MBB2

1014 Words
Liliana menjatuhkan lipstik yang baru saja ia gunakan untuk memoles bibirnya. Bukan karena terpesona oleh kehadiran Buan, bukan. Sungguh bukan karena itu. “Bos Delux Management, Buana Lucky Pratama?” gumam Liliana tak percaya. Dia bahkan melupakan lipstiknya yang jatuh. Padahal lipstik itu belum ada satu minggu ia beli. Liliana kembali mengingat ucapan teman-temannya yang memanggil dengan sebutan ‘Bos Buluk’, dia pikir salah dengar. Sekarang setelah melihat Buana sang Bos Delux Management, Liliana yakin tidak salah dengar. Teman-temannya memang memanggil Buana dengan sebutan ‘Bos Buluk’, termasuk seniornya Iin. Bukan soal wajahnya, bukan. Sekilas wajah Buan bisa dibilang tampan meski tertutupi oleh poni lempar yang membuat tampilannya seperti anak cupu. Kacamata dengan frame tebal juga menambah kesan cupunya. Namun yang paling parah adalah pakaian yang ia kenakan. Jas warna pudar dan kebesaran, kemeja dengan warna lusuh dan dasi yang warnanya tidak cocok ama sekali. Tinggi badan yang lebih dari 180 cm tenggelam oleh jas yang terlalu besar. Tangannya bahkan sampai tertutup. Sungguh, suatu pemandangan yang menyakitkan mata bagi Liliana yang memuja kesempurnaan. “Kak Iin, dia ...?” tanya Liliana ragu pada Iin meski ia sudah tahu apa jawabannya. “Iya, dia Bos Buan. Panggil saja Buan, nggak apa-apa. Kami semua manggil dia Buan. Orangnya masih muda. Kayaknya nggak beda jauh sama kamu. Sini, aku kenalin sama Buan,” ucap Iin lalu menarik Liliana bersamanya. Iin langsung menarik Liliana ke depan Buan dan dengan senyum menggoda mengenalkan Liliana pada Buan. “Buan, kenalin ini admin baru di sini namanya Lina.” “Liliana, Kak,” ralat Liliana. Cukup Iin saja yang memanggilnya Lina, jangan ada lagi. Ia lantas mengulurkan tangan pada Buan untuk berjabat tangan dengan bos barunya. “Salam kenal, ya, Lina. Saya Buana Lucky Pratama, kamu bisa panggil saya Buan, Kak, Bos atau Sayang hahahaha,” ucap Buan diiringi tawa dan diikuti oleh tawa karyawan yang lain. Mood Liliana langsung anjlok seketika. Bukan hanya karena bosnya yang di luar ekspektasi, tapi juga sang Bos ikut memanggilnya Lina. Bukan berarti Liliana tidak suka dengan nama Lina, hanya saja namanya Liliana bukan Lina. “Wah, Lin. Pak Bos udah ngasih kode, tuh,” ucap Iin. Dia menyenggol pundak Liliana dan mengedipkan mata. Liliana merasa geli dengan bagaimana mereka mendukungnya untuk mencari perhatian pada Buan. Dia memang ingin bekerja dengan gaji dan bonus yang besar, tapi bukan berarti dia mau menjual integritasnya dan menjilat bosnya. “Sudah, sudah. Kalian jangan suka ngecengin anak baru. Nanti dia nggak betah di sini, kamu yang sabar, ya, Lin. Mereka emang ceplas-ceplos tapi mereka baik, kok,” ucap Buan dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya. Liliana membalas ucapan Buan dengan senyum semanis mungkin. “Panggil saya Lian saja, Pak.” Lebih baik mereka memanggilnya Lian, kan? “Bos, makan-makan dong buat nyambut anak baru,” ucap Iin yang langsung disahuti oleh yang lain dengan ajakan yang sama. “Wah, iya Buan. Kemarin belum ada penyambutan pegawai baru. Gimana kalau kita makan-makan di cafe baru di depan? Dengar-dengar makanannya enak-enak,” timpal pak Eko (Kepala HRD). Liliana memerah malu karena dijadikan alasan bagi mereka untuk mengajak Buan makan-makan. Dia sama sekali tidak ingin ada pesta penyambutan atau apapun seperti yang mereka inginkan. Apalagi sampai harus menyusahkan orang yang baru pertama kali mereka kenal. “Ya sudah kalian atur saja tempatnya. Nanti pulang kerja kita berangkat,” ucap Buan. Dia lantas pergi ke ruangannya. Iin dan teman sekantor Liliana yang lain bersorak senang setelah kepergian Buan. Mereka akan bersenang-senang nanti malam karena Buana Lucky Pratama akan mentraktir mereka makan malam. “ Bagaimana, kerja di sini menyenangkan sekali iya, kan? Bos Buan tidak setiap hari ke kantor, tapi ... asal dia datang ke sini kita pasti bisa makan-makan gratis. Bos buluk itu sangat royal. Puji saja dia sedikit dan dia akan mengucurkan uangnya tanpa pikir panjang. Pokoknya pintar-pintar kamu memuji dia,” ucap Iin tanpa rasa sungkan sama sekali. Liliana menajamkan telinganya, Iin juga memanggil Buan bos Buluk, dia tidak salah dengar. Bisa-bisanya mereka meminta Buan mentraktir mereka tapi di belakang memanggilnya dengan sebutan yang menghina. Liliana tidak keberatan dianggap kaku, tapi sungguh dia tidak suka bagaimana cara teman-temannya memperlakukan Buan. “Kak Iin, nggak usah ngadain acara penyambutan atau makan-makan segala, ya,” ucap Liliana pada Iin. “Mana bisa begitu, semua sudah sepakat akan pergi setelah pulang kerja.” “Kalau gitu aku nggak ikut, ya?” Iin berdecak kesal, bagaimana mungkin dia akan membiarkan Liliana absen dalam acaranya sendiri. Malam ini adalah acara untuk Liliana jadi dia tentu saja wajib hadir. *** Siang berlalu dengan cepat, sebentar lagi sore dan jam pulang kantor akan tiba. Liliana melihat isi dompetnya. Masih ada cukup uang untuk bertahan sampai satu bulan ke depan. Dia lalu membuka ponsel dan mengecek isi saldo di tabungannya. Rasanya cukup untuk mentraktir teman-temannya untuk acara nanti malam. Liliana tipe orang yang tidak suka merepotkan orang lain. Jadi dia akan membayar makan-makan untuk malam ini. “Lin, lihat aku sudah memilih resto untuk acara nanti malam. Bagus kan tempatnya?” tanya Iin sembari memperlihatkan ponselnya yang menunjukkan sebuah resto di daerah Jakarta Pusat. “Loh, bukannya nanti malam kita makan di cafe depan?” “Ih Buan mana level makan di tempat seperti itu. Minimal resto bintang tiga. Masa di cafe. Lihat, makanannya bukan hanya cantik tapi sangat enak. Ratenya bagus,” ucap Iin dengan penuh semangat. Liliana mengambil ponsel Iin dan menggulirnya. Dia hampir jantungan melihat beberapa menu yang ditampilkan di resto yang terletak di salah satu hotel bintang lima. Harganya sudah bisa dipastikan mahal. Kalau begini mana mungkin isi saldo Liliana bisa membayar tagihan makan untuk acara nanti malam? Wajah Liliana pucat, apa harus menyusahkan bos buluk di hari pertama ia mengenalnya? “Udah jangan banyak mikir! Bos Buluk baik, kok. Hanya sedikit recehan untuk menyenangkan karyawan nggak akan jadi masalah,” ucap Iin kemudian berlalu meninggalkan Liliana yang mematung. ‘Receh kamu bilang? Yang kamu bilang receh itu lebih dari gajiku satu bulan,’ batin Liliana. Liliana masih tidak mengerti, mereka tega menghina Buan di belakang tapi tanpa segan memanfaatkan kebaikan Buan. Apa aku minta Buan membatalkan acara malam ini saja, ya? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD