MBB3

1009 Words
Acha & Nella Restaurant, Hotel Morrist Jakarta Pusat. Di sinilah Liliana dan teman-temannya berada saat ini. Mereka menikmati makanan ditemani pemandangan indah sunset di roof top hotel. Semua bersenang-senang dan ngobrol dengan asyik, kecuali Liliana. Pikirannya dipenuhi dengan jumlah tagihan untuk semua makanan yang ada di sini. Restoran dengan tata ruang yang sangat cantik, seperti berada di dunia lain. Sama sekali tidak terlihat hiruk pikuk ibu kota. Hanya ada pemandangan matahari terbenam dengan suasana sejuk karena banyak nuansa hijau dari pepohonan. Liliana benar-benar kagum dengan restoran yang Iin pilih. Ternyata benar-benar ada kehidupan seperti ini di ibu kota. Selama ini Lian hanya melihat ini di film saja tapi sekarang dia benar-benar menikmati dengan mata dan kepala sendiri. Hanya saja .... Satu orang sangat merusak mood Liliana, orang itu seperti kutu diantara para kunang-kunang. Saat yang lain terlihat cantik dan tampan, dia malah berpenampilan seperti kakek-kakek yang tidak pernah mengganti jas selama bertahun-tahun. “Lina, kamu nggak suka sama makanannya?” tanya Iin yang melihat Liliana hanya diam tak menyentuh makanannya. “Suka, Kak. Aku cuma,” jawab Liliana ragu. Tatapannya terarah pada daftar menu di atas meja. Tidak mungkin dia akan bilang pada Iin kalau dia merasa terbebani karena Buan harus mengeluarkan uang yang begitu besar hanya untuk acara makan malam menyambut pegawai baru. Apalagi posisinya di perusahaan bukan menduduki jabatan yang penting. “Oh, jangan khawatir dengan tagihan. Berapa kali aku bilang kalau Bos Buan yang akan bayar?” ucap iin salah paham dengan pikiran Liliana. Teman yang duduk di samping Iin tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Iin. Mereka mengira hal yang sama dengan Iin kalau Liliana khawatir dengan tagihan yang bengkak. “Lilin jangan khawatir, malam ini aku yang traktir,” ucap Buan dengan senyum manis yang tidak pernah hilang dari wajahnya. Lilin? Sungguh, Liliana ingin berteriak dengan keras di telinga Buan. Apa namanya begitu susah diucapkan? “Liliana, Pak. Terima kasih untuk kebaikan Bapak.” “Hei Lina, kamu ini kaku sekali. Panggil saja aku Buan, aku rasa pak terlalu tua untukku. Panggil aku pak saat di kantor saja.” Setelah Lilin sekarang kembali Lina. Oh, Liliana ingin makan dinding kayu rasanya. Apa begitu berat menyebut nama orang lain dengan benar? Acara malam itu berlalu begitu saja dengan Buan yang membayar semua tagihan. Dari sini saja Liliana merasa tidak enak pada Buan. Ternyata hari-hari setelah itu juga banyak dilalui dengan kebaikan hati Buan. Rekan kerja Liliana tak hanya sekali dua kali mengajak Buan mentraktir mereka. Selalu saja ada alasan yang membuat Buan ikut acara makan malam di resto yang mereka pilih sendiri. Anehnya Buan sama sekali tidak keberatan. Dia terlihat ikut menikmati. Buan tidak pernah keberatan, tapi siapa yang tahu isi hati manusia? *** “Sin, ini nyebelin banget nggak, sih? Lama-lama aku nggak tahan sama kelakuan mereka. Di belakang mereka mengolok-olok Buan tapi di depan mereka menjilat Buan. Menyebalkan, menyebalkan!” ucap Liliana pada Sinta. Tetangga samping kos yang sekarang menjadi tempat curhat setiap kali dia geregetan dengan teman-teman kerjanya. Sinta hanya menjawab dengan senyum tertahan. Bagi Sinta, orang seperti Liliana sangat langka. Jarang-jarang ada orang yang marah pada seseorang yang begitu royal seperti Buan. “Masalahnya bukan karena royalnya, Sin. Tapi karena Buan pelit sama dirinya sendiri. Masa jas yang dia pake sudah buluk. Mungkin sudah sepuluh tahun nggak ganti. Padahal kan dia itu boss. Wajah perusahaan,” sungut Liliana. Curhat dengan Sinta selalu bisa membuat hatinya lebih lega meski kadang ia harus rela ditertawakan. Salahkan Sinta yang receh, dia selalu tertawa untuk semua hal. Termasuk saat dia sendiri sedang tertimpa kemalangan. Kembali ke kantor pagi hari, Liliana mendapatkan ada hal yang berbeda. Kali ini suasana tampak suram tidak seperti biasa. Iin yang biasanya ramai juga jadi pendiam, begitu juga dengan Pak Eko yang biasanya selalu bercanda dengan karyawan yang lain. Usut punya usut ternyata mereka mendengar isu yang mengatakan akan ada pengurangan karyawan. Beberapa orang terindikasi melakukan kecurangan selama bekerja di sini dan Buan akan memutuskan hubungan kerja dengan beberapa orang. “Kak Iin ... yakin kalau berita ini valid?” Iin yang biasanya semangat saat bicara kini hanya mengangguk lemah. Wajah wanita yang dipoles dengan make up ala korea itu menunduk sedih. Bibir bawahnya digigit dan sedikit gemetar. Sepertinya dia menahan tangis. Liliana mengelus lengan Iin untuk memberinya semangat. “In, sini sebentar,” panggil pak Eko. Iin bangun dan mengikuti Eko melangkah pergi bersama dua rekan yang lain. Jiwa kepo Liliana terpicu melihat wajah-wajah putus asa yang berkumpul itu. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan keempat teman kerjanya. Lalu tanpa banyak berpikir lagi Liliana bangun dan mengikuti mereka dari belakang. Rupanya Iin dan rekan yang lain menuju kantin perusahaan. Mereka membicarakan kemungkinan mereka yang akan dipecat. Liliana benar-benar punya nyali sengaja menguping pembicaraan mereka. Feeling-nya jarang meleset, dan benar saja pembicaraan mereka berikutnya membuat Liliana membungkam mulutnya sendiri agar tidak berteriak. “In, pokoknya kita pura-pura saja tidak tahu kalau si buluk itu mau mecat kita! Nanti malam ajak dia makan-makan di hotel. Aku akan menyiapkan wanita buat njebak dia. Dengan begitu kita bisa maksa Buan biar tidak mecat kita,” ucap Eko. Kantin masih sepi karena masih pagi dan suara Eko yang berapi-api sangat jelas terdengar oleh Liliana yang bersembunyi di balik sekat kantin. “In, kamu pastiin Buan datang! Sisanya biar kami yang urus,” timpal yang lain. “Dia kan udah mau mecat kita, mana mau kita ajak makan-makan di luar. Si Buluk itu diam-diam rupanya licik,” ucap Iin sembari menggebrak meja dengan kesal. “Makanya itu, In. Dia licik kita juga harus lebih licik. Kita yang sudah membesarkan Delux Management dan sekarang dia seenaknya aja mau ngusir kita.” “Benar, In. Kita harus memperjuangkan hak kita,” ujar Eko lagi. Mereka berempat benar-benar contoh orang yang tidak tahu diri. Liliana segera berlari kabur dari tempat itu sebelum ada yang melihatnya. Dia harus segera melaporkan ini pada Buan. Bos buluknya tidak boleh masuk dalam jebakan mereka. Bersambung My Buluk Boss Penulis Ailova Jangan lupa follow akun Ailova dan tap love novel ini agar bisa mengikuti cerita ini. Terima kasih ❤️❤️❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD