperti ini? Kalau selama ini dia begitu terbuai dan meleleh dengan sedikit saja sikap manis palsu suaminya, tidak dengan saat ini. Bahkan Haifa tidak tertarik membaca pesan berikutnya yang dikirim Yudha dan memilih meletakkan gawainya begitu saja. Drrrt. Yudha memanggilnya. Sepertinya dia penasaran dengan pesan yang tidak terbalas. "Assalamualaikum." Haifa mengangkat gawai dan menjawab panggilan Yudha dengan segan. "Kenapa tidak membalas pesanku?" terdengar tanya Yudha di seberang. "Aku mau wudhu. Di sini sudah mau Maghrib," jawab Haifa dingin. Wajah lembutnya tampak sedikit memerah, suara deru mobil Yudha terdengar samar berbaur dengan celoteh seorang perempuan yang terdengar manja. Haifa tersenyum kecut. Dirinya tahu, kemana dan dengan siapa Yudha pergi. Perempuan bernama Sekar itu pasti sedang bergelayut manja di lengan suaminya. Sekar, entah keberapa kali tiap Haifa menyebut nama itu selalu ada yang berdenyut di hatinya. Sekar, perempuan lain di hati suaminya. Perempuan yang diperkenalkan Meri dan Shila beberapa waktu yang lalu. Bodohnya Haifa tidak menduga kalau Yudha berselingkuh dengan perempuan luknut itu. Bodohnya selama ini, dia juga tertipu dengan senyum Meri dan Shila. Haifa menelan ludah, akankah mereka tengah saling berpelukan? Haifa merasakan dadanya panas. Ish, tidak mungkin mereka berpelukan di jalan. Deru mobil Yudha masih terdengar jelas. "Aku pamit dulu ya, Mas. Mau wudhu." "Baiklah, bagaimana dengan Ibu?" "Aku akan menengoknya habis Maghrib." "Hati-hati di jalan. Minta Mang Salim mengantarmu." Yudha menyebut nama supir kantor yang letak rumahnya tidak begitu jauh untuk menemani Haifa ke rumah Ibu yang jaraknya lumayan. "Aku naik motor saja, Mas." "Tidak, kamu harus diantar Mang Salim. Aku yang akan menghubunginya." What? Haifa menyipitkan mata indahnya. Sejak kapan pria di depannya perduli? Bukankah selama dia rutin menengok Ibu, selalu tak perduli dengan apa, Haifa pergi ke rumah Ibunya? Haifa menelan ludah. Sakit sekali menyadari kalau Yudha melakukan segala kebaikan ini hanya untuk menutupi penghianatan belaka, hanya agar dia tidak berbicara banyak hal pada Ibu. Memuakkan. "Fa." "Kalau kau ke rumah, Ibu. Tutup mulutmu." "Apa?" tanya Haifa bergetar, ini maksud segala sikapmu yang mendadak manis? Menyakitkan. Hati Haifa bergumam lirih. "Kamu gak usah bicara macam-macam tentang aku dan grup chat itu." "Hmmm." Haifa tersenyum pahit "Jangan hawatir, aku tidak akan mengadukan kelakuan b******n seperti dirimu di saat Ibu sakit. Aku cukup punya nurani untuk tetap menjaga perasaan Ibumu sampai saatnya tiba." "Apa maksudmu?" Haifa sejenak terdiam. Entahlah, dia hanya merasa sangat muak saat ini. "Aku solat dulu, Mas. Aku hanya ingin mengatakan, aku tahu kau bersama siapa saat ini. Aku hanya ingin mengatakan nikmati malam penuh dosamu bersama perempuan Jalang itu. Satu hal...apapun tentang kita, kini sudah selesai." "Haifa..." "Haifa .." Haifa hanya menghela napas. Menutup panggilan gawainya dengan perasaan datar. *** "Astaghfirullah." Suara dzikir Haifa terdengar lirih. Hatinya terasa teriris, meski ada rasa ikhlas saat menyadari Yudha tak pernah mencintainya, tapi menyadari pria yang teramat dicintainya itu tengah bersama wanita lain kini, tak urung air mata Haifa kembali meleleh. Bagaimanapun dingin dan diamnya sikap Yudha selama pernikahan mereka, tapi tak dipungkiri kalau hanya kepada laki-laki itu Haifa menyerahkan hati dan cintanya. Dua tahun bersabar dan berharap kalau akan tumbuh cinta di hati Yudha, dua tahun berharap akan hadir keajaiban dengan tumbuhnya rasa di hati pria yang mengucap ijab kabul di hadapan orang tua dan saksi dengan suara tenang dan dalam. Dua tahun sudah membuktikan, kalau harapannya sia-sia belaka. Cintanya meranggas sebelum mendapat balasan. Haifa menyeka sisa air matanya. Cukup sudah air matamu tertumpah, Haifa. Hapus apapun rasa di hatimu, kalaupun kau masih menyisakan sedikit waktu untuk bertahan hidup dengan seorang Yudha, bukan untuk laki-laki penghianat itu. Tapi demi seorang Ibu mertua sebaik Bu Intan. Haifa mengusap tangan ke wajah, mengakhiri doanya kali ini. Meyakini bahwa Allah selalu hadir dalam sepi dan kesendiriannya. Haifa bergegas bangkit, malam ini dia akan pergi ke rumah Ibu mertua. Kondisi Ibu yang tidak stabil membuatnya harus bolak-balik menemaninya Sebetulnya mantu perempuan Ibu ada dua orang lagi selain dirinya, tapi mana mau Meri dan Shila menemani Ibu. Lagaknya yang sok sibuk dan angkuh, selalu saja membuat Ibu sungkan menyuruh mereka menemani dan menjaganya di kala sakit. Drrrt Pesan dari Meri. Haifa menghela napas. Malas. [Fa, ada tas branded impor. Maukan?] Tak tahu malu setelah kenyang menusuk dari belakang, dengan sok suci seperti biasa meminta dirinya membeli jualannya. [Berapa?] Balas Haifa. Meski malas, tapi dia ingin tahu sampai di mana perempuan itu gak punya rasa malu. [Satu juta enam ratus ribu saja, Fa.] Rayu Meri kembali. Haifa tersenyum kecut. Meski dingin dan tidak mencintainya, Yudha tidak pelit dan royal kalau urusan duit. Selama ini, jika Meri memintanya membeli barang apapun yang ditawarkan Haifa tak pernah menolak. Bukan karena barang yang dijual bagus, hanya karena Haifa merasa ingin memajukan usaha perempuan yang selama ini dia pikir adalah keluarga. [Ayolah, suamimu banyak duit Fa. ] rayunya selalu. [Bagaimana, Fa. Keren kan?] Meri mengirimkan kembali foto-foto tas, yang menurut Haifa biasa saja. Kamu pikir aku tidak tahu, selama ini kamu menjual barang biasa dengan harga mahal? Haifa mendengus pelan. [ Maaf, Mbak Meri, kali ini saya tidak tertarik untuk membeli.] Send. [ Lho, biasanya kamu selalu beli.] [ Saya hanya sedang malas. Maaf, ya. Saya mau menemui Ibu dulu. ] Haifa tersenyum. Menyimpan kembali gawainya dan tidak perduli rentetan pesan Meri, seperti biasa memaksanya membeli jualan on line nya. Kamu salah telah menjadikanku musuh , Meri. Bisik Haifa, membiarkan panggilan Telepon Meri menjerit-jerit, minta diangkat. *** Haifa menghentikan langkah di teras rumah Ibu, rupanya Meri dan Shila sudah menunggunya. Mereka sepertinya lebih dulu sampai karena jarak rumah mereka dengan rumah Ibu lebih dekat. Terlihat wajah Meri tak bersahabat, buntut Haifa menolak membeli jualannya. "Haifa, tunggu. Tumben kamu tidak membeli daganganku?"tanya Meri ketus. "Saya tidak tertarik. Maaf,saya mau menemui Ibu." Meri dan Shila saling tatap. "Sejak kapan kamu tidak mendukungku, Fa?" What? Haifa mengangkat wajah. Dipandangnya wajah ipar suaminya yang tidak tahu malu sama sekali itu. "Sejak aku tahu kalian menusuk aku dari belakang." "Apa maksudmu?" Meri membelalak. Haifa mengeluarkan gawainya, menyodorkan semua screen Shoot percakapan mereka di grup chat rahasianya. "Dengar Mbak, aku tahu kalau aku cuma seorang wanita kampung yang dijodohkan Ibu dengan Mas Yudha. Tapi, kamu jangan lupa, meski aku kampungan dan miskin, aku bukan segerombolan mahluk munafik yang berharap keuntungan dari manusia yang kau tikam dari belakang. Aku mungkin tak secantik kalian, tapi aku bukan burung pemakan bangkai yang menari di atas penderitaan dan kematian saudaranya." Meri dan Shila ternganga. "Mbak, kalau kalian pikir aku adalah musuh kalian, siapkan tissue, jika kalian harus menangis dalam pertarungan ini." "Haifa." Meri dan Shila mendelik. Tapi Haifa tak menjawab kembali, dengan tenang melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah untuk menemui Ibu. "Tunggu." Haifa menghentikan langkahnya, rupanya Meri mencengkram tangannya dengan pandangan sinis. "Kamu sudah tahu semuanya? Bagus, berarti kamu juga tahu apa perasaan Yudha padamu. Yudha muak padamu." Meri tertawa di iringi cemoohan Shila. Jujur hati Haifa berdenyut saat mereka menyebut tentang perasaan Yudha pada dirinya. Haifa menelan ludah, tapi wajahnya datar dan tenang membuat Meri dan Shila makin terlihat geram. "Kamu pecundang, Fa. Haha .." tawa Meri dan Shila terdengar membahana, mereka terus berusaha membuat Haifa hancur. "Cukup." Sebuah bentakan dari suara yang sangat mereka kenal membuat suasana mendadak sunyi. "Yudha?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD